Anjaz Saputra (Foto/IST)
Tanggal 17 Agustus selalu menjadi pengingat bagi bangsa Indonesia tentang momen bersejarah ketika kemerdekaan diproklamasikan pada 1945. Perayaan yang dilakukan setiap tahun bukan hanya sebatas upacara dan perlombaan, tetapi juga waktu untuk merenungi makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Kemerdekaan yang diperjuangkan para pendiri bangsa bukan hanya untuk mengusir penjajah dari tanah air, tetapi juga untuk membebaskan rakyat dari segala bentuk penindasan, termasuk beban ekonomi yang mengekang.
Sejarah mencatat bahwa setelah proklamasi, perjuangan bangsa belum selesai. Para pemimpin kala itu menyadari, kemerdekaan politik tidak akan berarti tanpa kemandirian ekonomi. Bung Hatta pernah menegaskan, kemerdekaan yang tidak ditopang oleh kekuatan ekonomi hanya akan menjadi kemerdekaan yang rapuh. Namun, puluhan tahun berlalu, Indonesia masih menghadapi tantangan besar di sektor ekonomi. Salah satu persoalan yang kerap menjadi sorotan adalah sistem perpajakan yang belum sepenuhnya memberi rasa adil bagi seluruh rakyat.
Pajak merupakan tulang punggung pendapatan negara. Melalui pajak, pemerintah menjalankan program pembangunan, membiayai pendidikan, layanan kesehatan, hingga infrastruktur. Sayangnya, dalam praktiknya, beban pajak kerap terasa lebih berat bagi masyarakat menengah ke bawah, sementara potensi dari kalangan superkaya dan korporasi besar belum tergarap maksimal. Ketimpangan ini membuat cita-cita pemerataan kesejahteraan sulit tercapai.
Ironisnya, di tengah sistem pajak yang belum ideal, jutaan rakyat masih bergulat dengan masalah pengangguran. Kesempatan kerja yang layak belum tersedia secara merata, sehingga banyak keluarga berjuang keras sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok. Dalam kondisi ini, kewajiban membayar pajak sering kali terasa sebagai beban tambahan yang tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima. Padahal, kebijakan ekonomi yang sehat termasuk perpajakan seharusnya mampu membuka lapangan kerja dan menggerakkan sektor produktif.
Di titik inilah politik kemerdekaan menjadi sangat relevan. Politik seharusnya menjadi sarana untuk memastikan kebijakan, termasuk pajak, berpihak pada rakyat. Namun, jika politik hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan tanpa fokus pada kesejahteraan, maka semangat kemerdekaan akan kehilangan maknanya. Reformasi pajak bukan sekadar revisi aturan, tetapi juga penegasan keberpihakan: siapa yang dibebani, siapa yang diberi keringanan, dan untuk tujuan apa dana tersebut digunakan.
Reformasi ini setidaknya mencakup tiga langkah strategis. Pertama, menutup celah penghindaran pajak yang selama ini dimanfaatkan korporasi besar dan individu superkaya. Kedua, meringankan beban pajak bagi pelaku UMKM serta pekerja dengan pendapatan rendah hingga menengah. Ketiga, memastikan transparansi penggunaan pajak sehingga rakyat tahu dan merasakan manfaat dari setiap rupiah yang dibayarkan.
Langkah-langkah ini tentu membutuhkan keberanian politik. Mengubah sistem yang sudah mengakar berarti berhadapan dengan pihak-pihak yang selama ini diuntungkan. Namun, bukankah kemerdekaan selalu menuntut keberanian untuk mengambil risiko demi kebaikan bersama?
Perayaan 17 Agustus seharusnya menjadi momen untuk mengingat bahwa kemerdekaan tidak datang secara cuma-cuma. Generasi 1945 mengorbankan nyawa untuk membebaskan bangsa dari penjajah. Kini, generasi kita dihadapkan pada tantangan baru: membebaskan rakyat dari ketidakadilan ekonomi, korupsi, dan kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Kemerdekaan sejati bukan hanya tentang bebas menentukan nasib politik, tetapi juga bebas dari belenggu ekonomi. Pajak harus menjadi alat pemerataan, bukan alat penindasan. Politik harus menjadi jalan menuju kesejahteraan, bukan sekadar arena perebutan kekuasaan. Jika keduanya dapat diwujudkan, maka peringatan 17 Agustus akan benar-benar bermakna, bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan bukti bahwa janji kemerdekaan telah ditepati untuk seluruh rakyat Indonesia.[]
Penulis :
Anjaz Saputra, Mahasiswa Ekonomi Syari'ah Universitas Pamulang