Pengurus Pusat Perkumpulan Pecinta Pelestari Musang Indonesia – Musang Lovers Indonesia (PP P3MI–MLI), email : mli.p3mi@gmail.com
Bayangkan suatu pagi di Raja Ampat.
Angin lembut menyibak daun-daun tropis. Di antara celah pohon sagu dan nyiur, terdengar kicauan burung cenderawasih yang menari bebas, menebar warna-warni seperti mimpi. Di perairan jernihnya, hiu karpet menggeliat perlahan, karang-karang menyala merah muda, dan ikan-ikan kecil menari di antara anemon. Di dahan pohon di hutan pulau kecil, seekor musang akar (Cynogale bennettii) berjalan pelan mencium aroma udara, menyusuri ranting, menandai wilayah.
Semesta hidup dalam harmoni. Tidak ada suara mesin. Tidak ada aroma solar. Tidak ada retak tanah oleh bor tambang.
Tapi semua itu kini hanya tinggal bayang-bayang tipis. Hari-hari ini, Raja Ampat menghadapi luka yang disiapkan oleh tangan-tangan manusia yang mengaku “membangun.” Di balik narasi kemajuan, tersembunyi rencana besar: pertambangan.
Mereka Membawa Tambang, Kita Kehilangan Kehidupan
Kami tidak sedang bicara simbol. Kami bicara kenyataan. Kami bicara tentang tanah dan laut yang akan dikupas. Tentang suara burung yang akan hilang diganti dengan dentuman alat berat. Tentang akar-akar yang patah, sungai yang keruh, dan hutan yang tidak lagi menjadi rumah.
Kami, yang setiap hari bergerak dalam kerja konservasi, tahu apa akibatnya ketika habitat satwa dihancurkan. Kami tahu bagaimana musang menjadi gelisah, turun ke pemukiman, dan diburu karena dianggap hama, padahal mereka hanya kehilangan hutan. Kami tahu bagaimana satu kerusakan ekosistem akan menjalar ke sistem yang lebih besar: merusak rantai makanan, merusak kualitas hidup masyarakat adat, bahkan merusak ketahanan ekologis bangsa.
Raja Ampat bukan tempat untuk menambang. Bukan tempat untuk eksplorasi kerak bumi. Ia adalah surga yang harus dijaga. Sebab sekali rusak, surga tak bisa dicetak ulang.
Bukan Soal Alam Saja, Ini Soal Martabat Bangsa
Banyak yang menyederhanakan isu ini: antara pembangunan dan pelestarian. Tapi ini lebih dari itu. Ini adalah soal arah kebangsaan. Ketika sebuah negara mulai memilih logam di atas kelangsungan hidup spesies; ketika keuntungan korporasi ditaruh di atas hak hidup masyarakat adat, di situlah bangsa sedang menuju kemunduran.
Kita ini bangsa yang dibesarkan oleh alam. Sejarah kita dimulai di hutan, di sungai, di laut, bukan di gedung pertemuan. Kita ini bangsa maritim, bukan bangsa tambang. Tapi hari ini, kita menyaksikan pemerintah justru membiarkan Raja Ampat, mutiara terakhir itu dikorbankan untuk mesin ekonomi yang rakus.
Kami tidak percaya bahwa masa depan hanya bisa dibangun lewat tambang. Kami percaya bahwa masa depan bisa dibangun lewat pendidikan ekologis, konservasi, pariwisata komunitas, dan perikanan berkelanjutan. Kami percaya bahwa masyarakat adat Papua Barat lebih tahu bagaimana menjaga tanahnya, ketimbang para pejabat yang hanya tahu hitungan investasi.
Apakah Kita Akan Diam?
Ini pertanyaan yang menyakitkan. Sebab terlalu sering kita terdiam. Ketika hutan Kalimantan habis, kita diam. Ketika Sulawesi dibor dari gunung ke pesisir, kita diam. Ketika Sumatera kehilangan harimau dan gajahnya, kita sempat berduka lalu melupakan.
Tapi Raja Ampat berbeda. Ia tidak memberi kita ruang untuk diam.
Sebab jika Raja Ampat runtuh, bukan hanya alam yang hilang. Tapi kita, bangsa ini, kehilangan satu bagian dari jiwanya.
Kami di P3MI–MLI tidak memiliki kekuasaan, tidak punya modal besar. Tapi kami punya satu hal: keyakinan bahwa alam Indonesia layak diperjuangkan. Layak dijaga bukan untuk kita saja, tapi untuk generasi yang belum lahir.
Kami Mengajak Kalian, Tanpa Syarat, Untuk Bersama Menolak
Tidak perlu menjadi aktivis. Tidak perlu menjadi pencinta satwa. Tidak perlu menjadi akademisi.
Cukup menjadi manusia yang masih punya hati dan akal.
Yang tahu bahwa kerusakan tidak bisa dibayar lunas oleh pajak tambang.
Yang sadar bahwa uang tidak bisa mengganti burung yang punah.
Yang mengerti bahwa anak cucu kita berhak melihat laut sebening Raja Ampat, bukan tumpukan tailing dan lubang tambang.
Raja Ampat bukan sekadar tempat indah. Ia adalah peradaban yang hidup. Jangan biarkan peradaban itu dibungkam oleh kepentingan jangka pendek.
Hari ini kami menyuarakan, esok semoga kalian bergabung.
Karena hanya suara yang digemakan bersama yang mampu memecah kesunyian kekuasaan.
Raja Ampat bukan milik investor. Ia milik semesta.
Dan semesta sedang memanggil kita. Menolak adalah bentuk cinta.
Mari bersuara. Mari jaga. Mari lawan.[]
P3MI-MLI
Suara Konservasi. Suara Rimba. Suara Bangsa.