![]() |
Nawal Sittiyah (Foto/dok. pribadi) |
Carok, sebagai fenomena sosial yang berkembang di kalangan masyarakat Madura,telah lama menjadi perbincangan yang kontroversial. Carok bukan sekadar pertarungan atau perkelahian antar individu, melainkan bentuk konflik berdarah yang sering kali didasari oleh alasan harga diri, kehormatan, dan pembalasan.
Di balik kekerasan yang terlihat nyata, carok menyimpan kompleksitas yang menarik untuk diteliti, terutama dalam hubungannya dengan tradisi, emosi, dan logika sosial-budaya masyarakat Madura.pertanyaan yang muncul adalah: apakah carok merupakan wujud dari warisan tradisi leluhur yang dihormati, ataukah hanya ledakan emosi sesaat yang dibungkus dalam narasi budaya? Tulisan ini berusaha untuk mengkaji secara lebih kritis mengenai logika di balik carok, apakah tindakan ini benar-benar memiliki dasar rasional dalam sistem nilai masyarakat Madura, atau justru merupakan ekspresi emosional yang dilegitimasi oleh konstruksi sosial.
Carok sebagai tradisi antara warisan dan pembenaran
Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang sangat menghargai harga diri (kehormatan), yang dalam bahasa lokal disebut “harga diri laki-laki” atau “kehormatan keluarga”. Ketika seseorang merasa terhina, baik secara verbal, fisik, maupun simbolik—terutama yang berkaitan dengan perempuan atau istri—maka carok sering kali dianggap sebagai “jalan keluar” untuk memulihkan kehormatan tersebut.
Tradisi ini diyakini telah ada sejak lama dan diwariskan secara turun-temurun. Dalam berbagai kisah dan cerita rakyat, carok dipandang sebagai simbol keberanian dan kejantanan. Pria yang melakukan carok demi kehormatan tidak dianggap sebagai pelaku kekerasan, melainkan sebagai pahlawan keluarga. Dari sudut pandang ini, carok bukan hanya tindakan spontan, tetapi juga dibingkai sebagai ritual yang memiliki nilai simbolik dan sosiologis tertentu. Namun, keberadaan carok sebagai tradisi tidak serta-merta menjadikannya nilai yang luhur yang harus dilestarikan. Dalam konteks sosiologis, tradisi bukanlah sesuatu yang statis dan mutlak. Tradisi bersifat dinamis, dapat berubah, dan bahkan bisa ditinggalkan jika bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, mengakui carok sebagai bagian dari tradisi tidak secara otomatis membenarkannya sebagai tindakan yang benar dan logis dalam masyarakat modern yang mengutamakan hukum dan dialog.
Emosi dalam Carok: Amarah yang Dilembagakan
Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa carok sangat terkait dengan ledakan emosi. Ketika seorang suami mengetahui bahwa istrinya berselingkuh, atau ketika seseorang merasa dipermalukan secara sosial, amarah menjadi reaksi awal yang sangat manusiawi. Namun, masalah muncul ketika amarah tersebut tidak dikelola, melainkan justru dilembagakan dalam bentuk “ritual” carok.
Carok sering kali tidak dilakukan secara spontan, tetapi direncanakan. Ada waktu untuk persiapan, pengumpulan informasi, dan bahkan pencarian senjata (biasanya celurit). Ini menunjukkan bahwa meskipun berawal dari emosi, carok kemudian dijalankan secara sistematis. Hal ini menimbulkan ambiguitas: apakah carok murni tindakan emosional, atau justru sebuah rencana rasional yang dibangun dari emosi?
Kita bisa membandingkannya dengan konsep “amuk” dalam budaya Jawa, di mana seseorang tiba-tiba menyerang siapa pun dalam keadaan kehilangan kontrol. Carok berbeda. Ia lebih terstruktur dan terfokus pada individu tertentu, bukan sekadar ledakan psikologis. Namun, akar emosinya tetap kuat: dendam, marah, malu, dan perasaan terhina. Semua itu menjadi bahan bakar yang menyulut tindakan kekerasan.
Logika di Balik Carok: Rasionalitas yang Tersesat?
Dalam analisis logika sosial, sebuah tindakan dapat dianggap logis jika memiliki dasar pemikiran yang masuk akal menurut sistem nilai masyarakat yang bersangkutan. Dalam konteks Madura, logika di balik carok terletak pada pemulihan kehormatan. Seorang pria yang tidak membalas penghinaan dianggap sebagai pengecut. Sebaliknya, tindakan carok—betapapun brutalnya—dianggap sebagai bukti keberanian dan kesetiaan terhadap nilai-nilai keluarga.
Namun, jika kita membawa logika carok ini ke dalam tataran yang lebih luas, kita akan menemukan kontradiksi. Tindakan membunuh atas nama harga diri jelas bertentangan dengan hukum positif, nilai kemanusiaan universal, dan bahkan ajaran agama. Islam, misalnya, sangat menekankan penyelesaian konflik melalui musyawarah dan perdamaian. Rasulullah SAW bahkan melarang pembunuhan kecuali dalam batas-batas hukum syar’i seperti qishas yang diputuskan oleh pengadilan. Dengan demikian, meskipun carok mungkin tampak logis dalam kerangka nilai lokal, logika tersebut menjadi tidak valid ketika diuji dengan standar hukum dan moral yang lebih luas. Di sinilah kita bisa mengatakan bahwa carok mengandung rasionalitas yang tersesat—ia tampak masuk akal dalam konteks tertentu, tetapi tidak dalam konteks yang lebih luas.
Dilema Antara Norma Lokal dan Hukum Nasional
Salah satu tantangan terbesar dalam menangani praktik carok adalah konflik antara norma lokal dan hukum nasional. Di satu sisi, masyarakat Madura masih sangat menghargai nilai-nilai adat yang menekankan kehormatan sebagai elemen penting dalam kehidupan. Di sisi lain, negara memiliki hukum positif yang tidak mengizinkan kekerasan dalam bentuk apa pun, terutama pembunuhan yang direncanakan. Situasi ini menciptakan dilema baik secara hukum maupun sosial. Aparat penegak hukum sering kali kesulitan untuk mengintervensi kasus carok karena adanya tekanan dari lingkungan sosial yang mendukung pelaku. Bahkan, tidak jarang pelaku carok mendapatkan perlindungan dari komunitasnya. Dalam banyak kasus, penegakan hukum menjadi lemah karena kurangnya dukungan moral dari masyarakat.
Solusinya tidak hanya terletak pada pendekatan hukum yang represif, tetapi juga pada edukasi dan pendekatan budaya. Nilai-nilai lokal perlu ditinjau kembali dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Tradisi yang baik tentu harus dilestarikan, namun yang berpotensi membahayakan kemanusiaan dan menimbulkan kekerasan harus dikritisi dan diubah. Proses ini tidaklah mudah, tetapi sangat penting untuk mencegah terulangnya siklus kekerasan yang dibenarkan atas nama adat.
Meskipun Tradisi adalah bagian dari identitas budaya, tetapi tidak bisa dijadikan alasan untuk mempertahankan praktik yang merusak. Carok, meskipun dianggap sebagai warisan leluhur, sebenarnya adalah tindakan kekerasan yang merugikan semua pihak. Ia muncul dari emosi, diperkuat oleh norma lokal, dan dijalankan dengan logika yang menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan. Dan akan banyak yang mnjadi korban akibat hal ysng di anggap sebagai tradisi trsebut.
Masyarakat Madura memiliki warisan budaya yang kaya dan penuh nilai-nilai luhur: kerja keras, solidaritas, dan religiositas. Nilai-nilai ini harus diutamakan, bukan kekerasan yang merenggut nyawa. Pendidikan budaya dan penguatan hukum menjadi kunci untuk mengubah paradigma masyarakat, dari membalas dendam menjadi memaafkan, dari kekerasan menjadi dialog.sehingga pada ahirnya, masyarakat Madura bukan hanya di kenal dngan tradisi carok akan tetapi akan lbih di knal sebagai masyarakat yang lmah lmbut dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Menganalisis logika di balik carok bukan hanya upaya untuk memahami masa lalu, tetapi juga langkah awal untuk membangun masa depan yang lebih manusiawi. Saatnya kita mengubah makna kehormatan dari membunuh menjadi memaafkan, dari celurit menjadi kepala dingin, dari emosi menjadi kebijaksanaa. Karena pada akhirnya pilihan ada tangan generasi muda Madura : apakah tetap mempertahankan logika lama yang berbasis kekerasan demi harga diri, atau membangun logika baru yang mengedepankan martabat manusia lewat perdamaian dan dialog.[]
Penulis :
Nawal Sittiyah, mahasiswa STIT Al-Ibrohimy Bangkalan