![]() |
Foto/Ilustrasi |
Setiap orang pasti pernah menghadapi momen ketika sebuah pertanyaan sederhana justru mengguncang keyakinan yang paling dalam. Bukan karena pertanyaannya sulit, tapi karena konsekuensinya tidak ringan. Dalam keseharian mahasiswa, jenis pertanyaan seperti ini bisa datang dari mana saja dosen, teman, bahkan diri sendiri.
Seperti pertanyaan ini, misalnya: “Kamu bersedia ikut program pertukaran pelajar ke luar negeri semester depan?” Pertanyaannya terdengar sederhana. Hanya butuh jawaban: iya atau tidak. Tapi benarkah hanya itu pilihannya?
Bagi banyak mahasiswa, termasuk yang sedang menjalani semester akhir, pertanyaan seperti itu terasa seperti berdiri di antara dua jurang. Di satu sisi, ada peluang luar biasa yang belum tentu datang dua kali. Di sisi lain, muncul keraguan: bagaimana dengan biaya? Apakah siap meninggalkan zona nyaman? Bagaimana keluarga merespons? Pilihan ini tak sesederhana “ya” atau “tidak”. Ada konsekuensi yang berlapis di baliknya.
Dalam pengalaman pribadi, keputusan penting semacam ini tak bisa diambil secara terburu-buru. Perlu pertimbangan matang yang tidak hanya melibatkan logika, tapi juga emosi, intuisi, dan nilai hidup. Barry F. Anderson dalam bukunya Heart and Mind: Mastering the Art of Decision Making menyebut bahwa proses pengambilan keputusan ideal melibatkan tiga prinsip utama: keberanian, kreativitas, dan keseimbangan. Ketiganya tak sekadar konsep teoritis, melainkan pegangan praktis dalam keseharian.
Rasionalitas sering kali dianggap cukup dengan berpikir logis. Namun menurut Anderson, keberanian adalah fondasi utama rasionalitas. Banyak orang termasuk mahasiswa mengambil keputusan berdasarkan rasa takut, tekanan sosial, atau kebiasaan masa lalu tanpa menguji kebenaran alasan di baliknya. Dalam satu kesempatan, pernah muncul keraguan besar ketika ditawari posisi inti dalam organisasi kampus. Di satu sisi, ada keinginan untuk berkembang. Namun di sisi lain, sedang disibukkan dengan proses menyusun proposal skripsi. Awalnya, ingin menolak. Tapi setelah ditimbang dengan lebih objektif, keputusannya berubah.
Keberanian yang dimaksud Anderson bukan hanya soal mental, tapi keberanian untuk mengubah sudut pandang. Apakah keyakinan selama ini benar adanya? Apakah keputusan diambil karena data dan fakta, atau hanya perasaan takut gagal? Dua pertanyaan yang direkomendasikan Anderson sangat membantu: “Apakah bersedia memikirkan ulang ini secara obyektif?” dan “Jika ada alternatif lebih baik, apakah siap untuk mengubah pilihan?” Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi cermin yang menuntun pada proses berpikir yang jujur, bukan sekadar mengiyakan apa yang nyaman.
Saat keberanian untuk berpikir jernih sudah terbentuk, tahap berikutnya adalah memperluas pandangan. Anderson menyebutkan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk menemukan ide-ide baru saat tidak ada jalan keluar yang terlihat. Dalam kehidupan kampus, seringkali situasi biner muncul: kuliah atau kerja, organisasi atau akademik, ikut lomba atau fokus skripsi. Tapi mengapa harus “salah satu”? Mengapa tidak “kombinasi dari keduanya”?
Dalam salah satu dilema pribadi, muncul alternatif tak terduga saat diberikan waktu untuk berpikir tanpa tekanan. Alih-alih memilih antara organisasi atau skripsi, tugas-tugas organisasi dibagi melalui sistem delegasi dan pengawasan. Strategi ini justru memberi ruang lebih luas untuk tetap berkembang di dua jalur.
Anderson menyebut pentingnya menyediakan ruang dan waktu khusus untuk berpikir kreatif, setidaknya 1,5 jam dalam suasana tenang. Dalam sesi tersebut, otak dilatih untuk keluar dari kebiasaan lama dan berani bermain-main dengan ide baru. Bukan mencari jawaban tercepat, tapi jawaban terbaik. Sebab sering kali, pilihan pertama bukanlah yang paling tepat.
Setelah keberanian dan kreativitas terbangun, tibalah pada tahap yang tak kalah penting: balanced judgement. Ini adalah seni menimbang pilihan secara menyeluruh dengan mempertimbangkan dampak jangka pendek dan panjang, nilai, risiko, dan potensi manfaat. Sayangnya, banyak keputusan yang diambil hanya berdasarkan satu aspek: reputasi, kenyamanan, atau bahkan opini orang lain. Anderson memperingatkan bahwa ketika semua pertimbangan menuju ke satu pilihan yang sama tanpa dipertanyakan, bisa jadi itu adalah bias berpikir, bukan pertimbangan yang seimbang.
Menulis daftar kelebihan dan kekurangan, menggunakan tabel pertimbangan, atau berdiskusi dengan pihak netral bisa menjadi cara untuk menjaga obyektivitas. Dalam satu kesempatan, metode ini berhasil menghindarkan dari keputusan impulsif yang ternyata penuh risiko. Ciri umum dari kurangnya keseimbangan dalam berpikir antara lain adalah menunda-nunda keputusan, hanya melihat satu opsi sebagai solusi, atau terjebak dalam kebimbangan berlarut. Mengenali tanda-tanda ini penting untuk segera memperbaiki proses berpikir yang digunakan.
Menurut saya, Sebagai mahasiswa Manajemen Bisnis Syariah, prinsip-prinsip pengambilan keputusan tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai keislaman. Islam menganjurkan penggunaan akal (aql), ilmu (ilm), dan hikmah dalam setiap keputusan. Rasionalitas bukan hanya kebutuhan akademik, tapi juga bentuk tanggung jawab sebagai hamba Allah. Kreativitas yang ditanamkan dalam Islam disebut sebagai ijtihad sebuah upaya untuk menyelesaikan persoalan dengan pendekatan baru yang tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariah. Sedangkan keseimbangan (tawazun) adalah ajaran yang meresap dalam setiap aspek muamalah.
Dalam praktiknya, prinsip Anderson dapat menjadi pelengkap dalam pengambilan keputusan sehari-hari mahasiswa syariah, baik dalam hal akademik, organisasi, bahkan urusan karier dan masa depan. Pendekatan ini menjadikan keputusan tidak hanya produktif secara duniawi, tapi juga bertanggung jawab secara ruhani. Mengambil keputusan bukan tentang mencari yang sempurna, tapi tentang bertanggung jawab atas prosesnya. Bukan soal benar atau salah di akhir, tapi bagaimana proses yang dilalui penuh kesadaran, keberanian, eksplorasi, dan kebijaksanaan.
Prinsip keberanian, kreativitas, dan keseimbangan telah memberikan kerangka berpikir yang kuat untuk menghadapi berbagai tantangan. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, memiliki kemampuan membuat keputusan yang sadar dan terarah adalah anugerah besar. Bagi mahasiswa yang sedang berada di persimpangan baik dalam urusan studi, organisasi, karier, bahkan hubungan pribadi tiga prinsip ini dapat menjadi kompas untuk menavigasi hidup. Karena hidup yang dijalani dengan keputusan yang matang, pada akhirnya akan memberi makna yang lebih dalam.[]
Penulis :
Lutfiah Nurohmah, mahasiswa Prodi Manajemen Syariah IAI SEBI