![]() |
Foto/Ilustrasi |
Perundungan atau bullying merupakan permasalahan sosial yang kerap terjadi di lingkungan sekolah maupun komunitas lainnya. Luka yang ditimbulkan oleh tindakan perundungan tidak hanya berupa luka fisik semata, melainkan lebih dalam lagi, yakni luka emosional dan psikologis yang dapat membekas seumur hidup. Luka-luka tersebut seringkali menjadi beban mental yang menghambat perkembangan individu, bahkan dapat mengarah pada gangguan kesehatan mental yang serius. Oleh sebab itu, melangkah bersama untuk menghapus luka perundungan merupakan sebuah keharusan agar tercipta lingkungan yang aman, nyaman, serta penuh rasa saling menghargai.
Perundungan adalah tindakan kekerasan yang dilakukan secara berulang oleh seseorang atau kelompok terhadap individu lain yang dianggap lebih lemah atau tidak berdaya. Tindakan ini dapat berbentuk kekerasan fisik, seperti memukul, menendang, atau mendorong, kekerasan verbal seperti ejekan, hinaan, dan fitnah, kekerasan sosial yang berupa pengucilan, penyebaran gosip, hingga kekerasan melalui media digital (cyberbullying). Meski tidak selalu menimbulkan luka fisik yang kasat mata, dampak psikologis dan sosialnya sangat signifikan. Korban sering mengalami stres berat, depresi, penurunan rasa percaya diri, bahkan munculnya pikiran untuk mengakhiri hidup.
Korban perundungan sering kali merasa terisolasi, tidak memiliki teman, serta kehilangan semangat belajar. Rasa takut dan cemas yang muncul setiap kali berhadapan dengan lingkungan sosial membuat mereka mengalami hambatan dalam perkembangan potensi dan bakat. Hal ini tentu saja menjadi tantangan serius yang harus diatasi dengan pendekatan menyeluruh dan berkelanjutan.
Peran Sekolah, Guru, dan Siswa dalam Pencegahan dan Penanganan Perundungan
Melawan perundungan bukanlah tugas yang hanya dibebankan kepada korban atau guru semata, melainkan merupakan tanggung jawab bersama seluruh warga sekolah dan masyarakat luas. Sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal, memiliki tanggung jawab moral dan profesional dalam menciptakan iklim pendidikan yang aman dan bebas dari kekerasan. Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan oleh sekolah adalah membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Tim ini berfungsi sebagai penggerak utama dalam menyusun kebijakan, menangani laporan kasus perundungan, serta memberikan edukasi secara berkelanjutan kepada seluruh warga sekolah.
TPPK dapat berkolaborasi dengan agen perubahan anti perundungan yang berasal dari kalangan siswa sendiri. Agen perubahan ini merupakan siswa yang memiliki komitmen dankepedulian untuk menghapus budaya perundungan di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Contoh nyata dari implementasi program ini dapat ditemukan di SMA Negeri 1 Sebatik. Di sekolah ini, agen perubahan aktif dalam membantu kampanye anti perundungan melalui berbagai metode inovatif, salah satunya adalah penggunaan scan barcode yang memungkinkan pelaporan kasus perundungan secara cepat, mudah, dan tetap menjaga kerahasiaan pelapor.
Guru, sebagai sosok pendidik dan teladan bagi para siswa, memegang peranan penting dalam upaya pencegahan dan penanganan perundungan. Guru tidak hanya bertugas menyampaikan materi akademik, tetapi juga memiliki kewajiban untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan membangun budaya saling menghargai. Guru dapat memfasilitasi diskusi tentang dampak perundungan, mengajarkan cara-cara penyelesaian konflik tanpa kekerasan, serta memberikan pendampingan psikologis kepada siswa yang menjadi korban maupun pelaku. Dengan pendekatan yang penuh empati, guru diharapkan dapat membantu korban untuk memulihkan rasa aman dan kepercayaan diri, serta mengajak pelaku menyadari kesalahan dan berkomitmen untuk berubah.
Siswa, sebagai bagian terbesar dari komunitas sekolah, juga memiliki tanggung jawab untuk turut serta dalam menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan. Siswa dapat berperan sebagai agen perubahan yang aktif menumbuhkan budaya saling menghormati. Keberanian untuk menegur tindakan perundungan, kepedulian terhadap teman yang menjadi korban, serta komunikasi yang terbuka menjadi kunci utama untuk membangun lingkungan sekolah yang lebih aman, nyaman, dan penuh rasa kebersamaan.
Contoh Nyata: Program Anti Perundungan di SMA Negeri 1 Sebatik
SMA Negeri 1 Sebatik di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, menjadi salah satu contoh konkret keberhasilan program anti perundungan yang dilaksanakan secara kolaboratif dan inovatif. Sekolah ini telah menerapkan sistem pelaporan yang memanfaatkan teknologi informasi berupa kode batang (barcode) yang ditempel di berbagai area strategis sekolah. Sistem ini mempermudah korban maupun saksi untuk melaporkan kasus perundungan dengan menggunakan telepon pintar. Laporan yang masuk akan langsung ditangani oleh TPPK secara cepat dan profesional.
Pendekatan yang dilakukan oleh SMA Negeri 1 Sebatik tidak hanya berhenti pada pelaporan, tetapi juga dilengkapi dengan penanganan yang bersifat persuasif dan edukatif. Pendekatan coaching diterapkan agar korban dapat memulihkan trauma dan pelaku menyadari konsekuensi perbuatannya. Selain itu, sekolah juga menjalin komunikasi intensif dengan orang tua untuk memastikan bahwa upaya pencegahan dan penanganan berjalan berkesinambungan. Apabila diperlukan, pihak kepolisian pun dilibatkan dalam kasus yang membutuhkan intervensi lebih lanjut.
Hasil yang dicapai dari program ini cukup signifikan. Lingkungan sekolah menjadi lebih kondusif, inklusif, dan aman. Komunitas siswa yang saling mendukung tumbuh dengan kuat, sementara angka kasus perundungan mengalami penurunan yang signifikan. Siswa yang berperan sebagai agen perubahan diberikan sertifikat penghargaan sebagai bentuk apresiasi dan motivasi untuk terus menggerakkan perubahan positif di lingkungan mereka.
Langkah-Langkah Strategis Menghapus Luka Perundungan
1. Edukasi dan Peningkatan Kesadaran: Sosialisasi mengenai dampak negatif perundungan harus dilakukan secara rutin di sekolah dan komunitas melalui seminar, lokakarya, dan diskusi interaktif. Hal ini penting untuk menanamkan nilai-nilai empati, toleransi, dan saling menghargai.
2. Pembentukan dan Penguatan Tim Anti Perundungan: Sekolah harus memiliki tim khusus yang beranggotakan guru, siswa, dan perwakilan orang tua. Tim ini bertugas untuk memantau, menangani laporan, serta menjadi penghubung antara pihak sekolah dan keluarga.
3. Pelaporan yang Mudah dan Aman: Sistem pelaporan yang memanfaatkan teknologi, seperti barcode di SMA Negeri 1 Sebatik, dapat meningkatkan kepercayaan korban untuk melapor. Sistem ini harus menjamin kerahasiaan dan kenyamanan pelapor.
4. Pendampingan Psikologis: Memberikan pendampingan psikologis kepada korban sangat penting untuk membantu pemulihan emosional. Pelaku pun perlu mendapatkan pembinaan agar memahami dampak negatif perundungan dan mengubah perilakunya.
5. Keterlibatan Orang Tua dan Pihak Eksternal: Orang tua memiliki peran penting dalam mendukung anak mereka. Pihak eksternal seperti kepolisian atau lembaga konseling juga dapat dilibatkan untuk memberikan perlindungan yang lebih menyeluruh.
6. Penguatan Karakter Siswa: Menanamkan nilai-nilai seperti empati, keberanian, kejujuran, dan penghargaan terhadap perbedaan harus dimulai sejak dini. Program yang menekankan pembangunan karakter akan membantu mencegah munculnya tindakan perundungan.
7. Evaluasi dan Monitoring Berkelanjutan: Sekolah harus rutin melakukan evaluasi program anti perundungan untuk menilai efektivitasnya dan melakukan penyesuaian jika diperlukan. Hal ini akan memastikan keberlanjutan program dan peningkatan kualitasnya.
Penutup
Melangkah bersama untuk menghapus luka perundungan adalah upaya kolektif yang membutuhkan komitmen dan keseriusan dari semua pihak. Kolaborasi yang erat antara sekolah, guru, siswa, orang tua, dan masyarakat akan mampu menciptakan lingkungan yang terbebas dari perundungan. Contoh implementasi di SMA Negeri 1 Sebatik menunjukkanbahwa inovasi, kerja sama, dan pendekatan yang menyeluruh dapat mengubah budaya sekolah menjadi lebih positif dan mendukung perkembangan peserta didik. Dengandemikian, mari bersama-sama melangkah dan saling mendukung untuk menghapus luka perundungan, serta membangun masa depan yang lebih cerah bagi generasi penerus bangsa.[]
Penulis :
Abdul Fikri, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang