![]() |
Anjaz Saputra (Foto/IST) |
Dalam dunia yang berbeda, dua sosok memilih jalan sunyi demi melindungi apa yang mereka cintai. Uchiha Itachi, seorang anak jenius dari klan terkuat di Desa Konoha, tumbuh di tengah reruntuhan perang. Ia menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana konflik melahirkan dendam yang tak berkesudahan.
Ketika klan Uchiha merencanakan kudeta terhadap desa, Itachi dihadapkan pada pilihan paling kelam: memihak darah dagingnya sendiri atau menyelamatkan ribuan nyawa tak bersalah. Ia memilih menjadi pedang yang menusuk keluarganya, menjadi bayangan yang dibenci agar desa tetap damai.
Di tanah Jawa yang dijajah, Pangeran Diponegoro menunggang kuda menyusuri sawah-sawah yang diinjak sepatu penjajah. Ia bukan pangeran yang haus kekuasaan, melainkan sosok yang membela nilai adat dan kehormatan leluhur. Saat tanah keramat leluhurnya akan dilelang oleh pemerintah kolonial, ia melihat ini bukan sekadar pelanggaran pribadi, tapi juga simbol penindasan terhadap bangsanya.
Maka ia bangkit memimpin Perang Jawa, konflik besar yang mengguncang pondasi kekuasaan Belanda selama lima tahun. Diponegoro tahu, perangnya bukan untuk menang secara fisik, tapi untuk membangkitkan harga diri bangsa.
Keduanya menunjukkan bentuk pengorbanan yang luar biasa, dalam sunyi dan kesendirian. Itachi rela hidup dibenci oleh adiknya sendiri, Sasuke, demi menjaga masa depan sang adik dan dunia ninja. Ia menerima label sebagai pengkhianat agar darah tak terus tumpah. Di sisi lain, Diponegoro tahu ia akan dikalahkan, namun ia tidak gentar. Bahkan ketika ditipu dalam perundingan dan dibuang ke pengasingan di Makassar hingga akhir hayatnya, semangatnya tetap menyala dalam ingatan bangsanya.
Itachi dan Diponegoro bukanlah pahlawan yang dielu-elukan saat mereka hidup. Mereka adalah puisi tentang cinta yang diam. Cinta yang tidak ditunjukkan dalam kata manis, tetapi dalam luka yang mereka genggam dengan tegar. Mereka mengajarkan bahwa dalam dunia ini, terkadang cinta terbesar bukanlah yang terlihat di panggung kemenangan, melainkan yang tersembunyi dalam bisu pengorbanan.
Kisah keduanya menyampaikan satu pelajaran penting , kadang pahlawan sejati adalah mereka yang rela disalahpahami, menderita, bahkan dikorbankan, selama yang mereka lindungi tetap hidup. Pengkhianatan di mata manusia bisa menjadi pengabdian di mata sejarah.
Meskipun satu berasal dari lembaran fiksi Jepang, dan satu lagi dari halaman sejarah Indonesia, keduanya bertemu dalam nilai yang sama , pengorbanan tanpa pamrih. Dunia mungkin tak mengerti jalan yang mereka pilih, tetapi waktu akan terus membisikkan nama mereka sebagai jiwa-jiwa yang memilih derita, agar yang lain dapat bernapas dalam damai.
Dua nama, dua dunia, satu jiwa. Mereka adalah saksi bahwa cinta sejati tak selalu tampil dalam pelukan terkadang, ia hidup dalam pengasingan, luka, dan keheningan.[]
Pengirim :
Anjaz Saputra, Mahasiswa Ekonomi Syariah Universitas Pamulang