
Sri Pangestu Fadilah (Foto/IST)
Di balik wajah sistem pendidikan Indonesia yang terus berbenah, terdapat sekelompok pahlawan yang masih berjuang dalam senyap, guru honorer. Mereka adalah tulang punggung pendidikan di berbagai pelosok negeri, dari kota besar hingga desa terpencil. Dengan semangat mengabdi yang luar biasa, para guru honorer terus mendidik anak bangsa dengan cinta dan dedikasi. Namun, di balik pengabdian tersebut, mereka harus menelan kenyataan pahit, dibayar dengan luka, ketidakpastian, dan keterbatasan hak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada semester ganjil tahun ajaran 2024/2025, jumlah guru di Indonesia mencapai sekitar 3,39 juta orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 2,06 juta atau 56 persennya adalah guru honorer. Mereka tersebar di seluruh jenjang pendidikan, namun mayoritas berada di tingkat SD dan SMP, terutama di daerah-daerah yang kekurangan tenaga pendidik tetap. Sayangnya, status mereka sebagai guru non-Aparatur Sipil Negara (non-ASN) membuat hak-hak mereka kerap terabaikan.
Masalah paling krusial yang dihadapi oleh guru honorer adalah soal kesejahteraan. Gaji yang diterima sangat jauh dari kata layak. Sebagian besar guru honorer hanya menerima upah antara Rp250.000 hingga Rp1.200.000 per bulan, tergantung pada kebijakan daerah atau sekolah tempat mereka mengabdi. Angka ini tentu saja tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup layak, terlebih bagi mereka yang telah berkeluarga. Sering kali, guru honorer harus mencari pekerjaan tambahan seperti berdagang, menjadi ojek online, hingga buruh lepas demi bertahan hidup.
Yang lebih menyakitkan, beban kerja guru honorer tak berbeda dengan guru PNS. Mereka mengajar sesuai jumlah jam yang ditentukan, menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), melaporkan administrasi melalui sistem digital, menghadiri rapat, hingga terlibat dalam kegiatan sekolah di luar jam kerja. Namun, di mata negara dan birokrasi, kontribusi mereka kerap tak diakui secara formal. Ironi ini menjadi luka mendalam yang terus menganga dalam sistem pendidikan kita.
Di sisi lain, tekanan psikologis juga menjadi bayang-bayang kehidupan guru honorer. Ketidakjelasan status, kekhawatiran akan pemutusan kontrak, hingga kecemasan mengenai masa depan membuat sebagian dari mereka berada dalam situasi mental yang tak stabil. Kondisi ini tentu berdampak terhadap kualitas pengajaran. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengajar dengan tenang jika ia sendiri dihantui oleh ketidakpastian hidup?
Kebijakan pemerintah terkait guru honorer pun masih menjadi polemik. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 8 Tahun 2025 yang melarang pembayaran gaji guru honorer dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sebagai gantinya, pemerintah menjanjikan bantuan langsung sebesar Rp300.000 per bulan bagi guru non-ASN yang belum bersertifikasi. Namun, kebijakan ini justru menimbulkan kekhawatiran karena banyak sekolah swasta dan negeri selama ini bergantung pada dana BOS untuk menggaji guru honorer. Tanpa alternatif yang memadai, nasib ribuan guru honorer di ambang ketidakjelasan.
Lebih lanjut, Presiden Prabowo Subianto dalam salah satu pidatonya menyatakan bahwa pemerintah tengah menyiapkan skema bantuan dana langsung bagi guru non-ASN. Meskipun wacana ini terdengar menjanjikan, hingga kini belum ada kejelasan teknis terkait implementasinya. Banyak guru honorer yang telah mengabdi puluhan tahun masih menggantungkan harapan pada janji-janji kebijakan yang kerap tak kunjung terealisasi. Ketika negara tak memberikan perlindungan dan jaminan, rasa frustrasi tak bisa dihindari.
Perlu diakui bahwa program rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) menjadi salah satu terobosan yang patut diapresiasi. Namun, mekanisme seleksi yang kompetitif dan terbatasnya formasi membuat tidak semua guru honorer dapat lolos. Akibatnya, banyak guru senior yang telah mengabdi lebih dari 10 tahun harus tersisih karena kalah dalam tes dengan guru yang lebih muda atau baru lulus kuliah. Ini menjadi ironi tersendiri, di mana pengalaman dan loyalitas tidak cukup menjadi jaminan untuk mendapatkan pengakuan.
Dalam konteks yang lebih luas, kondisi guru honorer mencerminkan wajah pendidikan kita yang masih timpang. Bagaimana mungkin kita berharap pada kualitas pendidikan yang merata jika para pendidiknya sendiri hidup dalam keterbatasan? Bagaimana kita bicara tentang pendidikan karakter ketika guru tak mendapatkan perlakuan yang mencerminkan nilai keadilan dan penghargaan?
Sudah saatnya negara memberikan perhatian serius terhadap nasib guru honorer. Pemerintah perlu melakukan reformasi menyeluruh dalam manajemen tenaga pendidik. Gaji guru honorer harus disesuaikan dengan upah minimum regional, dan status mereka harus diperjelas agar memiliki kepastian hukum dan perlindungan sosial. Selain itu, akses terhadap sertifikasi dan pendidikan profesi guru (PPG) harus diperluas dan dipermudah, bukan justru menjadi beban administratif yang mempersulit pengabdian mereka.
Tak kalah penting, masyarakat juga harus membuka mata dan mulai menghargai keberadaan guru honorer. Sudah terlalu lama mereka dipandang sebagai “kelas dua” dalam dunia pendidikan. Padahal, mereka adalah pejuang garis depan yang menjaga bara api pendidikan tetap menyala, terutama di daerah-daerah yang terabaikan. Mengabaikan nasib mereka sama saja dengan mencederai masa depan pendidikan bangsa.
Guru honorer memang bukan pahlawan yang sering disorot media, namun mereka adalah tiang penyangga pendidikan yang sebenarnya. Mereka mendidik dengan cinta, mengabdi dengan setia, meski dibayar dengan luka. Kita tak bisa lagi menutup mata atas realitas ini. Mengangkat harkat dan martabat guru honorer bukan semata soal keadilan, tetapi juga tentang kesungguhan kita dalam membangun bangsa yang beradab melalui pendidikan yang manusiawi.[]
Penulis :
Sri Pangestu Fadilah, Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

