Notification

×

Iklan

Iklan

Di Balik Seragam, Ada Ketimpangan

Kamis, 08 Mei 2025 | Mei 08, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-08T07:57:30Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Nadia Dewi Astaria (Foto/IST)


Setiap hari, anak sekolah akan memakai seragam sebagai tanda identitasnya. Di balik keseragaman, bagaimanapun, tersimpan banyak kisah tentang mimpi, ketidakadilan, dan perjuangan yang tidak selalu adil. Bahkan, di dalam satu ruang kelas, bisa jadi satu siswa mengerjakan PR dengan bantuan internet di rumah, sementara yang lain menyalin jawaban dari teman karena tak punya pulsa kuota sejak seminggu lalu.

 

Istilah teknis "Merdeka Belajar" telah dihormati di seluruh negeri, kurikulum telah berubah, dan teknologi telah dimasukkan ke dalam pembelajaran. Namun, siapa yang benar-benar memiliki kemerdekaan? Sistem pendidikan kita masih mengalami anomali sistemik yang tidak dapat dipungkiri. Meskipun seragam membuat siswa terlihat identik, masa depan mereka ditentukan oleh banyak hal, termasuk keadaan keuangan, akses ke fasilitas pendidikan, dan bahkan perhatian guru. Tidak ada satu pun sekolah yang memulai dengan cara yang sama, tetapi sistem pendidikan di negara kita tampaknya menyamaratakan mulai dari awal.

 

Siswa di beberapa sekolah besar dapat menikmati banyak fasilitas sekolah, pilihan ekstrakurikuler yang luas, dan bimbingan luar kelas. Namun, bandingkan dengan siswa yang tinggal di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), yang memiliki fasilitas pendidikan yang terbatas, harus berjalan kaki jauh untuk pergi ke sekolah, dan guru berganti-ganti karena kekurangan guru.

 

Kesetaraan tidak hanya menyediakan pakaian yang identik, tetapi juga membangun sistem yang memungkinkan orang untuk memahami dan mengakui perbedaan. Keadilan dalam pendidikan bukan berarti semua diberi perlakuan yang sama, melainkan semua diberi peluang yang adil untuk berkembang.Lebih menyedihkan lagi, kadang-kadang ketimpangan itu tidak hanya terjadi antardaerah, tapi juga antarsiswa dalam satu sekolah. Banyak siswa membawa beban di rumah dan tekanan finansial. Ada yang harus membantu orang tua mereka berjualan setelah pulang sekolah, atau bahkan mengurus adik-adik karena orang tua mereka bekerja sepanjang hari. Anak-anak lain di ruang belajar pribadi, bagaimanapun, dapat belajar dengan tenang dan tanpa tekanan.

 

Kurikulum merdeka, yang secara teoritis mengutamakan fleksibilitas dan variasi dalam pembelajaran, sebenarnya merupakan kemajuan besar. Namun demikian, ada beberapa kendala yang signifikan untuk menerapkannya di lapangan. Menurut laporan Kemdikbud tahun 2024, kebanyakan guru kesulitan memahami dan menerapkan pendekatan pembelajaran berdiferensiasi, terutama di kelas dengan lebih dari 35 siswa. Jika waktu, energi, dan perhatian mereka sendiri terbatas, bagaimana seorang pendidik dapat memahami kebutuhan unik siswanya?

 

Belum lagi masalah pelatihan guru yang belum merata. Guru di wilayah terpencil seringkali tidak menerima pelatihan Kurikulum Merdeka yang memadai. Bahkan akses internet dan perangkat seperti kuota dan sinyal pun masih menjadi kendala. Dari sinilah kita dapat melihat dengan jelas ketimpangan itu. Banyak guru masih menggunakan kapur untuk menulis materi di papan tulis di dunia yang katanya sudah digital. Ini bukan karena mereka tidak ingin berubah; itu adalah akibat dari ketidakmampuan mereka untuk bergerak maju.

 

Andi Agustang (2021) menyatakan bahwa ada sejumlah faktor yang berkontribusi pada kualitas pendidikan yang rendah di Indonesia. Ini termasuk kualitas guru yang buruk, kesejahteraan guru yang buruk, kurangnya kesempatan untuk pemerataan pendidikan, pendidikan yang tidak memenuhi kebutuhan, dan tingginya biaya pendidikan. Ini menunjukkan bahwa kekurangan dana dan fasilitas bukan satu-satunya penyebab ketimpangan pendidikan di Indonesia. Tidak sedikit institusi pendidikan yang memiliki bangunan yang tidak layak dan berpotensi membahayakan anggota masyarakat yang menggunakannya. Kadang-kadang, dana pemerintah pun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan di wilayah tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dan lembaga yang berwenang harus campur tangan untuk mengalokasikan dana tersebut untuk mencapai pemerataan pendidikan.

 

Kesetaraan pendidikan memerlukan pertimbangan ulang dari pemerintah dan masyarakat. Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) harus lebih difokuskan untuk mengurangi perbedaan sumber daya dan infrastruktur di antara wilayah. Bantuan pendidikan pemerintah seperti KIP dan PIP harus diperluas bukan hanya untuk siswa di perguruan tinggi tetapi juga untuk siswa di SD dan SMP. Selain itu, kelompok masyarakat yang kurang mampu harus menerima bantuan pendidikan pemerintah seperti KIP dan PIP. Mayoritas pengurus desa setempat memasukkan nama anak-anak yang sebenarnya mampu dan memanipulasi mereka untuk mendapatkan pendidikan gratis, sehingga warga yang kurang mampu tidak mendapatkan hak yang seharusnya mereka miliki.

 

Peran sekolah sangat penting dalam menyediakan lingkungan yang aman bagi setiap siswa. Sekolah harus bisa menjadi tempat yang menguatkan, bukan menambah beban. Pendidikan karakter yang diutamakan seharusnya mencakup disiplin dan kepedulian. Guru harus dilatih bukan hanya sebagai pendidik tetapi juga sebagai pemerhati sosial. Selain itu, kesejahteraan guru harus diperhatikan, terutama guru honorer di berbagai daerah. Sebaliknya, masyarakat juga memainkan peran penting. Pemerintah atau sekolah tidak dapat menanggung semua tanggung jawab.

 

Kita sebagai masyarakat harus mulai sadar akan pentingnya pendidikan bagi generasi penerus bangsa. Membangun ekosistem belajar yang lebih adil adalah tempat masyarakat dapat memulai. Komunitas belajar, relawan pengajar, dan donasi buku adalah contoh kecil yang bisa berdampak besar. Di era komputer dan internet saat ini, membagikan pendidikan melalui internet juga merupakan tindakan yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Pemerintah, terutama orang tua, harus menyediakan lowongan pekerjaan agar anak-anak tetap dapat sekolah dan ikut serta membangun Indonesia emas 2045.

 

Pada akhirnya, seragam hanya menyamarkan perbedaan di permukaan Fakta bahwa tidak semua siswa memiliki peluang yang sama untuk sukses tidak dapat dihindari. Pendidikan seharusnya menjadi alat memajukan bangsa, bukan membuat anak merasakan ketimpangan sosial. Jika sistem yang tidak adil menyebabkan seorang anak gagal mencapai impian mereka, kita semua turut gagal sebagai bangsa. Kita bisa mulai dengan menyadari bahwa kesetaraan adalah tentang memanusiakan, bukan menyamakan. tentang memahami setiap anak dengan kondisi dan tantangan mereka, dan kemudian menciptakan lingkungan yang memberi mereka harapan.[]

 

Penulis :

Nadia Dewi Astaria, Mahasiswa Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 

×
Berita Terbaru Update