Notification

×

Iklan

Iklan

Profesionalisme: Bukan Sekadar Seragam dan Gelar

Rabu, 11 Juni 2025 | Juni 11, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-11T03:02:59Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Foto/Ilustrasi

Di Indonesia, kita terbiasa memaknai profesionalisme lewat hal-hal yang kasat mata: seragam rapi, gaya bicara formal, dan sederet gelar akademik di belakang nama. Tak jarang, seseorang dianggap profesional hanya karena penampilannya terlihat “berkelas” atau jabatannya terdengar meyakinkan. Padahal, sejatinya profesionalisme tidak berhenti pada apa yang tampak, melainkan menyentuh hal-hal yang lebih mendasar—yakni sikap, integritas, dan tanggung jawab.

 

Saya pernah menyaksikan sendiri seorang petugas pelayanan publik yang berseragam lengkap dan duduk di balik meja dengan plakat nama berjejer. Tapi saat warga datang meminta bantuan administratif, jawabannya sekenanya, tanpa empati, dan cenderung menyuruh-nyuruh. Sebaliknya, ada pula petugas berseragam sederhana di tempat lain yang melayani warga dengan ramah, sabar, dan menyelesaikan masalah tanpa banyak drama. Dari dua potret itu, jelas bahwa seragam tak selalu mencerminkan profesionalisme. Bahkan bisa menyesatkan persepsi.

 

Begitu juga dengan gelar. Pendidikan tinggi memang penting. Ia membuka akses pada ilmu dan memperluas wawasan. Tapi sayangnya, kita kadang terjebak dalam glorifikasi akademik. Kita menilai profesionalisme hanya berdasarkan titel: S.T., M.Si., atau bahkan gelar-gelar luar negeri yang terdengar asing. Padahal dalam praktiknya, tak semua lulusan terbaik bisa bersikap profesional saat dihadapkan pada tekanan, konflik kepentingan, atau keputusan etis yang rumit.

 

Profesionalisme sejati justru diuji saat seseorang dihadapkan pada pilihan yang tidak nyaman. Misalnya, apakah tetap bekerja jujur meskipun tak ada yang mengawasi? Apakah ia bersikap adil meski yang dihadapi adalah teman dekat? Apakah ia tetap melayani dengan sepenuh hati walau pekerjaannya tidak dihargai dengan pantas?

 

Sayangnya, kita masih sering menyamakan profesionalisme dengan kepatuhan prosedural. Asal hadir tepat waktu, pakai batik di hari Jumat, dan tidak melanggar aturan, maka ia dianggap profesional. Padahal profesionalisme lebih dari sekadar mengikuti aturan. Ia adalah bentuk tanggung jawab moral terhadap pekerjaan dan dampaknya pada orang lain.

 

Dalam dunia kerja hari ini, ada kecenderungan yang semakin kuat untuk mengejar tampilan luar: branding diri, pencitraan di media sosial, atau mengoleksi sertifikasi yang jumlahnya makin banyak. Tentu tidak salah. Tetapi ketika semua itu menjadi fokus utama, substansi pekerjaan sering kali terabaikan. Kita menjadi lebih peduli pada “tampak profesional” ketimbang “bersikap profesional”.

 

Padahal, esensi profesionalisme justru hadir dalam sikap sehari-hari: disiplin, jujur, menghargai waktu, menghormati orang lain, serta mau mengakui kesalahan. Hal-hal kecil semacam itu sering kali luput dari perhatian, tetapi justru menjadi indikator utama seseorang layak disebut profesional atau tidak.

 

Hal menarik lainnya adalah bahwa profesionalisme tidak selalu berkorelasi dengan posisi. Seorang petugas kebersihan yang datang tepat waktu, bekerja tanpa mengeluh, dan menjaga etika, bisa jauh lebih profesional daripada manajer yang sering menyalahkan bawahan atau mengambil keputusan seenaknya. Artinya, profesionalisme adalah soal sikap, bukan jabatan.

 

Lalu, bagaimana membangun profesionalisme di tengah budaya kerja yang masih sering terjebak pada simbol dan status?

 

Pertama, kita perlu mulai dari pendidikan karakter. Dunia pendidikan tidak cukup hanya mencetak lulusan cerdas, tetapi juga harus menanamkan nilai-nilai integritas, tanggung jawab, dan etos kerja. Ini harus dimulai sejak dini, dan dibudayakan hingga ke perguruan tinggi maupun pelatihan kerja.

 

Kedua, kita perlu membiasakan budaya kerja yang transparan dan saling menghargai. Profesionalisme akan tumbuh subur dalam lingkungan yang mendorong orang untuk bertanggung jawab, bukan sekadar tunduk pada atasan. Ketika ruang diskusi dibuka, kritik diterima tanpa marah, dan keberhasilan diukur dari hasil nyata, bukan dari gaya bicara, maka profesionalisme tumbuh secara alami.

 

Ketiga, kita harus berhenti menghakimi kualitas orang dari penampilan semata. Baik dalam rekrutmen kerja, promosi jabatan, maupun penilaian kinerja, fokus utama harus pada kompetensi, integritas, dan kontribusi nyata. Seragam dan gelar adalah simbol. Tapi kerja nyata adalah bukti.

 

Akhirnya, profesionalisme bukanlah label, melainkan laku hidup. Ia bukan sekadar dicapai lewat pendidikan formal atau atribut visual, melainkan melalui proses pembiasaan diri yang konsisten. Seorang profesional sejati tidak menunggu dihormati karena titel atau penampilan, tapi dihargai karena cara bekerjanya—jujur, teliti, dan bisa diandalkan, bahkan saat tidak ada yang melihat.

 

Dalam dunia kerja yang makin penuh tekanan dan ketidakpastian, kita membutuhkan lebih banyak profesional sejati: orang-orang yang bekerja bukan hanya karena dibayar, tapi karena merasa pekerjaan itu adalah amanah. Dan untuk menjadi seperti itu, tidak diperlukan seragam mahal atau gelar panjang. Cukup sikap jujur, hati yang tulus, dan komitmen untuk terus belajar dan memperbaiki diri.[]



Penulis :

Destalenta Gulo (Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Katolik Santo Thomas Medan) dan Helena Sihotang, S.E., M.M (Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Katolik Santo Thomas Medan)

×
Berita Terbaru Update