![]() |
| Sumber foto: Yukirai.com,Oktober 27,2025 |
TamiangNews.com - Akhir-akhir ini Provinsi Bali khususnya di Denpasar, mengalami banjir pada Bulan September yang menyebabkan hancurnya beberapa infrastruktur kios di Pasar Badung, Kumbasari, serta rumah masyarakat yang terdampak banjir, secara umum hujan di Indonesia sering terjadi pada Bulan November hingga Maret, dari peristiwa tersebut iklim di Indonesia sedang berubah. Apa yang menjadi penyebabnya? Banyak isu yang beredar di Bali masalah banjir karena tata kelola lingkungan degradasi, hal ini ditandai dengan masifnya ahli fungsi lahan.
Selain itu, munculnya fenomena gelombang atmosfer dan laut skala besar yang terjadi di sekitar khatulistiwa terutama di Bali yang memengaruhi pola cuaca global dan sering memicu hujan ekstrem seperti gelombang kelvin dan Rossby. Di samping itu, penuhnya sampah yang tercampur dari tempat pembuangan akhir (TPA) sehingga Masyarakat di Denpasar mulai bingung membuang sampahnya dimana, padahal sebelumnya Gubernur Bali Dr. Ir. Wayan Koster mengeluarkan surat edaran nomor 09 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah, Surat edaran ini menginstruksikan masyarakat, termasuk rumah tangga, untuk melakukan pengelolaan sampah berbasis sumber. Penekanannya mencakup pemilahan sampah menjadi organik, anorganik, dan residu.
Isu yang beredar perubahan iklim salah satunya diakibatkan oleh sampah yang ada di Bali, Denpasar. Khususnya sampah organik yang sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim. Mengapa demikian? Peningkatan jumlah penduduk di kawasan perkotaan seiring dengan perkembangan ekonomi menyebabkan produksi sampah organik meningkat secara signifikan. Mulai dari proses pengolahan, distribusi hingga konsumsi. Selain itu, pembuangan sampah secara tercampur antara organik dan anorganik dalam satu tempat sampah, ini yang menyebabkan terjadinya pembusukan jika tidak diolah/daur ulang secara cepat, sehingga jika dibiarkan akan menyebabkan terciptanya gas metana yang lebih berbahaya daripada karbonmonoksida.
Perlu diketahui bahwa 1 ton sampah organik sama dengan 50kg gas metana yang dapat berkontribusi terhadap gas rumah kaca sehingga terjadinya perubahan iklim yang tidak terduga. Pada tahun 2024 menurut data CNNIndonesia, Indonesia berada di urutan ke lima dari beberapa negara dengan jumlah sampah makanan terbesar di dunia, menyumbangkan sampah sisa makanan 14,7 juta ton per tahun dan setiap orang rata rata membuang 53 kg makanan. Terlebih lagi, terjadi deforestasi besar di Indonesia yang membuat sulitnya mengendalikan gas rumah kaca yang salah satunya dihasilkan oleh sampah organik. Tidak hanya ini, selain menciptakan gas metana kondisi ini sangat membahayakan pada masyarakat secara langsung yaitu terjadinya pencemaran air, tanah, udara terutama di wilayah perkotaan yang padat penduduk, jika sampah organik mulai menumpuk semisal ditempat terbuka maka akan memicu berkembangnya penyakit seperti lalat dan tikus yang dapat menyebarkan berbagai penyakit menular.
Dalam permasalahan tersebut dapat dikatakan bahwa penyebab perubahan iklim ini terjadi bukan hanya faktor dari alam, melainkan akibat kurangnya kesadaran bersama di tengah masyarakat Indonesia melalui sampah organik. Permasalahan ini dapat dicegah Kembali dengan manifestasi keadilan sosial dan gotong royong melalui contoh Tindakan yang ada di Desa Bongkasa Pertiwi dalam mengatasi krisis sampah organik dan menciptakan ekonomi sirkular dari Ubi Ungu yang diolah menjadi obat bermanfaat dengan menghasilkan profit melalui perantara sampah organik Masyarakat disana.
Sebagai informasi masyarakat di Desa Bongkasa Pertiwi tidak hanya menggunakan sisa makanan, tetapi mereka memanfaatkan kotoran Babi atau sapi. Melalui surat keputusan gubernur Bali nomor: 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah, Pengolahan sampah di Desa Bongkasa Pertiwi memilih topik “Tidak Pilah Tidak Angkut”, ini sangat menarik sekali dimana Kepala Desa Bongkasa Pertiwi Bapak I Nyoman Buda, SE,NL.P menerapkan desa bersih dari sampah dengan mengelola sampah melalui TPS 3R yaitu Reduce-Reuse-Recycle.
Solusi ini bukan hanya menyingkirkan sampah, tetapi mengubah sampah menjadi sumber daya melalui ekonomi sirkular berbasis desa. Disamping itu, masyarakat disana juga mengelola Kotoran Sapi dan Babi menjadi produksi biogas, setelah proses terjadinya pengolahan biogas kemudian menghasilkan gas yang nantinya terdapat sisa lumpur setelah fermentasi kotoran yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Proses inilah Pengelolaan sampah organik di Bongkasa Pertiwi menjadi pupuk kompos sederhana yang murah dan mandiri, kemudian Pupuk kompos tersebut digunakan untuk menanam Ubi Ungu yang memiliki nilai jual tinggi karena kandungan gizinya misalnya, antioksidan yang diyakini berkhasiat obat.
Dalam kasus ini Prinsip "Tidak Pilah Tidak Angkut" yang diterapkan Bapak Kepala Desa I Nyoman Buda, SE,NL.P, adalah manifestasi nyata dari Gotong Royong Sila ke-3 dan Keadilan sosial Sila ke-5 yang bukan hanya sekadar aturan teknis. Dari gotong royong masyarakat menunjukkan solidaritas dengan mematuhi aturan "Tidak Pilah Tidak Angkut". Ini bukan lagi tanggung jawab individu, tetapi tanggung jawab bersama untuk menjaga desa. Ini menunjukkan bahwa gerakan kebersihan berhasil karena persatuan tindakan.
Masyarakat desa yang memilah sampah secara benar meringankan beban petugas dan mencegah lingkungan kotor, sehingga tercipta rasa memiliki terhadap kebersihan desa. Selain itu, menurut sila keadilan sosial, masyarakat desa disana juga menerapkan Desentralisasi Pengelolaan & TPS 3R yaitu Pengelolaan dilakukan secara mandiri di tingkat desa (TPS 3R). Keputusan ini muncul dari kearifan lokal yang dipimpin oleh kepala desa. Solusi ini membuktikan bahwa kebijakan Gubernur (No. 9/2025) berhasil jika diterjemahkan secara bijaksana oleh pemimpin lokal, memberdayakan masyarakat desa untuk berinovasi biogas dan pupuk sesuai kebutuhan mereka. Dengan kebijaksanaan tersebut lahirnya keadilan sosial yang dimana biogas yang dihasilkan dapat dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan energi memasak warga yang berpartisipasi (distribusi energi yang adil dan murah). Ini mengurangi ketergantungan pada gas subsidi/LPG, sehingga meringankan beban ekonomi rumah tangga, khususnya masyarakat kurang mampu.Selain itu, profit dari penjualan ubi ungu yang ditanam menggunakan pupuk organik buatan desa dialokasikan kembali untuk pembangunan desa, atau didistribusikan secara adil kepada warga yang aktif.
Dengan demikian, bahwa krisis sampah di Bali dapat diselesaikan dengan mengintegrasikan Pancasila sebagai dasar etika dan ekonomi sirkular sebagai mekanisme praktis. Model Bongkasa Pertiwi membuktikan bahwa solusi masalah bangsa lingkungan dan ekonomi dapat dicapai melalui Gotong Royong yang menghasilkan Keadilan Sosial (Profit). Kemudian mendorong replikasi model ini di desa-desa lain di Bali dan Indonesia sebagai wujud nyata penerapan Pancasila dalam pembangunan berkelanjutan.(*)
Sumber Referensi: - Gubernur Bali. (2025). Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor: 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.
-Link Instagram CNNIndonesia: https://www.instagram.com/p/DR6bDClCAIv/?utm_source=ig_web_copy_link



