![]() |
Dita Asobah (Foto/dok. pribadi) |
Pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku yang bersifat merendahkan, mengganggu, atau menyerang seseorang secara fisik, verbal, visual, maupun digital tanpa persetujuan dari korban. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti ucapan cabul, menyentuh tubuh tanpa izin, mengirim pesan atau gambar yang tidak senonoh, dan bahkan memperlihatkan bagian tubuh secara sengaja.
Banyak orang mengira pelecehan hanya terjadi pada perempuan dewasa. Padahal, laki-laki juga bisa jadi korban, dan yang lebih menyedihkan, anak-anak pun sering menjadi sasaran. Karena mereka belum tahu bagaimana cara melindungi diri dan sering kali takut bicara. Lebih parahnya lagi, setelah dilecehkan, mereka diminta diam dan tidak boleh cerita pada siapa pun, bahkan pelaku memberi hadiah seperti uang, makanan, mainan hingga ancaman agar korban tidak melapor.
Data Komnas Perempuan menunjukkan ada lebih dari 289 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2023. Jumlah ini belum termasuk kasus yang tidak dilaporkan. Banyak korban memilih diam karena takut dihakimi atau tidak dipercaya. Mirisnya, saat kasus seperti ini terungkap, justru korban yang sering jadi sasaran tudingan.
Ironisnya, di tengah meningkatnya kesadaran akan isu ini, budaya menyalahkan korban (victim blaming) masih marak terjadi. Seringkali, korban justru dipersalahkan atas kejadian yang menimpanya dengan alasan pakaian yang dikenakan, sikap yang dianggap menggoda, atau berada di tempat dan waktu yang “tidak tepat”.
Bukan pelaku yang dipertanyakan, tapi malah korban yang diinterogasi soal pakaian, sikap, atau kenapa mereka ada di tempat kejadian. Seolah-olah mereka yang ‘mengundang’ perlakuan itu. Pola pikir seperti ini sangat keliru dan justru membuat korban enggan bicara. Akibatnya, banyak kasus yang akhirnya hilang begitu saja tanpa keadilan. Sehingga, banyak korban yang akhirnya memilih diam karena merasa malu, bersalah, atau takut dihakimi.
Padahal, mereka yang paling terluka justru dipaksa menanggung semuanya sendiri. Rasa bersalah yang bukan milik mereka jadi beban pikiran setiap hari. Hal ini bisa memicu trauma jangka panjang, kecemasan berlebihan, depresi, bahkan membuat korban merasa tidak berharga atau menyalahkan diri sendiri terus-menerus.
Jika hal ini dibiarkan terus, korban tidak hanya terluka secara fisik atau emosional, tapi juga bisa mengalami gangguan mental yang serius. Mereka jadi sulit percaya pada orang lain, bahkan bisa kehilangan semangat hidup. Lingkungan yang harusnya mendukung malah ikut membuat mereka merasa sendirian. Padahal, yang paling dibutuhkan korban saat itu adalah dukungan, rasa aman, dan keyakinan bahwa mereka tidak salah.
Pemerintah juga memiliki peran penting dalam menanggulangi pelecehan seksual. Penguatan hukum, seperti implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), harus dilakukan secara konsisten dan tegas. Selain itu, penyediaan layanan pendampingan dan rehabilitasi bagi korban harus ditingkatkan agar mereka dapat pulih dan melanjutkan hidup dengan layak.
Salah satu langkah penting untuk menghentikan kasus pelecehan adalah lewat edukasi—bukan cuma untuk anak-anak, tapi juga orang dewasa. Anak-anak perlu diajari sejak dini bahwa tubuh mereka adalah milik mereka sendiri. Ada bagian tubuh tertentu seperti dada, kemaluan, dan area privasi lainnya yang tidak boleh disentuh siapa pun tanpa izin. Orang dewasa pun harus diberi pemahaman yang benar soal batas dan rasa hormat. Terutama di kalangan laki-laki.
Bukan perempuan yang harus terus-terusan diajari untuk jaga diri, tapi laki-laki yang harus belajar mengendalikan nafsu dan menghormati batas orang lain. Mengontrol diri itu bukan kelemahan, tapi bentuk tanggung jawab. Soalnya, dampak dari pelecehan ini nyata dan berat, terutama untuk kesehatan mental perempuan. Mereka bisa trauma seumur hidup hanya karena satu tindakan yang katanya “Cuma iseng.”
Edukasi ini juga harus diperluas ke sekolah, tempat kerja, lingkungan rumah, dan media sosial. Semakin banyak orang yang sadar soal batas, empati, dan dampak dari tindakan pelecehan, maka makin besar peluang kita untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi semua—terutama bagi perempuan dan anak-anak. Karena pada akhirnya, mencegah pelecehan bukan hanya tugas korban, tapi tanggung jawab kita semua.[]
Penulis :
Dita Asobah, mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah Universitas Pamulang, Email : ditaasobah15@gmail.com