Foto/Ilustrasi
Dalam mata kuliah Ilmu Manajemen, kita diajarkan bahwa fungsi manajerial bukan sekadar merencanakan, mengorganisasi, mengarahkan, dan mengawasi. Salah satu seni paling kompleks dalam praktik manajemen modern adalah mengelola konflik. Ironisnya, sebagian besar organisasi justru menganggap konflik sebagai sesuatu yang tabu. Tidak sedikit manajer yang panik saat konflik muncul, seolah itu pertanda kegagalan dalam kepemimpinan. Padahal, bisa jadi konflik justru menyimpan nilai penting dalam proses perubahan organisasi.
Dalam kacamata ilmu manajemen kontemporer, konflik justru bisa menjadi barometer sehat tidaknya sistem organisasi. Konflik adalah bagian alami dari interaksi manusia dalam mencapai tujuan yang berbeda-beda. Selama dikelola dengan benar, konflik tidak hanya bisa dihindari dari destruksi, tapi juga bisa menjadi jalan masuk menuju perubahan, inovasi, bahkan peningkatan kinerja. Organisasi yang terlalu "tenang" justru patut dicurigai karena bisa saja konflik hanya ditekan dan tidak pernah diselesaikan secara tuntas.
Dalam organisasi, konflik muncul ketika ada perbedaan antara tujuan pribadi dan tujuan kelompok, antara kepentingan individu dan arah perusahaan. Konflik bisa datang dari bawah (staf), samping (sesama rekan), atau atas (pimpinan). Secara umum, konflik dalam organisasi dibedakan menjadi tiga jenis. Pertama, konflik tugas: perbedaan pandangan tentang apa yang harus dikerjakan. Kedua, konflik hubungan: ketegangan interpersonal akibat komunikasi buruk atau karakter yang bertabrakan. Ketiga, konflik proses: ketidaksepakatan tentang cara kerja.
Mengelola konflik adalah bagian penting dari fungsi leading dalam manajemen. Beberapa teknik bisa diterapkan, mulai dari kolaborasi (integrating) yang mencari solusi menguntungkan kedua pihak, kompromi yang menekankan saling memberi dan mengalah, akomodasi bila hubungan lebih penting dari isu, penghindaran untuk konflik kecil, hingga dominasi (forcing) jika keputusan harus segera diambil. Pilihan strategi ini bergantung pada konteks organisasi dan urgensi situasi yang sedang dihadapi.
Konflik jarang benar-benar selesai. Tapi dalam dunia manajemen, yang terpenting bukan menyelesaikannya secara absolut, melainkan mengurangi dampak negatif dan mengelola energinya ke arah positif. Beberapa metode yang digunakan di perusahaan modern meliputi mediasi internal oleh HRD, konsultasi kinerja untuk mengurai konflik antarpribadi, pelatihan soft skill untuk memperbaiki komunikasi, serta coaching manajerial bagi pimpinan agar mampu menangani dinamika organisasi.
Manajemen yang “terlalu damai” kadang menyimpan masalah tersembunyi. Jika semua terlihat tenang namun inovasi stagnan, kemungkinan besar ada konflik yang ditekan, bukan diselesaikan. Justru ketika konflik muncul dan bisa dikelola dengan elegan, di situlah peran manajemen diuji sekaligus dibuktikan. Maka, bukan tidak mungkin organisasi yang sering mengalami konflik justru lebih cepat berkembang dibanding organisasi yang kelihatannya adem ayem.
Alih-alih takut terhadap konflik, mari kita ubah cara pandang. Konflik bukan tanda kegagalan manajerial—tapi pertanda bahwa sistem organisasi hidup, dinamis, dan butuh perhatian. Dalam dunia kerja yang semakin kompleks seperti saat ini, keterampilan mengelola konflik bukan lagi kelebihan, tapi keharusan. Jika kita bisa mengelola perbedaan dengan bijak, maka organisasi tidak hanya akan bertahan, tapi juga tumbuh dan unggul dalam menghadapi tantangan zaman.[]
Penulis :
Ghina Fauziah Nasution, Mahasiswi Prodi Ekonomi Syariah, Universitas Pamulang