TamiangNews.com -- Negara Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai jumlah penduduk terbanyak di dunia. Dengan banyaknya jumlah penduduk tersebut, tidak menutup kemungkinan jika Indonesia merupakan negara dengan tingkat kemajemukkan yang sangat besar, terlebih lagi dalam urusan memilih kepercayaan.
Kebebasan beragama adalah prinsip yang mendukung kebebasan individu atau masyarakat, untuk menerapkan agama atau kepercayaan dalam ruang pribadi atau umum. Kebebasan beragama termasuk kebebasan untuk mengubah agama dan tidak menurut setiap agama.
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan.
Pemerintah secara resmi mengakui enam agama yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Dan beberapa larangan hukum terus berlaku terhadap beberapa jenis kegiatan keagamaan tertentu yang dianggap dapat menyinggung agama lain. Kebebasan beragama dianggap diatur secara tertulis pada undang-undang dengan tujuan agar HAM masyarakat dapat terwujud dengan baik dan benar. Dengan kata lain, pemerintah sebenarnya menyalahkan tindakan-tindakan anarkis yang dilakukan atas dasar agama tertentu. Namun fakta berbicara lain sehingga dapat disimpulkan bahwa secara umum di Indonesia penerapan peraturan mengenai kebebasan beragama masih kurang tegas dalam pelaksanaannya.
Contohnya saja kasus jemaat Ahmadyah yang diperlakukan bak buruan. Sudah puluhan kali rumah dan masjid mereka dibakar. Dan tragedi di Cikeusik, Pandeglang, Banten, tahun 2011 lalu, semakin membuat kita prihatin. Penyerang tak hanya membakar rumah, tapi juga membunuh tiga anggota Ahmadiyah. Kebrutalan itu seolah didiamkan oleh polisi di sana. Kepolisian setempat beralasan, jumlah personel tidak cukup untuk menghadang kelompok yang menyerang Ahmadiyah. Dalih seperti ini sulit dipahami oleh akal sehat. Kalaupun fakta itu benar, bukankah mereka bisa meminta bantuan polisi di daerah lain? Jika aparat terdesak, kenapa pula tidak menghalau lewat tembakan peringatan?.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menyatakan, ada kemungkinan peristiwa itu bisa dicegah. Ia kemudian berjanji akan menghukum siapa pun yang terbukti lalai dan bersalah, entah itu polisi, personel pemerintah daerah, anggota Ahmadiyah, maupun massa penyerang.
Masalahnya, publik telanjur kurang percaya bahwa pemerintah benar-benar akan bertindak tegas. Orang juga ragu akan kemampuan pemerintah menyelesaikan urusan Ahmadiyah secara tuntas. Sebab, insiden seperti itu sudah terlalu sering terjadi, dan pemerintah selalu tak mampu melindungi anggota Ahmadiyah. Pengikut ajaran Mirza Ghulam Ahmad ini justru semakin kerap menjadi sasaran penyerangan setelah pemerintah mengeluarkan surat keputusan bersama pada 2008. SKB yang diteken oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung itu melarang kegiatan Ahmadiyah.
Di situ sebenarnya juga diatur bahwa masyarakat tak boleh main hakim terhadap anggota Ahmadiyah, tapi ketentuan ini terbukti tidak efektif. Surat keputusan itu justru dijadikan alat oleh sekelompok masyarakat untuk melegalkan penyerangan. Warga Ahmadiyah dianggap melanggar surat itu karena mereka menyiarkan ajaran sesat. Pemerintah mestinya mencabut aturan yang kontroversial ini. Namun apa daya rupanya pemerintah belum melakukan apapun yang berarti untuk mencegah kasus ini terjadi.
Berbagai permasalahan atas nama agama juga kerap terjadi dalam sosial media. Beberapa waktu lalu media sosial diributkan dengan masalah klepon haram ataupun halal. Perdebatan sengit pembela klepon haram dan halal saling beradu argument untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Tak sampai disitu saja, perdebatan yang terjadi kerap kali menggunakan kata-kata yang mengintimidasi kelompok tertentu, bahkan menyela yang tidak sependapat dengan kata-kata kasar.
Pertarungan antara umat beragama dalam memperdebatkan hal-hal yang tidak penting menjadi problematika baru yang perlu dikhawatirkan. Orang zaman sekarang akan beranggapan bahwa agama tidak bisa dibawa santai dan baperan (bawa perasaan). Mereka takut ketika memilih untuk beragama akan mendapat masalah yang jauh lebih besar ketika melakukan kegiatan agama dengan cara yang salah dimata orang lain.
Ini menjadi bukti bahwa penegakan kebebasan beragama di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Kebebasan untuk mengekspresikan keberagamaan di Indonesia nampaknya juga banyak mendapat sorotan dari dunia internasional. Meskipun belum bisa dijadikan rujukan, data terbaru yang dikeluarkan Pemerintah Amerika Serikat yang memasukkan Indonesia dalam daftar pelanggaran berat kebebasan beragama bersama Afganistan, Bangladesh, Belarus, Kuba, Mesir, dan Nigeria perlu dicermati ulang. Setidaknya, laporan tahunan yang dirilis pertengahan tahun 2006 itu cukup membuka mata untuk melihat sejauh mana Indonesia telah menjamin hak-hak beragama warganya.***

