Notification

×

Iklan

Iklan

Menuju Desa Digital: Sistem Informasi untuk Indonesia yang Merata

Kamis, 26 Juni 2025 | Juni 26, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-26T15:04:27Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Ellysa Auliyani (Foto/dok. pribadi)

Kemajuan teknologi informasi di era digital seharusnya menjadi alat pemersatu, bukan pemisah. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketimpangan digital antara kota dan desa masih sangat nyata di Indonesia. Ketika kota-kota besar telah akrab dengan startup, transaksi nontunai, dan layanan publik berbasis aplikasi, desa-desa di pelosok masih kesulitan mengakses internet yang stabil. Ketimpangan ini bukan hanya soal jaringan, tapi juga soal akses pengetahuan, layanan, dan kesempatan. Di sinilah urgensi gerakan “Desa Digital” menemukan relevansinya.

 

Sebagian orang mungkin masih memandang konsep “Desa Digital” sebagai sesuatu yang muluk. Padahal, esensinya bukan sekadar memasang WiFi di balai desa atau membuat website desa yang jarang diperbarui. Desa digital adalah gagasan pemberdayaan masyarakat melalui teknologi informasi yang digunakan secara terarah, sesuai kebutuhan lokal, dan berkelanjutan. Bukan untuk menyamakan desa dengan kota, tapi untuk membuat desa mampu berdiri di atas potensinya sendiri. Ini adalah langkah strategis menuju keadilan sosial dan ekonomi yang selama ini menjadi cita-cita bangsa.

 

Dalam praktiknya, sistem informasi di desa bisa membantu banyak hal. Mulai dari administrasi kependudukan, pengajuan surat secara daring, pencatatan keuangan, hingga layanan publik berbasis data. Petani bisa mengakses informasi cuaca, harga pasar, bahkan menjual produknya langsung ke konsumen lewat platform digital. Teknologi bukan lagi barang mewah, melainkan alat sehari-hari untuk meningkatkan kesejahteraan. Tentu, semua ini tidak akan terwujud tanpa kesadaran dan komitmen bersama.

 

Sayangnya, tantangan di lapangan masih besar. Akses internet belum merata, tenaga ahli TIK di desa masih langka, dan banyak warga belum terbiasa menggunakan perangkat digital. Bahkan, di banyak tempat, kesadaran akan pentingnya sistem informasi masih rendah. Ditambah lagi dengan keterbatasan anggaran, banyak desa lebih memilih membangun jalan atau fasilitas fisik lainnya yang hasilnya lebih cepat terlihat. Padahal, digitalisasi adalah fondasi jangka panjang pembangunan. Justru dari desa-lah transformasi digital harus dimulai, agar tidak lagi tertinggal oleh waktu.

 

Sistem informasi bisa menjadi solusi konkret atas berbagai masalah tersebut. Bukan sesuatu yang eksklusif, sistem informasi bisa dirancang secara sederhana sesuai kebutuhan lokal. Sistem pertanian berbasis data cuaca dan tanah, sistem pendidikan daring dengan konten lokal, hingga dashboard transparansi anggaran desa adalah contoh-contoh kecil yang bisa berdampak besar. Teknologi bisa menjadi alat demokratisasi, memperkuat partisipasi, dan mempersempit celah ketimpangan. Tapi ini hanya bisa terjadi jika ada kemauan politik dan keterlibatan masyarakat luas.

 

Di sinilah peran mahasiswa dan generasi muda sangat penting. Kita tidak bisa hanya jadi penonton. Sebagai generasi digital-native, kita punya tanggung jawab moral untuk membawa teknologi ke masyarakat yang belum tersentuh. Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) bisa menjadi pintu awal. Mulai dari pelatihan dasar komputer, membuat sistem informasi sederhana, hingga membuat konten edukatif untuk warga desa. Perubahan besar selalu dimulai dari tindakan kecil yang konsisten.

 

Membangun desa digital memang tidak mudah. Butuh kolaborasi lintas sektor pemerintah, swasta, akademisi, hingga masyarakat itu sendiri. Infrastruktur, pelatihan SDM, dan pendanaan adalah tantangan nyata. Namun, jika tidak dimulai sekarang, ketertinggalan akan semakin lebar. Bayangkan jika semua desa di Indonesia mampu memasarkan produk lokalnya secara daring, menyediakan layanan administrasi yang efisien, dan menyelenggarakan pendidikan serta kesehatan berbasis teknologi. Bukan hanya kota yang maju, tapi seluruh negeri tumbuh secara adil dan seimbang.

 

Menuju desa digital bukan sekadar mengikuti tren global, tapi tentang memastikan bahwa seluruh warga negara di kota maupun di pelosok memiliki hak yang sama dalam mengakses teknologi dan manfaatnya. Sistem informasi bukan hanya milik perusahaan besar atau lembaga pemerintah, tapi harus menjadi milik rakyat. Sudah saatnya teknologi membumi. Dan itu dimulai dari desa.[]

 

Penulis :

Ellysa Auliyani, mahasiswa Program Studi Sistem Informasi, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh Lhokseumawe

×
Berita Terbaru Update