Notification

×

Iklan

Iklan

Kelas Tanpa Batas Ketika Gawai jadi Guru Kedua?

Jumat, 09 Mei 2025 | Mei 09, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-09T01:58:32Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Lexa Silvy Lestary (Foto/IST)


Perkembangan teknologi telah membawa perubahan besar dalam hamper seuruh aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Jika dulu proses belajar mengajar terbatas pada ruang kelas dengan papan tulis dan buku cetak, kini kegiatan tersebut dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Hal ini dimungkinkan oleh hadirnya berbagai perangkat digital seperti smartphone, tablet, dan laptop yang terhubung dengan internet.
Gawai istilah umum untuk alat elektronik portable kini bukan hanya alat komunikasi melainkan telah bertransformasi menjadi media pembelajaran. Banyak siswa dan guru yang memanfaatkan gawai dalam proses belajar, hal itu bisa menimbulkan pertanyaan penting: apakah gawai bisa bisa menjadi “guru kedua” dalam pendidikan modern?.

 

Pada dekade lalu, pembelajaran sebagian besar dilakukan dengan metode ceramah di dalam ruang kelas, berfokus pada papan tulis dan buku paket. guru menjadi satu-satunya sumber informasi, dan siswa adalah penerima pasif. Kini, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi digital, paradigma ini mulai bergeser. Lahirnya konsep kelas tanpa batas mengubah cara siswa berinteraksi dengan ilmu. mereka tak lagi harus duduk berjam-jam di dalam kelas untuk belajar. cukup membuka aplikasi pembelajaran di gawai, berbagai topik bisa diakses secara langsung.

 

Platform seperti ruang guru, zenius, duolingo, bahkan tiktok edukatif telah menjadikan pembelajaran terasa lebih ringan dan menyenangkan tidak hanya materi pelajaran formal, anak-anak muda kini juga belajar keterampilan seperti desain grafis, bahasa asing, bahkan public speaking melalui konten video pendek di media sosial. di sinilah gawai menunjukkan potensinya sebagai “guru kedua” penyedia informasi, pelatih pribadi, sekaligus motivator digital.

 

Gawai memang membuka peluang besar dalam dunia pendidikan. salah satu kelebihannya adalah fleksibilitas. siswa bisa mengulang materi pelajaran kapan saja, menyesuaikan waktu belajar dengan kondisi masing-masing. Anak yang pemalu di kelas bisa merasa lebih nyaman belajar sendiri melalui video atau kuis interaktif. Dengan teknologi seperti kecerdasan buatan, beberapa aplikasi bahkan bisa menyesuaikan materi dengan kemampuan pengguna, memberikan latihan yang tepat dan umpan balik langsung.

 

Tidak hanya siswa, guru juga terbantu. mereka dapat memanfaatkan video, animasi, dan aplikasi interaktif untuk memperkaya metode mengajar. Diskusi daring lewat forum atau grup belajar di whatsapp memperluas ruang pembelajaran di luar jam sekolah hal ini menciptakan pengalaman belajar yang lebih hidup dan dinamis namun, kehadiran gawai sebagai guru kedua tak selalu berjalan mulus. Di sisi lain, distraksi digital menjadi ancaman nyata alih-alih membuka materi pelajaran, banyak siswa tergoda membuka aplikasi lain seperti instagram, game online, atau tiktok yang bisa menyita waktu berjam-jam. Gawai yang seharusnya menjadi alat bantu belajar justru bisa menjadi pengalih perhatian, jika tidak dikendalikan dengan baik.

 

Selain distraksi, muncul pula persoalan kesenjangan digital (digital divide), tidak semua siswa memiliki akses yang sama terhadap teknologi di daerah perkotaan mungkin sudah lazim anak-anak membawa ponsel pintar ke sekolah tapi di pelosok negeri, masih banyak siswa yang harus berbagi satu ponsel dengan seluruh anggota keluarga, bahkan ada yang harus berjalan jauh hanya untuk mencari sinyal. Situasi ini menciptakan ketimpangan dalam akses terhadap pendidikan digital. mereka yang memiliki gawai dan internet stabil tentu memiliki keuntungan lebih besar untuk belajar, sementara yang tidak, harus berjuang dua kali lebih keras. gawai bisa menjadi guru kedua, tapi hanya bagi mereka yang mampu menjangkaunya.

 

Di sisi lain, muncul juga kecemasan orangtua dan pendidik tentang bagaimana teknologi memengaruhi perkembangan anak, terlalu lama di depan layar bisa berdampak pada kesehatan mata, postur tubuh, hingga kemampuan bersosialisasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa anak-anak yang terlalu banyak terpapar layar cenderung mengalami penurunan fokus dan peningkatan kecemasan sosial.

 

Di tengah derasnya arus digitalisasi ini, penting untuk menegaskan bahwa guru tetap tak tergantikan. Gawai mungkin dapat mengajarkan rumus matematika atau menjelaskan peristiwa sejarah, namun hanya guru yang mampu menyentuh sisi emosional siswa sedangkan guru adalah pendidik, pembimbing, sekaligus figur yang menanamkan nilai-nilai kehidupan.

 

Peran guru tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga membentuk karakter, guru mampu merespons dinamika kelas, memahami keunikan masing-masing siswa, dan menumbuhkan semangat belajar melalui interaksi yang manusiawi. Bahkan dalam era digital pun, kehadiran guru justru semakin penting untuk menjadi penyaring informasi, pendamping dalam menggunakan teknologi secara bijak, dan penjaga arah pembelajaran agar tidak tersesat dalam lautan data yang tak berujung. Dengan kata lain teknologi dan guru seharusnya bukan saling menggantikan, tetapi saling melengkapi. Gawai menjadi alat bantu, sementara guru menjadi pengarah utama keduanya bekerja bersama menciptakan sistem pendidikan yang lebih adaptif, kreatif, dan menyentuh hati.

 

Agar gawai benar-benar bisa berperan positif sebagai guru kedua maka diperlukan usaha kolektif dari berbagai pihak literasi digital harus ditanamkan sejak dini, agar siswa mampu membedakan informasi yang valid dan hoaks, memahami etika digital, serta mengelola waktu layar dengan bijak. Peran orangtua juga sangat penting dalam membimbing anak menggunakan gawai secara sehat menjadi teman belajar, bukan hanya pengawas. Di sisi lain pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memastikan infrastruktur yang merata akses internet dan ketersediaan perangkat harus diperluas, terutama di daerah tertinggal. Pelatihan untuk guru agar melek teknologi juga mutlak dibutuhkan. hanya dengan kolaborasi ini, gawai bisa benar-benar menjadi jembatan menuju pendidikan berkualitas, bukan penghalang.

 

“Kelas tanpa batas” bukanlah konsep utopis yang mustahil, ia adalah kenyataan yang sedang kita jalani, dan akan terus berkembang di masa depan. Gawai sebagai guru kedua adalah peluang besar, namun sekaligus tantangan yang menuntut kebijaksanaan, teknologi memberikan kemudahan, tapi tidak menggantikan sentuhan manusia yang menginspirasi.

 

dalam setiap layar gawai, tersimpan berjuta kemungkinan. tapi di balik setiap keberhasilan siswa, hampir selalu ada guru yang membimbing, orangtua yang mendampingi, dan sistem yang mendukung. jadi, apakah gawai bisa menjadi guru kedua? bisa. tapi ia tidak akan pernah menjadi yang pertama. karena pendidikan sejatinya adalah tentang hubungan manusia—antara yang memberi ilmu, yang menerima, dan yang berjalan bersama menuju cahaya pengetahuan.[]

 

Penulis :

Lexa Silvy Lestary, mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

×
Berita Terbaru Update