![]() |
Foto/IST |
Kemajuan teknologi informasi telah merevolusi hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam bidang keagamaan. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin memiliki peran yang sangat strategis dalam menjawab tantangan zaman. Melalui pendekatan yang bijak, ajaran Islam dapat memanfaatkan kemajuan teknologi sebagai sarana dakwah dan pembelajaran yang lebih luas. Namun, di balik itu semua, terdapat tantangan moral yang tidak boleh diabaikan, khususnya terkait keaslian informasi dan etika bermedia.
Islam tidak menolak kemajuan. Sejak awal, umat Islam diperintahkan untuk membaca dan menggali ilmu sebagaimana tertuang dalam QS. Al-‘Alaq ayat 1–5. Teknologi digital saat ini telah menjadi alat penting dalam mendukung pembelajaran, penyebaran informasi keagamaan, dan pelestarian khazanah keislaman. Menurut Rahma Nur Amaria (2024), digitalisasi telah mempermudah pelestarian budaya Islam dan akses terhadap sumber literatur klasik. Buku-buku kuno dan manuskrip keislaman kini tersedia dalam bentuk digital yang dapat diakses siapa saja, kapan saja.
Generasi milenial sebagai generasi yang tumbuh di era teknologi memiliki potensi besar dalam memanfaatkan platform digital untuk menyuarakan nilai-nilai keislaman. Platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga menjadi media dakwah. Banyak tokoh muda menyampaikan pesan keislaman melalui ceramah singkat, podcast, hingga konten kreatif lainnya yang lebih menarik bagi kalangan sebaya. Dalam hal ini, teknologi telah menjadikan dakwah lebih variatif, interaktif, dan menjangkau audiens yang luas.
Di sisi lain, era digital juga memberikan akses yang lebih besar terhadap literatur keislaman. Situs digital seperti Al-Islam.org, Quraan.com, serta perpustakaan digital universitas Islam telah memudahkan pelajar dan masyarakat umum untuk belajar Islam dari sumber terpercaya. Bahkan, metode pembelajaran daring seperti kelas tafsir online, diskusi virtual, dan webinar keislaman menjadi sarana baru dalam menambah wawasan keagamaan secara fleksibel.
Transformasi ini menunjukkan bahwa Islam dapat terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi tanpa kehilangan substansi ajaran.
Namun, era digital juga membawa tantangan serius. Informasi yang tersebar di internet tidak semuanya dapat dipercaya. Banyak konten yang bersifat provokatif, bahkan menyesatkan, sehingga memunculkan disinformasi. Wida Fitria dan Ganjar Eka Subakti (2022) menyebutkan bahwa maraknya hoaks, ujaran kebencian, dan konten radikal di media sosial menjadi problem besar yang mengancam tatanan sosial dan nilai-nilai moderasi. Dalam pandangan Islam, aktivitas komunikasi harus didasari pada prinsip tabayyun (QS. Al-Hujurat: 6), berkata baik (qaulan kariman), serta tidak menyebarkan kebohongan (qaul al-zûr).
Kelebihan teknologi yang memungkinkan siapa saja menjadi penyampai pesan agama tanpa keilmuan yang memadai juga dapat menyebabkan kekeliruan dalam pemahaman. Konten keagamaan yang terlalu ringkas sering kehilangan konteks, yang berisiko menimbulkan pemahaman yang dangkal. Generasi milenial, meskipun kreatif dan melek teknologi, tetap membutuhkan bimbingan dalam memilah dan memilih sumber yang valid dan ilmiah.
Lebih dari itu, penyebaran konten keislaman harus memperhatikan etika digital. Islam menekankan pentingnya menjaga adab, baik dalam dunia nyata maupun di dunia maya. Umat Islam dituntut untuk tidak hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga menyampaikannya dengan cara yang hikmah dan penuh kesantunan. Dalam berdakwah digital, ini berarti menyampaikan nasihat dengan kata-kata yang lembut, tidak memaksakan kebenaran, serta membuka ruang diskusi yang sehat dan menghargai perbedaan.
Pendidikan Islam memiliki peran besar dalam membekali generasi muda dengan literasi digital yang islami. Lembaga pendidikan Islam, guru PAI, dan da’i dituntut untuk adaptif, mampu menghadirkan materi keagamaan dalam bentuk yang menarik tanpa mengorbankan substansi. Etika digital dalam Islam harus ditekankan, termasuk menjaga lisan di media sosial, menahan diri dari menyebarkan fitnah, serta bersikap toleran terhadap perbedaan.
Hadis Nabi SAW menyatakan, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim). Nilai-nilai adab ini perlu menjadi fondasi dalam setiap interaksi digital umat Islam. Membangun lingkungan digital yang sehat, edukatif, dan islami adalah bagian dari tanggung jawab kolektif umat.
Generasi milenial dapat menjadi agen perubahan yang menyebarkan Islam yang damai, moderat, dan inklusif. Melalui komunitas online, produksi konten edukatif, serta keterlibatan aktif dalam diskusi yang sehat, mereka turut berkontribusi dalam membangun peradaban digital yang berlandaskan nilai-nilai keislaman. Peran mereka penting dalam memastikan bahwa Islam tetap hadir secara kuat dan berwibawa di tengah arus globalisasi informasi.
Islam dan teknologi bukan dua kutub yang bertentangan. Jika disinergikan dengan nilai etika dan pengetahuan yang memadai, era digital justru menjadi peluang emas dalam menyebarkan risalah Islam ke penjuru dunia. Yang dibutuhkan adalah komitmen, literasi, dan penguatan karakter generasi muda agar tetap berpegang teguh pada ajaran Islam meskipun berada dalam arus zaman yang cepat dan kompleks.
Dengan melihat seluruh aspek tersebut, jelas bahwa Islam tidak hanya relevan, tetapi juga sangat diperlukan dalam membimbing masyarakat digital. Tantangan besar seperti krisis identitas, polarisasi opini, serta tekanan sosial media yang tinggi bisa diredam dengan kehadiran Islam yang sejuk, moderat, dan solutif. Generasi milenial yang dibekali dengan nilai keislaman dan kemampuan teknologi akan mampu menjadi pelopor peradaban baru yang berlandaskan ilmu dan iman.
Islam di era digital bukan hanya tentang bagaimana dakwah dilakukan secara daring, melainkan juga bagaimana umat Islam berperan sebagai penjaga moral, pendidik akhlak, dan pencipta ruang dialog yang sehat di dunia maya. Dengan semangat tersebut, dakwah bukan hanya ajakan, tetapi juga keteladanan. Inilah tantangan sekaligus peluang yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.[]
Penulis :
Nadia Pebrianti, mahasiswi STITMA Yogyakarta