Notification

×

Iklan

Iklan

Optimalisasi Pemerintahan Daerah Bangka Belitung dalam Mewujudkan Tata Kelola yang Responsif dan Partisipatif

Sabtu, 14 Juni 2025 | Juni 14, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-13T18:13:21Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Aditya Prasetya (Foto/dok. pribadi)

Sebagai mahasiswa hukum yang mempelajari secara kritis struktur dan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan, saya memandang bahwa pemerintahan daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masih menghadapi tantangan mendasar dalam upaya mewujudkan tata kelola yang responsif, partisipatif, dan berbasis hukum. Meskipun secara umum penyelenggaraan pemerintahan daerah telah mengikuti kerangka otonomi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, namun dalam praktiknya implementasi otonomi daerah di Bangka Belitung kerap belum sejalan dengan prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang baik dan belum sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat lokal.

 

Keterbatasan Responsivitas dan Partisipasi Publik

 

Pertama, dari perspektif asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), terutama asas keterbukaan dan partisipasi, masih banyak kebijakan pemerintah daerah di Bangka Belitung yang belum menyentuh akar permasalahan masyarakat secara langsung. Salah satu indikator nyata adalah minimnya pelibatan publik dalam proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Meskipun secara normatif forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) disediakan sebagai instrumen untuk menjaring aspirasi masyarakat, kenyataannya forum tersebut sering kali hanya menjadi formalitas belaka. Banyak usulan masyarakat yang tidak diakomodasi, atau bahkan tidak diketahui kelanjutannya, karena tidak adanya mekanisme tindak lanjut dan laporan balik kepada masyarakat.

 

Sebagai mahasiswa hukum, saya menilai bahwa kondisi ini tidak hanya merupakan persoalan teknis administrasi, melainkan juga pelanggaran terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas publik yang seharusnya melekat dalam setiap kebijakan publik daerah. Tanpa keterbukaan dan partisipasi, legitimasi kebijakan pemerintah daerah menjadi lemah di mata rakyat, dan hal ini berpotensi menciptakan ketimpangan kebijakan serta memicu ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah daerah.

 

Konflik Kewenangan dan Ketiadaan Harmonisasi Regulasi

 

Kedua, permasalahan klasik yang sering muncul di Bangka Belitung adalah tumpang tindih kewenangan antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota. Salah satu contoh konkrit adalah dalam pengelolaan sektor pertambangan timah dan pengelolaan wilayah pesisir. Konflik kewenangan ini tidak hanya menimbulkan ketidakefisienan dalam pengelolaan sumber daya alam, tetapi juga menjadi sumber konflik horizontal di masyarakat, terutama antara masyarakat lokal dengan pelaku usaha tambang skala besar atau korporasi.

 

Secara yuridis, hal ini mencerminkan lemahnya sinkronisasi regulasi sektoral antara pusat dan daerah. Mahasiswa hukum memandang bahwa kondisi ini menunjukkan kurangnya harmonisasi norma hukum dalam sistem pemerintahan daerah yang seharusnya saling mendukung, bukan saling bertentangan. Ketika kewenangan tidak dikelola dengan jelas dan tidak didasari oleh kerangka hukum yang koheren, maka yang terjadi adalah kebingungan dalam implementasi kebijakan, dan pada akhirnya rakyatlah yang paling dirugikan.

 

Urgensi Penguatan Nilai Lokal dalam Pembangunan Hukum Daerah

 

Ketiga, Bangka Belitung memiliki kekayaan budaya dan nilai-nilai lokal yang berakar kuat dalam kehidupan masyarakat, seperti nilai musyawarah mufakat, gotong royong, dan sikap kolektif dalam menyelesaikan persoalan. Namun, sayangnya nilai-nilai lokal ini belum sepenuhnya diintegrasikan dalam kebijakan pemerintahan daerah. Hukum adat dan kearifan lokal belum mendapatkan tempat yang memadai dalam pembangunan hukum dan regulasi daerah, padahal dalam prinsip rekognisi dalam hukum adat, negara—termasuk pemerintah daerah—berkewajiban untuk mengakui, menghormati, dan melindungi nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

 

Sebagai mahasiswa hukum, saya melihat bahwa pendekatan hukum yang sensitif terhadap nilai-nilai lokal akan memperkuat legitimasi hukum dan memperkuat kohesi sosial. Peraturan daerah yang lahir dari pemahaman terhadap budaya lokal akan lebih diterima masyarakat, karena merasa memiliki dan dilibatkan dalam proses pembentukan hukum.

 

Rekomendasi dan Gagasan Kritis Mahasiswa Hukum

 

Dalam rangka mengoptimalkan tata kelola pemerintahan daerah di Bangka Belitung, saya sebagai mahasiswa hukum mengusulkan beberapa rekomendasi sebagai berikut:

 

1. Peningkatan kualitas penyusunan Peraturan Daerah (Perda) yang substantif, bukan sekadar formalitas administratif. Perda harus disusun berdasarkan kajian akademik yang kuat dan kebutuhan riil masyarakat daerah.

 

2. Pelibatan aktif perguruan tinggi dan mahasiswa, khususnya fakultas hukum, dalam proses konsultasi publik, penyusunan naskah akademik, hingga evaluasi kebijakan daerah. Kolaborasi ini akan memperkuat akuntabilitas dan kualitas hukum daerah.

 

3. Pembentukan forum-forum dialog masyarakat dengan pemerintah daerah, seperti forum transparansi anggaran, forum penyusunan perda, dan forum pemuda daerah, agar mekanisme checks and balances di tingkat lokal benar-benar hidup dan dinamis.

4. Penguatan pemahaman aparat pemerintah daerah terhadap prinsip-prinsip AUPB, agar setiap tindakan dan keputusan pemerintahan benar-benar sesuai dengan asas legalitas, profesionalitas, efisiensi, dan keadilan sosial.

Penutup

 

Pada akhirnya, saya percaya bahwa Bangka Belitung memiliki potensi besar untuk menjadi contoh daerah yang sukses dalam mengimplementasikan otonomi daerah yang tidak hanya legal-formal, tetapi juga bermakna substantif. Pemerintahan daerah yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat, terbuka terhadap kritik dan masukan, serta berakar pada nilai-nilai lokal akan menjadi pondasi penting dalam membangun demokrasi lokal yang sehat, adil, dan berkeadaban hukum.

 

Sebagai mahasiswa hukum, saya menaruh harapan besar bahwa perubahan dapat dimulai dari ide, gagasan, dan kritik yang konstruktif dari generasi muda, demi terciptanya tata kelola pemerintahan daerah yang benar-benar pro-rakyat dan berpihak pada keadilan.[]

 

Penulis :

Aditya Prasetya, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

×
Berita Terbaru Update