Foto/Ilustrasi
Penegakan hukum di Indonesia sering kali menjadi sorotan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dalam idealitasnya, hukum adalah pedoman yang seharusnya ditegakkan tanpa pandang bulu, menjamin keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, dan menciptakan ketertiban sosial. Namun, realitasnya di lapangan sering kali jauh dari harapan tersebut. Ada berbagai permasalahan yang muncul, mulai dari ketimpangan dalam penerapan hukum, korupsi di kalangan aparat penegak hukum, hingga intervensi politik yang kerap mengabaikan prinsip keadilan.
Salah satu masalah utama dalam penegakan hukum di Indonesia adalah ketidakjelasan yang berkaitan dengan proses berjalannya hukum dan juga lemahnya penerapan berbagai aturan. Gustav Radbruch seorang filsuf hukum dari Jerman pernah mengutarakan jika terdapat 3 dasar konsep dari tujuan pembentukan hukum, yakni Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan. Hukum dibuat untuk memberikan keadilan, kepastian dan manfaat bagi masyarakat, artinya secara sederhana di dalam tataran praktis hukum harus dapat memberikan solusi/pemulihan/jalan keluar yang adil atas perkara atau sengketa yang dihadapi oleh masyarakat. Sayangnya narasi hukum yang ideal tersebut nampaknya menjadi hampa ketika dibawa ke ruang nyata. Konsepsi keadilan, kepastian dan kemanfaatan masih dirasakan sebagai hal yang dicita-citakan ketimbang hal yang telah nyata dirasakan oleh masyarakat.
Salah satunya adalah ketidakadilan dalam menegakkan hukum, dimana terkadang seseorang sering menyalahgunakan kekuasaan untuk melindungi dirinya dari pelanggaran yang telah ia perbuat. Contohnya adalah seperti pejabat, pengusaha, atau orang yang punya kekuasaan yang besar, saat mereka terbukti melakukan pelanggaran hukum, terutama yang sering terjadi adalah tindakan korupsi, pada saat ditindak dan diproses secara hukum mereka menerima vonis atau hukuman yang tidak setimpal dengan kejahatannya, seakan hukum dapat dikuasai ataupun dibeli. Sementara ketika pelaku pelanggarannya adalah rakyat biasa yang notabenenya adalah masyarakat miskin maka hukum berlaku sangat tegas tanpa dipertimbangkan terlebih dahulu. dari kedua kejadian ini jangan heran lagi kalau sering disebut istilah "hukum di negara kita "tajam ke bawah tumpul ke atas".
Hal ini juga berarti bahwa hukum dalam pandangan sebagian besar masyarakat Indonesia adalah sebagai peraturan perundang-undangan dan penerapan sanksinya semata, sehingga sebagian besar masyarakat menilai hukum itu tumpul ke atas tajam ke bawah apabila dilihat dari sisi penegakan peraturan perundang-undangan dan penerapan sanksi hukum, maka penerapannya terhadap masyarakat yang memiliki kelas sosial yang tinggi (baik secara ekonomi, maupun secara pendidikan, atau kekuasaan) tidak serius, sedangkan yang terjadi pada masyarakat yang memiliki kelas sosial rendah berlaku sebaliknya. Hal ini menjauhkan hukum dari idealitasnya sebagai penjaga kebenaran dan keadilan. Masyarakat yang seharusnya bisa mengandalkan hukum untuk melindungi hak-hak mereka, justru sering kali merasa tertekan dan tak berdaya ketika berhadapan dengan sistem yang korup.
Intervensi politik juga merupakan masalah besar. Pada banyak kasus, penegakan hukum terhambat oleh tekanan atau kepentingan politik. Aparat hukum yang seharusnya independen, justru terkadang terpengaruh oleh kekuatan politik tertentu, mengakibatkan proses hukum yang bias dan tidak objektif. Keterkaitan ini semakin memperkeruh citra lembaga penegak hukum di mata publik. Dalam menghadapi problematika ini, dibutuhkan reformasi menyeluruh terhadap sistem hukum di Indonesia, baik dari segi peraturan, integritas aparat penegak hukum, maupun pendidikan hukum bagi masyarakat. Hanya dengan begitu, idealitas penegakan hukum sebagai pelindung keadilan bisa diwujudkan, dan realitas kelam yang saat ini terjadi bisa diperbaiki. Hukum harus kembali menjadi alat keadilan yang sesungguhnya, bukan sekadar alat kekuasaan dan kepentingan pribadi.[]
Penulis :
Muhammad Iqbal Hibatullah, mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung