Notification

×

Iklan

Iklan

Fondasi yang Rapuh: Krisis Literasi dan Jalan Panjang Pendidikan Indonesia

Kamis, 15 Mei 2025 | Mei 15, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-15T12:52:39Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Sumber Foto : Kompas

Beberapa waktu lalu, muncul berita menghebohkan: ratusan siswa SMP di Buleleng, Bali, tidak bisa membaca atau menulis. Ini bukan sekadar kasus lokal, melainkan cerminan krisis pendidikan dasar yang serius. Laporan internasional seperti PISA memang penting, tapi kita tidak perlu data serumit itu untuk menyadari bahwa ada masalah besar di depan mata. Bahkan, studi sebelumnya menyebutkan bahwa kemampuan membaca sarjana di Jakarta lebih rendah dari siswa SMP di Denmark.

 

Masalah ini bukan cuma soal beberapa anak yang tertinggal. Ini gejala sistem yang gagal memberikan fondasi dasar yang merata. Kita tidak bisa terus berharap pada segelintir orang jenius di tengah masyarakat yang secara umum tertinggal kemampuan dasarnya. Dalam negara dengan 270 juta penduduk, kita butuh kualitas rata-rata yang kuat, bukan hanya pengecualian luar biasa.

 

Yang bertanggung jawab bukanlah anak-anak itu, tapi kita, orang dewasa—terutama negara sebagai pengelola pendidikan. Namun, publik juga harus memahami duduk perkaranya. Sayangnya, diskusi soal pendidikan sering terjebak pada perbandingan sistem luar seperti Finlandia atau Jepang. Padahal, membandingkan sistem tanpa melihat konteks ibarat baru bangun pondasi tapi ingin langsung pasang genteng seperti rumah tetangga yang sudah dua lantai.

 

Penelitian yang dikutip Zenius membagi sistem pendidikan menjadi lima level. Indonesia, dengan banyaknya anak yang belum bisa baca dan tulis di usia SMP, jelas masih di level satu. Kita perlu fokus dulu agar bisa naik ke level dua—bukan meniru metode negara level empat atau lima. Prioritas utama kita adalah memperkuat kemampuan dasar secara merata.

 

Ada dua pilar penting untuk itu: guru dan evaluasi. Dari sisi guru, tentu kesejahteraan penting, tapi lebih penting lagi kompetensi mengajarnya. Di sinilah teknologi bisa membantu. Kolaborasi guru dan platform belajar digital seperti Zenius, Ruangguru, dan lainnya bisa menyediakan konten bermutu dan metode belajar yang efektif.

 

Namun, semua itu sia-sia tanpa dukungan infrastruktur. Maka, negara harus hadir membangun akses internet dan perangkat belajar. BUMN seperti Telkom punya sumber daya untuk menjembatani ketimpangan digital ini. Jika dilakukan dengan serius, sistem pembelajaran digital bisa menjangkau anak-anak di seluruh pelosok negeri.

 

Pilar kedua adalah sistem evaluasi yang objektif dan ketat. Kita butuh asesmen nasional yang benar-benar mengukur apakah siswa sudah menguasai kemampuan dasar, bukan sekadar naik kelas asal-asalan. Evaluasi ini juga harus dilakukan oleh lembaga independen, bukan oleh pihak yang punya konflik kepentingan.

 

Hasil evaluasi harus jadi dasar insentif dan kebijakan. Insentif diberikan bukan pada hasil akhir saja, tapi pada loncatan kemajuan. Sekolah yang berhasil meningkatkan kemampuan murid dari yang semula rendah harus lebih dihargai daripada yang hanya mempertahankan murid pintar.

 

Dan yang tidak kalah penting: semuanya harus transparan. Data pendidikan harus dibuka ke publik agar masyarakat tahu ke mana dana pendidikan—yang mencapai 20% dari APBN—dialirkan, dan apa dampaknya. Karena pendidikan publik bukan soal mencetak segelintir bintang, tapi memastikan seluruh warga negara punya bekal untuk berpikir, bekerja, dan hidup bermasyarakat.

 

Tanpa kemampuan dasar yang kuat, semua inovasi pendidikan tidak akan berdampak. Maka, mari kita mulai dari pondasi. Bangun dari dasar. Karena dari situlah masa depan dimulai.[]

 

Penulis :

Rizky Agustino, mahasiswa Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 

×
Berita Terbaru Update