![]() |
Foto/Ilustrasi |
Di tengah era yang serba cepat dan penuh tuntutan untuk mandiri, banyak dari kita yang merasa bahwa semua keputusan hidup harus sepenuhnya dipegang sendiri.
Apalagi ketika sudah bisa memenuhi kebutuhan pribadi dan merasa cukup dewasa secara emosional, restu orang tua sering dianggap sebagai sesuatu yang sekadar formalitas belaka. Ada anggapan bahwa selama niat kita baik dan pilihan kita logis, maka persetujuan orang tua tak lagi begitu penting. Namun, saya percaya bahwa restu bukan hanya sekadar simbol kesopanan, melainkan sesuatu yang jauh lebih esensial dalam membentuk fondasi hidup yang kokoh.
Restu dari orang tua bukan sekadar “kata setuju” atau ritual adat yang dilakukan demi memenuhi ekspektasi sosial. Lebih dari itu, restu mengandung dimensi emosional dan spiritual yang sangat dalam. Restu adalah bentuk dukungan batin yang mengakar dari kasih sayang, doa, dan harapan orang tua terhadap kebahagiaan anaknya. Meski tidak selalu terlihat secara langsung, restu bisa menjadi penentu ketenangan dalam menjalani hidup. Ketika sebuah keputusan besar diambil tanpa restu, sering kali muncul rasa was-was, kegelisahan, dan keraguan yang sulit dijelaskan.
Saya pribadi pernah berada di posisi di mana saya mengambil langkah besar tanpa benar-benar mengindahkan pendapat orang tua. Waktu itu, saya merasa yakin dengan pilihan yang saya buat—terutama dalam hal hubungan asmara. Tapi ternyata, seiring berjalannya waktu, ketidakhadiran restu itu mulai terasa. Muncul pertanyaan dalam diri saya: mengapa jalan ini terasa berat? Kenapa keputusan yang semula terasa mantap justru goyah di tengah jalan? Perlahan saya sadar, bahwa restu bukan hanya sekadar izin, melainkan energi yang secara tidak sadar memperkuat langkah kita.
Bukan berarti restu orang tua selalu mutlak benar dan harus dituruti tanpa berpikir. Tidak semua orang tua memiliki sudut pandang yang relevan dengan kondisi anak saat ini. Tetapi di sinilah pentingnya dialog dan komunikasi. Ketika kita benar-benar mendengarkan kekhawatiran mereka dan mencoba memahami alasan di balik penolakan atau keraguan, sering kali kita menemukan bahwa apa yang mereka sampaikan bukanlah bentuk pengekangan, tetapi refleksi dari pengalaman dan cinta yang mendalam. Di saat yang sama, kita pun berkesempatan untuk menunjukkan keseriusan dan kedewasaan dalam menyampaikan alasan atas pilihan kita.
Sayangnya, dalam masyarakat modern, nilai restu sering dianggap kuno. Ada dorongan kuat untuk "berani beda", memilih tanpa campur tangan siapa pun, termasuk keluarga. Tapi menurut saya, menjadi berani tidak berarti mengabaikan. Justru keberanian sejati adalah saat kita mampu berdialog dengan orang tua kita, membuka ruang saling mengerti, dan tetap teguh dalam pilihan tanpa memutus ikatan emosional. Restu bukan berarti kita melepaskan kendali atas hidup kita, melainkan kita memperkaya proses pengambilan keputusan dengan kasih dan doa yang tulus dari orang tua.
Penutup
Restu orang tua bukan penghalang kemerdekaan individu, melainkan kekuatan tambahan yang sering kali tak kita sadari manfaatnya. Dalam setiap perjalanan hidup, akan selalu ada masa-masa sulit yang menguji keyakinan dan kesabaran kita. Ketika itu terjadi, restu bisa menjadi penopang yang membuat kita tetap berdiri teguh. Karena pada akhirnya, hidup yang dijalani dengan ketenangan hati akan terasa lebih ringan, dan restu orang tua—yang datang dari cinta terdalam—adalah bagian dari ketenangan itu. Bukan formalitas, tapi fondasi yang menguatkan langkah kita.[]
Penulis :
Romi Hidayat, mahasiswa Universitas Pamulang