Notification

×

Iklan

Iklan

Oversharing di Media Sosial: Ekspresi Diri atau Mencari Validasi?

Selasa, 26 Agustus 2025 | Agustus 26, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-25T23:08:11Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Elma Ratna Fadhilah (Foto/IST)

Seiring dengan pesatnya perkembangan era digital, media sosial telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Platform-platform seperti Instagram, Facebook, TikTok, dan Twitter memberi kita kebebasan untuk berbagi momen, pendapat, dan pencapaian dengan mudah. Dalam beberapa klik, kita bisa menjalin koneksi dengan teman, keluarga, bahkan orang asing, serta mengekspresikan diri dengan cara yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan.

 

Namun, seiring dengan kemudahan itu, muncul pula fenomena yang semakin sering terlihat di kalangan pengguna media sosial: oversharing. Fenomena ini merujuk pada kebiasaan membagikan informasi pribadi secara berlebihan, dari yang seharusnya bersifat privat hingga yang sangat sensitif, di ruang publik yang sebenarnya terbuka untuk siapa saja. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah oversharing adalah bentuk autentik dari ekspresi diri, atau justru lebih pada pencarian validasi dan perhatian dari orang lain?

 

Perilaku oversharing semakin sering kita temui di berbagai platform media sosial. Banyak pengguna yang membagikan informasi tentang kehidupan pribadi mereka, termasuk masalah hubungan, kondisi mental, hingga konflik keluarga yang seharusnya tetap bersifat pribadi. Meskipun media sosial memberikan kebebasan dalam berbagi, penting untuk menyadari bahwa tidak semua aspek kehidupan harus diumbar. 

 

Berbagi hal yang terlalu pribadi secara terbuka bisa membawa konsekuensi yang tak terduga, mulai dari hilangnya privasi hingga munculnya potensi bahaya lain yang mengancam. Mengingat media sosial adalah ruang publik, setiap unggahan dapat tersebar luas dan diakses oleh siapa saja, termasuk mereka yang tidak kita kenal atau bahkan memiliki niat buruk.

 

Salah satu alasan mengapa seseorang bisa terjerumus dalam perilaku oversharing adalah keinginan untuk mendapatkan perhatian dan validasi dari orang lain. Seiring dengan banyaknya "like" dan komentar positif yang diterima, seseorang merasa dihargai dan diakui. Bentuk penguatan sosial ini mendorong individu untuk terus membagikan lebih banyak hal, termasuk detail kehidupan yang lebih pribadi, dengan harapan dapat memperoleh perhatian lebih banyak lagi.

 

Namun, hal ini dapat menimbulkan ketergantungan terhadap validasi eksternal, yang pada gilirannya bisa merusak kesejahteraan mental seseorang. Ketika ekspektasi terhadap respons dari orang lain tidak terpenuhi, muncul rasa kecewa, cemas, dan bahkan rendah diri. Lebih jauh lagi, perilaku ini menciptakan siklus yang sulit untuk dihentikan, yang berisiko membuat seseorang berbagi lebih banyak informasi pribadi hanya untuk mendapatkan pengakuan.

 

Fenomena ini juga semakin diperburuk dengan adanya kecenderungan untuk berbagi informasi secara sembarangan di media sosial. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh ESET pada tahun 2019, 31 persen responden di Indonesia mengaku pernah berbagi informasi pribadi dengan orang asing di media sosial. Ini adalah sebuah angka yang cukup mengkhawatirkan karena informasi pribadi yang dibagikan bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. 

 

Dalam beberapa kasus, penjahat siber dapat memanfaatkan data ini untuk melakukan pencurian identitas atau social engineering, yang tidak hanya membahayakan individu yang membagikan data, tetapi juga orang-orang terdekat mereka. Mengingat potensi ancaman ini, kesadaran tentang pentingnya menjaga privasi digital menjadi semakin krusial. Meski 79 persen responden mengaku melakukan pengecekan sebelum berbicara dengan orang asing di media sosial, 21 persen lainnya tetap melanjutkan percakapan tanpa mempertimbangkan potensi bahaya.

 

Selain itu, rendahnya kesadaran mengenai pentingnya menjaga keamanan data pribadi juga menjadi masalah besar. Masih banyak orang yang menggunakan kata sandi yang sama di berbagai akun media sosial mereka, yang mempermudah peretas untuk mendapatkan akses ke berbagai informasi sensitif hanya dengan mengetahui satu kata sandi.

 

Data survei ESET menunjukkan bahwa 46 persen pengguna Indonesia masih menggunakan kata sandi yang serupa di berbagai platform, yang tentunya membuka peluang bagi penjahat siber untuk mengeksploitasi kelemahan ini. Oleh karena itu, peningkatan kesadaran digital sangat diperlukan agar setiap individu dapat memahami risiko yang ada dan dapat melindungi dirinya dengan lebih baik.

 

Lebih dari sekadar masalah keamanan, oversharing juga berdampak pada hubungan sosial kita. Mengungkapkan informasi pribadi yang melibatkan orang lain tanpa izin dapat memicu ketegangan atau konflik dalam hubungan interpersonal. Hal ini menjadi semakin rumit ketika informasi yang dibagikan melibatkan perasaan atau kehidupan pribadi orang lain yang tidak siap untuk terekspos.

 

Dampaknya, bukan hanya privasi individu yang terancam, tetapi juga hubungan yang telah dibangun dengan orang-orang terdekat. Ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga kesadaran diri dalam menggunakan media sosial, serta menghormati privasi orang lain dengan tidak membagikan cerita yang melibatkan mereka tanpa persetujuan.

 

Namun, meski begitu, media sosial tetap memiliki potensi positif yang besar jika digunakan dengan bijak. Dengan kesadaran yang tepat, media sosial bisa menjadi ruang yang memperkaya pengalaman hidup, menginspirasi orang lain, atau bahkan membangun karier. Media sosial memberikan kesempatan untuk terhubung dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, menyebarkan ide-ide kreatif, dan bahkan memperjuangkan perubahan sosial yang positif. Kuncinya adalah bagaimana kita menggunakannya dengan bijaksana, tanpa harus mengorbankan privasi atau kesejahteraan mental.

 

Sebelum memutuskan untuk membagikan sesuatu di media sosial, penting bagi kita untuk merefleksikan tujuan dan motivasi di balik setiap unggahan. Apakah kita membagikan hal tersebut untuk tujuan berbagi pengalaman positif dan menginspirasi orang lain, ataukah kita hanya ingin mencari perhatian dan validasi dari orang lain? Menghindari impuls untuk berbagi hal-hal yang terlalu pribadi dapat membantu kita menjaga keseimbangan antara berbagi dan menjaga privasi. Membangun kebiasaan berpikir dua kali sebelum mengunggah sesuatu adalah langkah kecil yang bisa membawa dampak besar dalam menjaga keamanan dan hubungan sosial kita.

 

Dengan kesadaran yang lebih baik mengenai dampak dari setiap unggahan, kita dapat memanfaatkan media sosial secara positif dan produktif. Sebagai individu, kita memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang ingin dibagikan, namun pemahaman yang mendalam tentang implikasi dari setiap unggahan dapat membantu kita membuat keputusan yang lebih bijaksana. Dengan begitu, media sosial bisa tetap menjadi alat yang memperkaya kehidupan kita tanpa mengorbankan privasi atau kesehatan mental.[]

 

Penulis :

Elma Ratna Fadhilah, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

×
Berita Terbaru Update