Notification

×

Iklan

Iklan

Fatwa di Era Digital

Minggu, 05 Oktober 2025 | Oktober 05, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-05T01:30:47Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Anjaz Saputra (Foto/IST)

Kemajuan teknologi informasi telah mengubah banyak aspek kehidupan umat Islam, termasuk cara mereka mencari jawaban atas persoalan hukum agama. Jika sebelumnya fatwa hanya bisa diperoleh dengan mendatangi ulama atau lembaga resmi, kini cukup melalui media sosial, situs web, atau aplikasi, umat sudah bisa menemukan fatwa dengan cepat. Perubahan ini membawa kemudahan luar biasa, tetapi sekaligus menimbulkan tantangan serius terkait validitas, otoritas, serta ketepatan fatwa yang beredar di dunia maya.

 

Secara tradisional, fatwa adalah respons ulama atas persoalan yang belum dijelaskan secara gamblang dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Pada masa klasik, fatwa lahir dari kedalaman ilmu seorang mufti yang memiliki otoritas keilmuan tinggi. Namun, di era digital, cara masyarakat mencari fatwa bergeser. Hanya dengan mengetik pertanyaan di mesin pencari atau mengikuti kanal ulama di media sosial, jawaban bisa langsung diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa ruang otoritas fatwa tidak lagi terbatas pada majelis ilmu, tetapi telah meluas ke ranah virtual yang lebih bebas.

 

Dari sisi positif, fatwa digital membuat akses lebih merata. Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil kini bisa mendapatkan bimbingan hukum tanpa harus menempuh perjalanan jauh. Lembaga resmi seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Dar al-Ifta Mesir pun memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan fatwa. Melalui website resmi, media sosial, hingga video dakwah, fatwa dapat dipahami oleh masyarakat dengan lebih sederhana. Dengan begitu, penyebaran fatwa tidak hanya berhenti di kalangan akademisi, melainkan dapat menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas.

 

Meski begitu, problematika juga ikut muncul. Banyak fatwa beredar tanpa landasan keilmuan yang memadai, dikeluarkan oleh individu yang belum tentu memiliki kompetensi. Penyebaran cepat di media sosial membuat masyarakat sering menerima fatwa tanpa memastikan kebenarannya. Hal ini rawan menimbulkan salah paham, bahkan perpecahan, terutama jika fatwa yang tersebar mengandung kontroversi. Tidak jarang pula “ustaz digital” lebih mengutamakan popularitas ketimbang kedalaman ilmu, sehingga fatwa berubah menjadi konten semata.

 

Dalam kondisi ini, lembaga fatwa resmi harus lebih aktif memanfaatkan ruang digital. Fatwa perlu disosialisasikan dengan bahasa sederhana, visual menarik, dan format praktis seperti infografis, video pendek, maupun sesi tanya-jawab daring. Langkah ini akan mengurangi ketergantungan masyarakat pada sumber yang tidak jelas. Selain itu, literasi digital keagamaan juga sangat penting, agar umat mampu membedakan mana fatwa yang sahih dan mana yang sekadar opini pribadi.

 

Tantangan di masa depan akan semakin rumit dengan hadirnya teknologi kecerdasan buatan, chatbot, dan sistem berbasis algoritma. Beberapa percobaan menggunakan AI untuk menjawab pertanyaan agama sudah dilakukan, tetapi memunculkan perdebatan besar mengenai legitimasi. Pertanyaan yang muncul adalah: apakah mesin dapat dianggap sebagai mufti? Hal ini menunjukkan perlunya panduan etis dan regulasi dalam penggunaan teknologi untuk penyebaran fatwa. Ulama dan lembaga fatwa pun dituntut untuk memahami perkembangan teknologi agar fatwa tetap relevan dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

Pada akhirnya, keberadaan fatwa di era digital tidak bisa dihindari. Fenomena ini memberi manfaat berupa akses cepat dan penyebaran luas, tetapi juga membawa risiko dalam hal otoritas dan keabsahan. Fatwa digital sebaiknya dipandang sebagai lanjutan tradisi ijtihad yang beradaptasi dengan zaman. Dengan menjaga otoritas ulama, memperkuat peran lembaga resmi, dan meningkatkan pemahaman digital di tengah masyarakat, fatwa dapat terus menjadi pedoman yang menuntun umat dalam menghadapi kompleksitas dunia modern.[]

 

Penulis :

Anjaz Saputra, Mahasiswa Ekonomi Syariah Universitas Pamulang 

×
Berita Terbaru Update