Notification

×

Iklan

Iklan

Sujud Terakhir yang Kita Lupakan: Urgensi Kematian di Tengah Hidup yang Sibuk

Jumat, 27 Juni 2025 | Juni 27, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-27T01:47:36Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Adhitya Ridho Pangestu (Foto/dok. pribadi)

Beberapa waktu lalu, seorang teman masa kecil meninggal dunia. Usianya tidak jauh dari usiaku sekarang. Kami dulu sering salat bersama di masjid kecil dekat rumah, berbagi tawa seusai mengaji, bahkan pernah satu saf saat salat tarawih. Ketika kabar itu datang, aku tak langsung menangis, tapi terdiam lama. Ada yang mengganjal, bukan hanya karena kehilangan, tapi karena aku sendiri sudah lupa: kapan terakhir kali aku sujud dengan sungguh-sungguh?

 

Hari-hari kita kini benar-benar padat. Bangun pagi dikejar alarm, sarapan pun kadang sambil menatap layar. Jalanan macet, pikiran pun semrawut. Siang bergulat dengan pekerjaan, sore terhimpit janji temu, malam pulang dalam kondisi tubuh yang lelah dan akhirnya, salat pun sekadar penggugur kewajiban. Kita sering berdiri di atas sajadah, tapi hati kita entah di mana.

 

Tanpa sadar, hidup terasa seperti perlombaan tanpa garis akhir yang jelas. Kita terus berlari, mengejar target, pencapaian, validasi orang lain, atau sekadar ingin terlihat "berhasil." Namun di tengah hiruk-pikuk itu, ada satu hal yang pasti menghentikan semuanya: kematian. Dan itu sering kali datang tanpa aba-aba.

 

Allah dengan tegas mengingatkan kita dalam firman-Nya: "Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian." (QS. Ali Imran: 185).


Tapi ironisnya, ayat ini lebih sering kita lihat di spanduk takziah, ucapan belasungkawa, atau baliho duka. Kita hafal bunyinya, tapi lupa maknanya. Padahal, ayat ini bukan sekadar pengingat untuk yang ditinggalkan, tapi seharusnya jadi peringatan untuk yang masih hidup.

 

Rasulullah SAW pernah bersabda: "Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian." (HR. Tirmidzi).


Namun, kenyataannya kita justru terlalu tenggelam dalam kenikmatan. Kita sibuk membangun citra di media sosial, tetapi lalai membangun kualitas diri. Kita lebih khawatir kalau notifikasi tidak dibalas, ketimbang kalau salat ditinggal. Kita lebih cepat mengangkat ponsel ketimbang mengangkat tangan dalam doa.

 

Saya menulis ini bukan karena saya sudah baik. Saya juga pernah menunda salat dengan alasan sibuk. Pernah sujud dengan tubuh, tapi tidak dengan hati. Bahkan pernah merasa ibadah hanya rutinitas yang harus diselesaikan, bukan perjumpaan yang dirindukan. Tapi kematian itu, saat ia datang mendekat lewat kehilangan orang-orang yang kita sayangi, ia menampar kesadaran kita: bahwa waktu ternyata sangat terbatas. Dan bahwa sujud yang kita lakukan hari ini, bisa jadi sujud terakhir yang sempat kita lakukan.

 

Sujud bukan hanya tentang menundukkan dahi. Ia adalah bentuk kepasrahan total, pernyataan cinta paling sunyi antara hamba dan Tuhannya. Dalam sujud, kita berada pada posisi terendah secara fisik, tapi bisa mencapai kedekatan tertinggi secara ruhani. Maka bayangkan, jika sujud yang terakhir kita lakukan ternyata hanya sekadar gerakan kosong?

 

Di tengah dunia yang terus mendewakan kecepatan, produktivitas, dan performa, mengingat kematian dianggap tidak relevan bahkan mematahkan semangat. Tapi sesungguhnya, justru dengan mengingat kematian, kita bisa kembali jernih. Kita belajar memilah: mana yang perlu dikejar, mana yang sebaiknya ditinggal. Kita tidak lagi membiarkan hidup kita dipenuhi hal-hal yang sia-sia.

 

Tidak ada yang salah dengan mimpi besar atau ambisi tinggi. Tapi jangan sampai semua itu membuat kita lupa pulang. Jangan sampai kesibukan dunia membuat kita abai terhadap tujuan akhir kita. Karena pada akhirnya, kita semua akan kembali. Dan bagaimana kita pulang, sangat tergantung pada bagaimana kita hidup dan bagaimana kita sujud.

 

Maka sebelum waktu benar-benar habis, sempatkanlah satu sujud yang benar-benar utuh. Bukan karena kewajiban, tapi karena kerinduan. Sujud yang di dalam diamnya kita titipkan seluruh resah, harap, dan cinta kepada Allah.SWT  Karena bisa jadi, justru di sujud yang penuh kesadaran itulah, Allah turunkan rahmat yang menyelamatkan kita di akhirat kelak.

 

Saya menulis ini sebagai pengingat, untuk diriku sendiri, dan barangkali untukmu juga. Jika hidup ini adalah perjalanan pulang, maka sujud adalah salah satu cara terbaik untuk bersiap. Bukan hanya agar pantas kembali, tapi agar kita pulang dengan tenang.[]

 

Penulis:

Adhitya Ridho Pangestu, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang

×
Berita Terbaru Update