![]() |
Fadiyyahtu Salwa (Foto/dok. pribadi) |
Dalam dunia bisnis modern, etika sering kali menjadi isu yang kompleks dan penuh tantangan. Di tengah persaingan ketat dan tekanan pasar, nilai-nilai moral dan integritas kerap terpinggirkan. Di sinilah pentingnya sistem bisnis yang tidak hanya mengutamakan keuntungan, tetapi juga menjunjung tinggi prinsip-prinsip etis dan spiritual. Islam sebagai agama yang sempurna, menawarkan solusi melalui sistem ekonomi dan bisnis syariah yang dibangun atas dasar keadilan, transparansi, dan kebaikan.
Akad berbasis kebaikan, seperti hibah dan hadiah, memiliki peran strategis dalam memperkuat etika bisnis syariah. Kedua akad ini tidak hanya menjadi sarana distribusi kekayaan, tetapi juga memperkuat nilai-nilai moral dan sosial dalam aktivitas ekonomi umat Islam.
Akad hibah dan hadiah memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Meski tidak selalu menjadi bagian utama dalam transaksi bisnis, akad hibah memiliki kontribusi signifikan dalam memperkuat ikatan sosial, menumbuhkan kepercayaan, dan menanamkan nilai kebaikan dalam aktivitas ekonomi.
Dengan demikian, etika bisnis menjadi landasan yang kuat dalam mengelola bisnis secara berkelanjutan dan membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.
Akad dalam Perspektif Syariah
Akad secara bahasa berasal dari kata Arab al-‘aqd yang berarti ikatan, simpul, atau perjanjian. Dalam terminologi fikih Islam, akad adalah hubungan atau pertalian antara ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) yang dilakukan sesuai dengan syarat-syarat syariah, sehingga menimbulkan akibat hukum pada objek perikatan tersebut. Akad bisa berbentuk perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, seperti jual beli, sewa-menyewa, investasi, hibah, dan lain sebagainya.
Etika bisnis syariah
Secara bahasa, etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti kebiasaan yang berarti karakter istimewa, tabiat, moral, atau keyakinan yang membimbing seseorang atau suatu kelompok. Etika bisnis dikaitkan dengan perilaku baik dan buruk atau benar dan salah yang terjadi dalam konteks bisnis.
Etika bisnis syariah adalah seperangkat aturan, prinsip, dan norma moral yang mengatur perilaku pelaku bisnis berdasarkan ajaran Islam dan hukum syariah. Tujuannya adalah memastikan seluruh aktivitas bisnis berjalan sesuai dengan nilai-nilai Islam, menekankan keadilan, kejujuran, tanggung jawab sosial, dan menghindari praktik yang dilarang agama seperti riba, gharar (ketidakpastian), dan maysir (perjudian).
Keputusan etik ialah satu hal yang benar mengenal perilaku standar. Etika bisnis kadang-kadang disebut pula etika manajemen ialah penerapan standar moral ke dalam kegiatan bisnis. W. F. Schoell (1993:46) menyatakan: some filosophers day that behaviour is ethical if it follows the wills of GOD. Jadi sebenarnya perilaku yang etis itu ialah perilaku yang mengikuti perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Dalam Islam etika bisnis ini sudah dibahas dalam berbagai literatur dan sumber utamanya adalah Al-Qurandan hadits.
Pelaku-pelaku bisnis diharapkan bertindak secara etis dalam berbagai aktivitasnya artinya usaha yang ia lakukan harus mampu memupuk atau membangun tingkat kepercayaan dari era relasinya. Kepercayaan, keadilan dan kejujuran adalah elemen pokok dalam mencapai suksesnya satu bisnis di kemudian hari.
Sebuah perusahaan bisnis harus ada etika dalam menggunakan sumber daya yang terbatas, dan map akibat dari pemakaian sumber daya tersebut, apa akibat dari proses produksi yang menimbulkan polusi. Diharapkan orang bisnis memiliki standar etik yang lebih tinggi, karena mereka langsung berhadapan dengan masyarakat, yang selalu mengawasi kegiatan mereka.
Banyak istilah lain yang senada dengan etika yaitu, akhlaq, budi pekerti, perangai, tabiat, moral, sopan santun, dan sebagainya. Terhadap uraian mengenai istilah ini, kita kutip pandangan Hamzah Ya’kub dalam bukunya Etika Islam (1991: 11-15): perkataan akhlaq berasal dari bahasa Arab, yang diartikan sama dengan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.
Pengertian akhlaq ialah ilmu yang tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin. Rasulullah SAW diutus oleh Alla SWT adalah untuk menyempurnakan dan atau memperbaiki akhlaq manusia, bukan untuk langsung mengembangkan ekonomi, tapi akhlaq dulu.
Akad Hibah: Akad Berbasis Kebaikan Pengertian dan Landasan Hukum Hibah
Akad hibah adalah perjanjian sukarela antara pemberi hibah (wahib) dan penerima hibah (mauhub lahu), di mana pemberi hibah memberikan harta atau properti kepada penerima tanpa mengharapkan imbalan atau pembayaran balik. Hibah dilakukan saat pemberi masih hidup dan bersifat Cuma-Cuma, dengan niat ikhlas untuk membantu sesama dan memperoleh ridha Allah SWT.
Secara istilah syariah, hibah berarti akad yang menetapkan perpindahan kepemilikan suatu benda kepada orang lain secara sukarela dan tanpa imbalan, dilakukan saat pemberi masih hidup. Hibah berbeda dengan jual beli karena tidak melibatkan pertukaran barang dan berbeda dengan wasiat yang berlaku setelah kematian.
Hibah dijelaskan dalam Al-Quran, hadis, hukum Islam, undang-undang dan hukum perdata, berikut ini uraiannya:
1. Al- Qur’an
Hibah hukumnya sunnah dalam Islam. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 177 yang menyebutkan bahwa melakukan kebajikan termasuk memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, dan lainnya.
۞ لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ
Artinya: “Kebajikan itu bukanlah mengahadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 177)
2. Hadist
Hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Bukhari menjelaskan tentang dasar hukum hibah. Hadis tersebut menjelaskan bahwa setiap pemberian atau hadiah adalah sebuah perbuatan baik yang dianjurkan dalam Islam. Berikut isi hadisnya:
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: Nabi SAW pernah bersabda, “ Wahai kaum muslimat, jangan memandang rendah hadiah yang diberikan tetanggamu meskipun sekadar telapak kaki kambing.” (HR Bukhari).
3. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Menyadur karya ilmiah berjudul Hibah dalam Hukum Positif di Indonesia dan Kaitannya dengan Pembuktian di Persidangan oleh Idia Isti Murni, terbitan pa-pekanbaru.go.id, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), ketentuan hibah dimuat dalam pasal 171 huruf g dan pasal 210 hingga 214. Berdasarkan KHI pasal 171 huruf g, pengertian hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
4. Undang-Undang
Hibah juga dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selanjutnya, dijelaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang menguat kembali wewenang Pengadilan Agama.
Berdasarkan undang-undang tersebut, pengertian hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
5. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hibah diatur dalam buku ketiga tentang Perikatan, mulai pasal 1666 sampai 1693. Beberapa hal tentang hibah yang dijelaskan dalam hukum perdata, yakni syarat pemberi hibah, tata cara penghibahan, dan lainnya.
Peran Akad Hibah dalam Etika Bisnis Syariah
Akad hibah memiliki peran sentral dalam etika bisnis syariah karena mencerminkan nilai-nilai fundamental Islam seperti keikhlasan, kedermawanan, solidaritas sosial, dan keadilan dalam bermuamalah.
1. Mendorong pelaku usaha untuk berbagi tanpa pamrih
2. Membantu pihak yang membutuhkan, memperkuat solidaritas sosial
3. Memudahkan pemerataan aset dan kepemilikan dalam bisnis
4. Menjadi solusi damai dalam konflik bisnis
5. Meningkatkan spiritualitas dan keberkahan dalam aktivitas bisnis
6. Menanamkan integritas, kejujuran, dan keterbukaan dalam berbisnis
Penerapan Akad Hibah dalam Praktik Nyata
Salah satu contoh implementasi akad hibah yang berdampak positif adalah dalam sektor usaha kecil berbasis komunitas. Misalnya, sebuah koperasi syariah memberikan bantuan alat produksi kepada anggotanya yang terdampak bencana sebagai bentuk hibah. Bantuan tersebut tidak dipungut biaya dan tidak menimbulkan kewajiban pengembalian, namun justru mempererat ikatan sosial dan loyalitas anggota terhadap koperasi.
Contoh lain adalah perusahaan yang membangun sistem reward untuk karyawan terbaik dalam bentuk hadiah umrah atau barang bernilai. Selama hadiah tersebut tidak bersyarat pada tindakan manipulatif, ini merupakan bentuk hibah yang mampu memotivasi karyawan secara etis dan spiritual.
Tantangan dan Solusi
Tantangan:
1. Pemahaman yang keliru tentang perbedaan antara hibah dan suap.
2. Kurangnya regulasi internal di perusahaan tentang tata kelola hadiah.
3. Potensi penyalahgunaan hibah untuk kepentingan tersembunyi.
Solusi:
1. Edukasi berkelanjutan kepada pelaku usaha tentang konsep akad berbasis kebaikan.
2. Menyusun kode etik perusahaan berbasis syariah.
3. Transparansi dan dokumentasi setiap pemberian hibah agar tidak menimbulkan prasangka atau pelanggaran.
Kesimpulan
Akad berbasis kebaikan, khususnya hibah dan hadiah, memiliki peran strategis dalam memperkuat etika bisnis syariah. Dalam dunia bisnis modern yang kerap diwarnai oleh persaingan tidak sehat dan penurunan nilai-nilai moral, keberadaan akad-akad ini menjadi napas baru yang menanamkan semangat keikhlasan, kepedulian sosial, dan keadilan. Akad hibah bukan sekadar sarana distribusi harta tanpa imbalan, tetapi juga menjadi instrumen pembentuk karakter dan budaya bisnis yang berlandaskan nilai-nilai Islam.
Dalam perspektif syariah, hibah memiliki landasan kuat baik dari Al-Qur’an, hadis, maupun peraturan hukum positif di Indonesia. Fungsinya tidak hanya membantu pemerataan ekonomi, tetapi juga memperkuat hubungan sosial, menyelesaikan konflik secara damai, serta menumbuhkan keberkahan dan spiritualitas dalam aktivitas bisnis.
Namun demikian, tantangan tetap ada, seperti potensi penyalahgunaan hibah, kurangnya pemahaman, dan minimnya tata kelola etis di dunia usaha. Oleh karena itu, perlu adanya edukasi, penyusunan regulasi internal perusahaan yang berbasis syariah, serta penerapan prinsip transparansi dalam setiap pemberian hibah.
Dengan penguatan akad-akad berbasis kebaikan, pelaku usaha tidak hanya membangun bisnis yang menguntungkan secara material, tetapi juga menciptakan ekosistem ekonomi yang berkeadilan, berkelanjutan, dan diridhai oleh Allah SWT.[]
Penulis :
Fadiyyahtu Salwa, Mahasiswi Program Studi S-1 Ekonomi Syariah, Universitas Pamulang