![]() |
Foto/Ilustrasi |
Indonesia dikenal sebagai negara dengan masyarakat yang sangat beragam, baik dalam hal agama, suku, budaya, dan pandangan hidup. Dalam konteks seperti ini, kemampuan untuk hidup berdampingan secara damai menjadi hal yang sangat penting. Islam, sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, telah memberi panduan dalam menyikapi perbedaan. Salah satu isu yang cukup banyak dibahas adalah mengenai pluralisme dan pluralitas agama. Meski terdengar mirip, keduanya memiliki makna dan dampak yang sangat berbeda dalam pandangan Islam.
Istilah pluralisme dan pluralitas agama ini mulai naik dan menjadi perhatian kalangan cendekiawan Islam pada akhir abad ke-20, bersamaan dengan terjadinya perkembangan dalam kebijakan internasional Barat yang baru. Secara umum, istilah pluralisme mengajarkan bahwa semua agama dianggap sama benarnya dan setara dalam hal keselamatan akhirat. Pandangan ini menyatakan bahwa tidak boleh ada klaim kebenaran tunggal dari suatu agama atas agama lain. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa Nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 menolak paham pluralisme agama, karena dianggap bertentangan dengan prinsip tauhid dalam Islam. Dalam Islam, keyakinan terhadap kebenaran ajaran Islam tidak bisa diganggu gugat, sekaligus tetap diajarkan untuk hidup damai dengan pemeluk agama lain.
Berbeda dengan pluralisme, pluralitas agama merujuk pada kenyataan bahwa di dunia ini terdapat berbagai agama dan kepercayaan yang dianut oleh manusia. Dalam fatwanya, MUI mendefinisikan pluralitas agama sebagai “sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.”
Islam mengakui pluralitas ini, bahkan Al-Qur’an menyebut bahwa perbedaan adalah bagian dari kehendak Allah. Islam mengajarkan bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk bermusuhan, tetapi untuk saling mengenal dan menghargai. Dalam surah Al-Hujurat ayat 13, Allah berfirman:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat:13)
Ayat ini menekankan pentingnya saling mengenal dalam keberagaman. Prinsip ini menjadi dasar toleransi dalam Islam, di mana perbedaan tidak menjadi alasan untuk bermusuhan, melainkan untuk menjalin kerja sama dan kedamaian.
Penolakan terhadap pluralisme agama tidak berarti Islam anti terhadap toleransi. Justru sebaliknya, Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, dan penghargaan terhadap kebebasan beragama. Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 62 menjadi suatu ayat yang membahas tentang keberagaman agama dan hubungan antar umat beragama:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari Akhir serta melakukan kebajikan (pasti) mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah:62)
Ayat ini menunjukkan bahwa selama seseorang beriman kepada Tuhan dan melakukan kebaikan, maka Allah memberikan balasan yang layak. Hal ini menjadi dasar bahwa hubungan antarmanusia, termasuk antarumat beragama, seharusnya dibangun atas dasar kebaikan dan kemanusiaan.
Selain itu, surah Al-Kafirun ayat 6 yang berbunyi “Untukmu agamamu dan untukku agamaku” menegaskan prinsip penting dalam toleransi beragama. Islam menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan perdamaian dalam kehidupan sosial. Dalam Islam, tidak diajarkan pemaksaan dalam keyakinan, sebagaimana ditegaskan pula dalam ayat “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah:256).
Disebutkan dalam tafsir Wajiz bahwa maksud dari ayat keenam surah Al-Kafirun ini adalah tidak ada tukar-menukar dengan pengikut agama lain dalam hal peribadahan kepada Tuhan. Wahai orang kafir, untukmu agamamu, yakni kemusyrikan yang kamu yakini, dan untukku agamaku yang telah Allah pilihkan untukku sehingga aku tidak akan berpaling ke agama lain. Inilah jalan terbaik dalam hal toleransi antar umat beragama dalam urusan peribadahan kepada Tuhan.
Dengan demikian, Islam membedakan secara tegas antara mengakui keberagaman (pluralitas) dan meyakini semua agama sebagai sama-sama benar (pluralisme). Yang pertama diterima, yang kedua ditolak. Namun keduanya tetap menekankan pentingnya sikap saling menghargai dan hidup damai di tengah masyarakat yang bermacam-macam.
Dalam kehidupan yang penuh keberagaman ini, penting bagi umat Islam untuk memahami perbedaan secara bijak. Kenyataan bahwa umat manusia terdiri dari berbagai agama dan latar belakang tidak dapat dinafikan. Dengan tetap menjaga keyakinan, umat Islam diajarkan untuk hidup damai dan saling menghormati. Islam menolak pluralisme agama karena bertentangan dengan keyakinan pokok dalam Islam yang menegaskan hanya satu jalan keselamatan, yakni melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Sebaliknya, Islam menerima pluralitas, yaitu kenyataan bahwa di dunia ini ada banyak agama dan keyakinan. Pluralitas merupakan realitas sosial yang harus disikapi dengan toleransi dan saling menghormati. Inilah salah satu bentuk nyata ajaran Islam yang rahmat bagi seluruh alam.[]
Penulis :
Fira Dayana Yustian (Mahasiswi Aktif Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Madani Yogyakarta)