Sejak umur 5 tahun, saat masih di negara penuh dengan kedamaian, negara yang masih kuridnukan, Yaman, orangtuaku selalu mengajarkanku Al-Qur'an, menitipkan aku di tempat-tempat ummahat (ibu-ibu) yang salafi, mengenal dan mengkaji agama dengan baik, hingga saat aku berada di Indonesia, ibu selalu menyekolahkan aku di tempat-tempat yang lingkungannya alami, jauh dari teknologi. Beliau juga selalu mengajarkanku Al-Qur'an, tidak hanya saat sekolah, bahkan saat aku di rumah.
Waktu berlalu, aku harus pindah ke madrasah lain, karena rumah kami pindah, tapi badai terus menemani kehidupan, di tengah aku sekolah, belum tamat sekolah di madrasah ibtidaiyyah masalah mulai menyebar secara perlahan, membuat keluargaku terpaksa pindah ke tempat yang tidak aku inginkan sama sekali karena lingkungannya beragama kristen, tapi tidak lama kemuadian kami ke Solo, dengan tujuan mencari lingkungan baik.
Sebelum keluargaku yang pindah, aku bersama saudaraku terlebih dahulu mondok di salah satu ma’had di Solo, di sana aku memulai kehidupan baru lagi dengan lingkungan yang berbeda dengan lingkungan aku saat kecil, karena perbedaan pendapat, di saat itu, karena usiaku sudah kelas 5 atau 6 aku dianggap sudah besar dan dewasa, maka aku harus tinggal di dalam asrama, orangtuku mengantarkanku, dan saat aku di kamar mandi, belum sempat menjabat tangannya yang terakhir kalinya, mereka sudah tiada dan kembali ke rumah.
Aku menangis dalam kesunyian, esok hari aku mengharap mobil tiba memulangkanku kembali, tapi tidak kunjung datang, saat ada suara mobil, aku berusaha mencari celah untuk melongok barangkali itu mobil yg aku tunggu kedatangannya, tapi tidak dan bukan ! Aku kembali ke asrama, hatiku penuh kerisauan, rasanya seolah dalam penjara tapi bukan penjara, rasanya sedang dikekang, meski tidak ada yang mengekang.
Di dalam pondok yang penuh keramaian, di tengan isakan tangisan, Ustadzah memanggilku ke kantor usai kumpul bersama ribuan santri banyaknya, Ustadzah menghiburku dan menyodorkan titipan dari orang tuaku, aku sedikit terhibur, namun rasa rindu tetap ada.
Hari demi hari kosong tanpa kegiatan, hanya ada kerja bakti dan rebahan di atas ranjang, setelah mulai pembelajaran, aku melanjutkan hidupku bersama Al-Qur'an dengan dorongan dari orang tua, Ustadzah dan lainnya,, suatu malam, aku dijenguk, orangtuaku memutuskan untuk pindah ke solo, dengan tawaran dari salah satu teman dulunya, katanya di sini dekat dengan rumah sakit, lingkungan baik, dan segala tawaran dari beliau yang membuat ibu merasa tertarik.
Akhirnya, tiba saatnya orangtua pindah bersama adik-adik lain yang masih kecil, saat itu masih permulaan aku mondok, sering kali aku membrontak atau pulang bukan pada waktunya,, saat itu aku gunakan kesempatan besar untuk selalu keluar dan beralasan agar diloloskan dari dalam pondok, saptam berkali-kali mengizinkan, namun kebiasaan mengizinkan itu pun mengurang karena peraturan lebih ketat, meski begitu, berbagai cara aku lakukan, menyelinap, pergi saat malam sudah larut, saat ada jatah bagian piketan meletakkan wadah nasi di depan, dll.
Aku berangkat bakda shubuh jam lima pagi dari asrama untuk halaqah di masjid, halaqah shubuh adalah menambah hafalan baru, dan piket dari jam tujuh sampai jam delapan , di sela waktu itu juga diberi kesempatan sarapan, lalu jam delapan, ada halaqah lagi hingga jam sembilan untuk memuraja'ah hafalan baru.
Kemudian waktu sisanya untuk pelajaran hingga menjelang dzuhur, jam satu siang ada halaqah lagi untuk memuraja’ah hafalan lama begitu juga bakda ‘ashar, dan di sore harinya setelah halaqah, seperti biasa diberi waktu untuk MCK, hingga bakda maghrib lalu setelah Isya diadakan jam belajar, memuraja’ah apa yang dipelajari hari itu.
Di marhalah tahfidz, terdapat peraturan; setiap hafalan baru satu juz selesai maka harus diujikan kepada pengampu terpilih, dengan nilai yang lulus, saat itu aku ujian karena kebetulan sudah menyelesaikan hafalan satu juz, tapi Ustadzah yang mengampu ketat dalam menilai hafalan.
Berkali-kali ku ujian dan hasilnya tetap tidak lulus, aku akhirnya menangis, tak bisa lagi membendung air mataku, aku menyerah, tapi ternyata di sela itu terdapat hikmah, aku tetap menambah hafalan baru mandiri, tak ku sadari aku sudah menghafal hingga tersisa tujuh juz lagi aku selesai, di penghujung tahun ajaran, menjelang liburan, diadakan lomba menambah hafalan dalam sehari seperempat juz.
Saat itu aku termasuk yang mampu menyetorkan hafalan baru seperempat sekali duduk, tapi aku bukan termasuk yang menang dalam lomba itu, karena kreatrianya adalah mereka yang mampu menyetorkan hafalan barunya sekali duduk seperempat juz, temanku, dia cerdas dan kalem, yang lucu dan penuh drama dengan shahabatnya, dialah yang memenangkan acara perlombaan itu dan aku ikut merasa senang hari kemenangannya..
Kegiatan yang sama berjalan setiap harinya, dari tahun lalu ke tahun ajaran berikutnya, aku senang dengan ketertiban itu dan kegiatan yang rutin, di sisi lain aku merasa keletihan dengan peraturan yang semakin ketat, meski membawa kebaikan tapi aku tidak sanggup, aku telah berada di tahun ketiga selama di sana, dan jika aku selesai hafalan di sana maka akan ada amanah yang berat bagi usiaku, aku memutuskan unuk menyelesaikannya dirumah, dan akhirnya hafalanku selesai di tangan orangtua.
Setelah selesai, aku mondok, di pondok setelahnya aku punya banyak kesempatan untuk memuraja’ah kembali hafalanku itu, alhamdulillah aku sudah mengkhatamkan hafalan lebih dari sekali, dan guruku bangga dengan aku, di saat yang sama, aku juga menghafalkan matan, hadits, dan qoidah-qoidah dalam bahasa arab sampai tamat.
Hanya satu harapan dalam hidupku yang tertuju padaku, yaitu keistiqamahan hingga akhir hayat, selagi aku masih memiliki nyawa, teatap memiliki kewajiban beribadah sampai ajal tiba. Wallaahulmuwaffiq.[]
Penulis :
Fakhitah, mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam, STIT Madani Yogyakarta