Notification

×

Iklan

Iklan

Belajar di Era AI: Antara Kemudahan dan Kemalasan Berpikir

Jumat, 09 Mei 2025 | Mei 09, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-09T01:51:25Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Bulan Shilviana Putri Nugroho (Foto/IST)


Di era digital seperti sekarang, kemajuan teknologi telah menciptakan berbagai inovasi yang mengubah cara manusia hidup, bekerja, dan belajar. Salah satu inovasi yang paling mencolok adalah kehadiran kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Dalam dunia pendidikan, AI menjadi topik yang hangat diperbincangkan karena potensinya yang besar untuk mempercepat dan mempermudah proses belajar. Aplikasi seperti ChatGPT, Photomath, dan AI translator sudah menjadi bagian dari keseharian banyak pelajar. Cukup dengan mengetikkan pertanyaan atau memfoto soal, siswa bisa langsung mendapatkan jawaban dan penjelasan secara instan.

 

Namun, di balik kemajuan ini, muncul pertanyaan besar, apakah teknologi benar-benar membantu siswa belajar lebih baik, atau justru membuat mereka semakin malas berpikir? Pertanyaan ini mencuat ke permukaan setelah beredarnya video seorang siswa SMA yang viral di media sosial. Dalam video tersebut, siswa terlihat kesulitan menjawab soal matematika dasar yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah. Reaksi publik pun beragam, mulai dari prihatin, marah, hingga mempertanyakan kualitas pendidikan kita hari ini. Apakah ini cerminan kegagalan sistem pendidikan? Ataukah efek samping dari ketergantungan pada teknologi?

 

Memang benar, AI sangat membantu dalam mengakses informasi dengan cepat. Bagi siswa, kehadiran AI seperti membuka pintu menuju dunia pengetahuan yang tak terbatas. Namun, ada perbedaan besar antara mengetahui jawaban dan memahami proses. Banyak pelajar saat ini hanya mengejar hasil akhir atau jawaban yang benar. Namun, mereka lupa bahwa proses berpikir, mencari solusi, dan menganalisis masalah adalah inti dari pembelajaran itu sendiri.

 

Ketergantungan ini memunculkan kekhawatiran yang serius. Jika sejak dini siswa dibiasakan untuk melewati proses belajar dan langsung mengambil hasil dari teknologi, maka yang terbentuk bukanlah generasi pembelajar, melainkan generasi penyalin. Mereka hafal output, tapi tidak memahami input. Mereka tahu jawaban, tapi tidak mengerti logikanya. Ini tentu akan berdampak buruk dalam jangka panjang, terutama saat mereka harus menghadapi tantangan nyata yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan bertanya ke mesin.

 

Lebih jauh lagi, ini menunjukkan bahwa pendidikan kita belum siap sepenuhnya menghadapi era digital. Kurikulum memang mulai beradaptasi, dan beberapa sekolah sudah mengintegrasikan teknologi dalam proses belajar. Namun, transformasi ini belum menyentuh akar permasalahan bagaimana menumbuhkan sikap belajar yang mandiri, kritis, dan reflektif pada siswa. Tanpa fondasi ini, teknologi apa pun hanya akan menjadi alat pelarian, bukan pendorong kemajuan.

 

Di sinilah pentingnya peran guru, sekolah, dan orang tua. Guru bukan hanya penyampai materi, tapi juga pembimbing proses berpikir. Sekolah bukan sekadar tempat menghafal, tapi ruang untuk mengasah nalar dan karakter. Orang tua pun perlu ikut terlibat, memberi pengawasan dan arahan agar anak-anak tidak terjebak dalam zona nyaman yang ditawarkan teknologi.

 

AI seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti. Kita bisa memanfaatkan AI untuk membuat pembelajaran lebih menarik, seperti menyusun latihan adaptif, menjelaskan konsep lewat visualisasi interaktif, atau membantu siswa memahami topik sulit dengan pendekatan personal. Tapi tetap saja, proses berpikir harus menjadi inti dari pengalaman belajar.

 

Semua kekhawatiran ini menjadi lebih penting saat kita mengingat satu hal besar dimana Indonesia menargetkan untuk menjadi negara maju pada tahun 2045, yang disebut sebagai Indonesia Emas. Pada masa itu, bangsa ini akan merayakan 100 tahun kemerdekaannya. Generasi yang saat ini sedang duduk di bangku sekolah adalah generasi yang akan menjadi tulang punggung bangsa di masa depan. Mereka yang sekarang masih belajar menghitung, menulis, dan memahami konsep dasar, kelak akan menjadi pemimpin, inovator, dan pengambil kebijakan.

 

Menuju Indonesia Emas 2045, kita membutuhkan generasi yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga memiliki kemampuan berpikir kritis, problem solving, kolaborasi, dan kreativitas. Kemampuan-kemampuan ini tidak bisa dibentuk secara instan oleh teknologi, apalagi jika teknologi digunakan hanya sebagai jalan pintas. Kita butuh sistem pendidikan yang menanamkan rasa ingin tahu, kemampuan belajar mandiri, dan ketahanan dalam menghadapi tantangan. AI bisa membantu membentuk itu, asalkan digunakan dengan bijak.

 

Jika kita gagal menyeimbangkan pemanfaatan teknologi dengan penguatan karakter dan pemahaman dasar, maka kita akan kehilangan momentum besar. Generasi emas bisa berubah menjadi generasi tumpul yang cepat dalam mencari jawaban, tapi lambat dalam berpikir. Dan jika itu yang terjadi, maka mimpi Indonesia Emas hanya tinggal mimpi belaka.

 

Sebagai bangsa, kita tidak boleh hanya bangga dengan teknologi yang kita miliki, tapi harus berani menanyakan apakah generasi mudanya benar-benar bisa menggunakannya untuk berpikir, mencipta, dan menyelesaikan masalah. Kita butuh pendidikan yang bukan hanya menghasilkan nilai tinggi di atas kertas, tapi juga kualitas manusia yang tinggi di dunia nyata.

 

Akhirnya, kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah kita sedang mencetak generasi yang bisa menggunakan teknologi untuk berpikir, atau generasi yang berhenti berpikir karena terlalu mengandalkan teknologi? Jawabannya akan menentukan bukan hanya arah pendidikan kita, tapi juga masa depan bangsa ini.[]

 

Penulis :

Bulan Shilviana Putri Nugroho, Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

×
Berita Terbaru Update