Foto/Ilustrasi
Revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa, khususnya mengenai perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 8 tahun. Kebijakan ini patut diapresiasi karena membuka peluang strategis bagi pembangunan desa yang lebih terencana, terarah, dan berkelanjutan. Yang bukan sekadar soal perubahan angka dalam pasal undang-undang lebih dari itu, ini adalah soal visi jangka panjang untuk memperkuat otonomi desa dan memperdalam kualitas demokrasi lokal.
Selama ini, masa jabatan enam tahun sering dianggap tidak cukup untuk merealisasikan visi dan misi kepala desa yang terpilih. Program pembangunan yang memerlukan kesinambungan sering kali terhambat karena terbatasnya waktu pelaksanaan. Tidak jarang, ketika satu kepala desa lengser, kepala desa pengganti membawa visi yang berbeda, sehingga program yang sudah berjalan dihentikan atau tidak dilanjutkan. Akibatnya, banyak proyek dan rencana pembangunan yang berjalan setengah jalan. Ini menimbulkan ketimpangan, pemborosan anggaran, dan kekecewaan di tengah masyarakat yang telah menaruh harapan.
Dengan masa jabatan yang lebih lama, kepala desa memiliki ruang waktu yang lebih memadai untuk menyusun perencanaan jangka menengah dan panjang, melaksanakan program secara bertahap, serta mengevaluasi hasil pembangunan dengan lebih objektif. Di desa-desa tertinggal, yang kerap menghadapi kompleksitas persoalan seperti minimnya infrastruktur dasar, rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM), dan terbatasnya akses terhadap layanan publik, waktu tambahan ini sangat krusial. Ia bisa menjadi faktor pembeda antara pembangunan yang terputus-putus dan pembangunan yang berkelanjutan.
Namun demikian, perpanjangan masa jabatan kepala desa tidak boleh dipahami secara sempit sebagai bentuk penghargaan atau privilege kekuasaan. Tantangan besar justru muncul saat seorang pemimpin memegang kuasa terlalu lama tanpa pengawasan yang memadai. Risiko terjadinya penyalahgunaan wewenang, korupsi, praktik nepotisme, dan pelemahan partisipasi masyarakat menjadi semakin besar jika kontrol sosial tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu, perpanjangan masa jabatan ini harus diimbangi dengan sistem pengawasan yang lebih kuat, transparan, dan partisipatif.
Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai representasi suara masyarakat harus diperkuat, baik dari sisi kapasitas maupun keberanian dalam menjalankan fungsi pengawasan. Tidak boleh ada lagi BPD yang hanya menjadi pelengkap struktural, atau bahkan sekadar "stempel" atas semua kebijakan kepala desa. BPD perlu diberi ruang, dukungan, dan perlindungan agar dapat menjalankan fungsi check and balance secara nyata, terutama dalam proses perencanaan anggaran dan pelaksanaan kegiatan pembangunan desa.
Lebih jauh, keterlibatan masyarakat desa dalam proses pembangunan juga perlu terus ditumbuhkan. Partisipasi masyarakat tidak boleh berhenti pada saat pemilihan kepala desa semata. Transparansi informasi, keterbukaan forum musyawarah desa, dan penggunaan teknologi digital untuk menyampaikan laporan keuangan dan program kerja menjadi sangat penting di era sekarang. Desa-desa yang telah menerapkan digitalisasi anggaran terbukti mampu menekan angka korupsi dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah desa.
Pemerintah kabupaten, provinsi, bahkan pusat juga perlu memainkan peran yang lebih aktif dan bijaksana. Mereka tidak hanya hadir sebagai penyalur dana atau pemberi instruksi, tetapi sebagai fasilitator yang membimbing, mendampingi, dan mengawasi jalannya roda pemerintahan desa. Audit rutin, pelatihan pengelolaan anggaran, hingga sistem reward and punishment yang adil dan transparan perlu dikembangkan agar para kepala desa bekerja dengan penuh integritas dan akuntabilitas.
Dengan demikian, perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi fokus utama dalam kebijakan yang secara prinsip logis dan progresif. Memberikan kesempatan untuk memperkuat kapasitas kepemimpinan di tingkat desa, memperpanjang kesinambungan program pembangunan, dan memperdalam kualitas layanan publik.
Namun, kebijakan ini hanya akan berdampak positif jika disertai dengan komitmen serius untuk memperbaiki sistem pengawasan dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Kepala desa bukanlah pemegang kekuasaan tunggal. Tetapi merupakan pemimpin yang bermoral, dan wajah dari aspirasi warga desa. Delapan tahun adalah waktu yang panjang untuk membuktikan dedikasi dan menciptakan warisan pembangunan yang bisa dirasakan oleh generasi mendatang.[]
Penulis :
Zacky Nurfadillah, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung