Notification

×

Iklan

Iklan

Algoritma Ilmu: Jitu atau Semu?

Rabu, 14 Mei 2025 | Mei 14, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-14T12:15:31Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Asep Saepur Rohman (Foto/IST)

Dunia pendidikan kita tengah berada di persimpangan jalan yang signifikan, dipicu oleh kemunculan kecerdasan buatan atau AI. Bayangkan, program seperti Chat GPT kini mampu menyelesaikan soal matematika, merangkum buku tebal dalam sekejap, bahkan menyusun esai yang cukup komprehensif. Kehadiran teknologi ini memicu beragam reaksi. Sebagian menyambutnya sebagai terobosan, sebuah revolusi yang akan memodernisasi sistem pendidikan kita. 


Namun, tidak sedikit pula yang khawatir, cemas bahwa ini justru menjadi awal dari menurunnya kemampuan berpikir kritis generasi muda. Di tengah gegap gempita teknologi ini, sebuah pertanyaan fundamental perlu kita ajukan: apakah integrasi AI ke dalam dunia pendidikan benar-benar membawa manfaat, atau jangan-jangan hanya menutupi tantangan yang lebih fundamental?


Tidak dapat dipungkiri, kehadiran AI telah menawarkan berbagai kemudahan dalam aktivitas belajar-mengajar. Bagi para pendidik, AI dapat berfungsi sebagai asisten yang membantu merancang variasi soal, mencari referensi bahan ajar terkini, atau bahkan menganalisis kebutuhan belajar individual siswa. Hal ini memungkinkan pendekatan yang lebih personal dan efektif. 


Di sisi siswa, platform seperti Chat GPT, Grammarly, atau Quillbot menjadi semacam tutor pribadi yang siap sedia membantu menjawab pertanyaan, memperbaiki tata bahasa, atau merestrukturisasi kalimat dalam tugas-tugas kompleks. Akses instan terhadap informasi dan solusi ini, pada pandangan pertama, tampak sebagai demokratisasi pengetahuan yang patut diapresiasi.


Namun, di balik kemilau kemudahan tersebut, tersembunyi potensi risiko yang perlu diwaspadai: ketergantungan. Semakin banyak pendidik, dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi, menyuarakan keprihatinan yang sama. Ada indikasi bahwa siswa cenderung hanya menyalin dan menempel (copy-paste) hasil yang disajikan AI tanpa melalui proses pemahaman konten yang mendalam. Fenomena ini bukan sekadar isu kemalasan, melainkan sinyal erosi kemampuan analisis dan sintesis. Jika tren ini berlanjut, kemampuan berpikir kritis dan kreativitas dua pilar utama pendidikan modern dapat terhambat perkembangannya.


Kutipan dari Jack Dorsey, pendiri Twitter, dalam sebuah wawancara dengan The Atlantic (2023), menjadi sangat relevan: “Teknologi harus memperkuat manusia, bukan menggantikannya.” Pernyataan ini mengingatkan kita akan esensi teknologi. Apabila AI justru mengambil alih proses inti dari belajar proses di mana individu bergulat dengan konsep, merangkai argumen, dan mengungkapkannya secara mandiri maka kita tidak lagi berfokus pada pemberdayaan sumber daya manusia. Alih-alih, kita berisiko menciptakan generasi yang bergantung pada mesin, sebuah skenario yang bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri.


Lebih jauh lagi, janji kemajuan yang ditawarkan AI tidak tersebar secara merata. Di sekolah-sekolah dengan infrastruktur digital yang mapan, AI mungkin sudah mulai terintegrasi. Namun, bagaimana dengan ribuan sekolah lain, terutama di daerah terpencil, di mana akses internet stabil dan perangkat memadai masih menjadi tantangan? Kondisi ini berpotensi memperlebar kesenjangan digital yang sudah ada. Kesenjangan ini bukan lagi sekadar soal kepemilikan gawai, tetapi berkembang menjadi kesenjangan dalam hal literasi dan kemampuan memanfaatkan teknologi secara bijak dan produktif.


Mari kita bayangkan dua skenario: seorang siswa di sekolah perkotaan dengan fasilitas AI lengkap dan guru yang terlatih, berbanding dengan siswa di daerah pedesaan yang mungkin gurunya sendiri belum familiar dengan teknologi tersebut. Perbedaan pengalaman dan kesempatan belajar ini, jika tidak diatasi secara sistemik, akan memperparah ketidaksetaraan kualitas pendidikan di Indonesia. Laporan UNESCO tahun 2024 bahkan telah memperingatkan tentang risiko “AI divide” sebuah kesenjangan global antara mereka yang memiliki akses dan kemampuan memanfaatkan AI untuk pendidikan, dengan mereka yang tertinggal. Ini bisa berdampak pada ketimpangan sosial dan ekonomi di masa depan.


Penting untuk kita sadari kembali bahwa pendidikan jauh melampaui sekadar transfer informasi atau penguasaan keterampilan teknis. Pendidikan adalah proses holistik yang mencakup pembentukan karakter, penanaman nilai-nilai, dan pengembangan empati. Aspek-aspek fundamental kemanusiaan inilah yang membentuk individu yang utuh dan bertanggung jawab. Dan, elemen-elemen ini tidak dapat diajarkan atau digantikan oleh AI, secanggih apapun algoritmanya. Di sinilah peran guru sebagai pendidik karakter dan pembimbing nilai menjadi semakin sentral, melampaui perannya sebagai penyampai informasi semata.


Dalam konferensi “Future of Learning” yang diselenggarakan oleh Harvard Graduate School of Education (2024), Profesor Jal Mehta dengan tepat menekankan, “AI bisa menggantikan konten, tetapi tidak bisa menggantikan relasi.” Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa teknologi, sehebat apapun, tetaplah alat. Interaksi manusiawi diskusi, bimbingan personal, keteladanan, dan hubungan emosional antara guru dan siswa tetap menjadi elemen tak tergantikan dalam ekosistem pendidikan yang sehat dan bermakna. Relasi inilah yang membangun fondasi kepercayaan dan motivasi belajar.


Oleh karena itu, langkah strategis yang mendesak adalah mulai menanamkan literasi AI secara komprehensif. Ini bukan hanya tentang cara menggunakan berbagai aplikasi AI, tetapi lebih dalam lagi: bagaimana mengembangkan sikap kritis terhadap informasi yang dihasilkan AI, memahami potensi bias dalam algoritmanya, mengetahui batas kemampuannya, dan yang terpenting, bijak dalam memutuskan kapan sebaiknya menggunakan AI sebagai alat bantu dan kapan harus mengandalkan kemampuan kognitif diri sendiri. Inilah yang disebut “etika digital”, sebuah kompetensi krusial di era informasi saat ini.


Daripada memandang AI sebagai ancaman, akan lebih konstruktif jika kita mampu merangkulnya sebagai mitra potensial dalam memajukan pendidikan. Namun, ini adalah kemitraan yang harus dikelola dengan bijak, di mana kita tetap memegang kendali. Pemerintah, bersama institusi pendidikan dan pemangku kepentingan lainnya, perlu segera merumuskan kebijakan yang jelas dan adaptif. Kebijakan ini harus mengatur penggunaan AI dalam konteks akademis, cara mengajarkan penggunaannya secara etis, serta bagaimana sistem evaluasi dapat menghargai proses berpikir dan orisinalitas siswa, bukan hanya hasil akhir.


Kurikulum Merdeka, dengan fleksibilitas dan penekanannya pada pembelajaran berbasis proyek, sebenarnya menyediakan ruang yang ideal untuk mengintegrasikan modul literasi digital dan AI. Sayangnya, implementasi di lapangan menunjukkan bahwa belum banyak sekolah yang benar-benar siap atau memiliki sumber daya untuk mengintegrasikan isu ini secara serius dan sistematis. Diperlukan dukungan berkelanjutan dalam pelatihan guru dan pengembangan materi ajar yang relevan.


Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, (sebagai contoh, dalam sebuah pernyataan hipotesis), “AI bukan untuk menggantikan guru, tetapi untuk memperkuat proses belajar yang lebih personal dan adaptif. Peran guru sebagai manusia tetap tak tergantikan.” Pernyataan ini menegaskan bahwa AI seharusnya menjadi alat pendukung yang memperkaya pengalaman belajar, sementara guru tetap menjadi nahkoda dalam proses pembentukan karakter dan pengembangan potensi siswa.


Pada akhirnya, kehadiran AI dalam dunia pendidikan adalah sebuah realitas yang tak terhindarkan. Ia akan terus berkembang dan menawarkan berbagai kemungkinan baru. Namun, cara kita merespons dan mengintegrasikannya akan menentukan dampak jangka panjangnya. Kita tidak sedang menyaksikan akhir dari pendidikan tradisional, melainkan awal dari era baru pendidikan yang lebih kompleks dan dinamis. Tantangan utamanya bukan hanya soal penguasaan teknologi, tetapi juga soal peneguhan nilai-nilai: apakah kita mampu membentuk generasi yang cerdas secara teknologi sekaligus matang secara moral dan kritis dalam berpikir?


Jika pendidikan hanya dimaknai sebagai proses transfer informasi, maka AI jelas memiliki keunggulan dalam hal kecepatan dan jangkauan. Tetapi jika kita meyakini bahwa esensi pendidikan adalah membentuk manusia seutuhnya yang mampu berpikir, merasa, dan bertindak dengan bijaksana maka peran pendidik, pembuat kebijakan, dan masyarakat tetap sangat vital. Peran ini tidak akan pernah bisa digantikan oleh mesin secanggih apapun. Tugas kita bersama adalah memastikan AI menjadi alat pemberdaya, bukan sebaliknya.[]


Penulis :

Asep Saepur Rohman, Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


×
Berita Terbaru Update