Notification

×

Iklan

Iklan

Otonomi Tanpa Partisipasi: Ketika Rakyat jadi Penonton di Pemerintahannya Sendiri

Sabtu, 14 Juni 2025 | Juni 14, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-13T17:55:47Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Foto/Ilustrasi

Setelah lebih dari dua dekade reformasi, otonomi daerah telah menjadi fondasi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi diharapkan dapat mendekatkan pelayanan publik kepada rakyat, memberi ruang bagi kekhasan lokal, serta memperkuat demokrasi dari bawah. Namun, harapan itu tak selalu sejalan dengan kenyataan.

 

Di banyak daerah, masyarakat masih merasa jauh dari proses pengambilan keputusan. Wewenang yang luas di tingkat daerah tak selalu diiringi dengan ruang partisipasi yang terbuka. Akibatnya, rakyat justru menjadi penonton dalam pemerintahan yang seharusnya melibatkan mereka sejak awal.

 

Ilusi Partisipasi dalam Demokrasi Lokal

 

Secara normatif, partisipasi publik dalam pemerintahan daerah diatur dalam berbagai regulasi. Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) misalnya, menjadi saluran formal bagi warga untuk menyampaikan aspirasi dan usulan pembangunan. Namun, dalam praktiknya, Musrenbang kerap berjalan hanya sebagai kegiatan seremonial.

 

Usulan masyarakat tidak selalu menjadi prioritas, bahkan tidak jarang tenggelam dalam dokumen perencanaan yang sudah ditentukan sebelumnya. Hal ini menciptakan kesenjangan antara aspirasi warga dan arah pembangunan daerah, sekaligus memperkuat persepsi bahwa partisipasi publik hanya formalitas belaka.

 

Partisipasi sejati tidak cukup hanya dengan mengundang masyarakat ke forum tahunan. Ia membutuhkan mekanisme yang memungkinkan warga terlibat secara aktif, kritis, dan berkelanjutan—baik dalam proses perencanaan, pengawasan, maupun evaluasi kebijakan.

 

Hambatan Struktural dan Budaya Diam

 

Rendahnya partisipasi publik juga tak lepas dari persoalan struktural dan kultural. Tidak semua warga memiliki akses yang setara terhadap informasi, forum dialog, dan pengambilan keputusan. Keterbatasan literasi kebijakan, rendahnya keterbukaan pemerintah daerah, serta lemahnya distribusi informasi menjadi kendala utama.

 

Di sisi lain, budaya “diam” dalam masyarakat juga masih kuat. Banyak warga yang enggan terlibat karena merasa suaranya tidak akan berpengaruh. Ada pula kekhawatiran akan adanya tekanan sosial atau politis jika terlalu vokal menyampaikan kritik.

 

Padahal, partisipasi publik yang sehat tidak dapat tumbuh dalam suasana takut, apatis, atau tidak percaya. Ia memerlukan ruang aman dan dukungan dari pemerintah agar warga merasa dihargai, bukan diabaikan.

 

Teknologi Tidak Menjamin Keterlibatan

 

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak pemerintah daerah yang mulai memanfaatkan teknologi untuk menjangkau masyarakat. Aplikasi pengaduan, portal pelayanan publik, hingga forum digital diluncurkan untuk membuka kanal komunikasi dua arah.

 

Namun, keberadaan teknologi tidak otomatis menjamin partisipasi yang lebih baik. Jika kanal digital itu tidak dikelola dengan responsif dan terbuka, ia justru menjadi etalase kosong. Warga yang menyampaikan keluhan atau usulan sering tidak mendapatkan tanggapan atau tindak lanjut. Pada akhirnya, mereka kembali merasa diabaikan.

 

Teknologi hanya menjadi alat. Keterlibatan publik akan tetap lemah jika tidak dibarengi dengan komitmen untuk mendengarkan, terbuka terhadap kritik, dan sungguh-sungguh ingin melibatkan masyarakat dalam proses pemerintahan.

 

Peran Strategis Pemerintah Daerah

 

Pemerintah daerah memiliki peran strategis dalam menciptakan ruang partisipasi yang bermakna. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, memperkuat transparansi informasi publik, terutama terkait anggaran, perencanaan, dan program pembangunan. Kedua, mengembangkan kanal partisipatif yang inklusif, baik secara offline maupun digital. Ketiga, membangun budaya dialog yang tidak sekadar prosedural, tetapi benar-benar memberi pengaruh terhadap kebijakan.

 

Selain itu, penting juga untuk melibatkan kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini kurang terdengar suaranya—seperti petani, perempuan, pemuda, komunitas adat, dan kelompok disabilitas. Keterlibatan mereka akan membuat kebijakan daerah lebih adil, beragam, dan responsif terhadap kebutuhan riil masyarakat.

 

Warga Bukan Objek, Tapi Subjek

 

Otonomi daerah tidak akan berjalan sehat jika masyarakat hanya dijadikan objek pembangunan. Warga harus dipandang sebagai subjek aktif dalam proses penyusunan kebijakan, bukan sekadar penerima manfaat atau pendukung politik.

 

Sudah saatnya pemerintah daerah melihat partisipasi publik bukan sebagai beban, melainkan sebagai fondasi utama dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis dan berorientasi pada kepentingan bersama.

 

Ketika masyarakat diberi ruang, kepercayaan, dan akses untuk terlibat, maka kebijakan yang dihasilkan akan lebih relevan, akuntabel, dan berkelanjutan.

 

Otonomi daerah adalah peluang besar untuk memperkuat demokrasi lokal. Namun, tanpa partisipasi publik yang bermakna, otonomi hanya menjadi pemindahan kekuasaan dari pusat ke daerah—tanpa mengubah cara kerja yang eksklusif dan elitis.

 

Pemerintah daerah perlu membuka ruang dialog yang jujur, memperkuat mekanisme transparansi, dan membangun budaya kolaborasi dengan masyarakat. Di sisi lain, warga juga perlu didorong untuk aktif, kritis, dan sadar akan hak-hak politiknya.

 

Demokrasi tidak akan hidup tanpa rakyat yang terlibat. Dan otonomi tidak akan berarti tanpa rakyat yang berdaya.[]

 

Penulis :

Imanuel La Antrag, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

×
Berita Terbaru Update