Annisa Fikri Adiibah (Foto/IST) |
Pendidikan seharusnya menjadi sarana untuk memanusiakan manusia, bukan sekadar alat untuk mencetak angka di atas kertas. Namun sayangnya, realitas pendidikan kita hari ini masih jauh dari harapan tersebut. Proses belajar-mengajar di banyak sekolah masih sangat terfokus pada pencapaian akademik semata. Nilai, peringkat, dan kelulusan menjadi tujuan utama, sementara pemahaman mendalam, karakter, dan keterampilan hidup sering kali terabaikan.
Akibatnya, siswa banyak yang terjebak dalam rutinitas belajar yang kaku. Mereka belajar bukan karena ingin tahu atau tertarik, tetapi karena terpaksa. Pelajaran hanya menjadi beban, bukan pengalaman yang menyenangkan dan membangun. Sistem evaluasi pun masih berpusat pada ujian tulis dan hafalan, yang sering kali tidak mencerminkan kemampuan sesungguhnya dari siswa.
Kondisi ini diperburuk oleh adanya kesenjangan akses dan kualitas pendidikan, terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Banyak siswa di daerah terpencil yang tidak mendapatkan fasilitas layak, tidak memiliki guru berkualitas, dan bahkan tidak menikmati akses internet yang memadai. Akibatnya, pendidikan menjadi tidak merata, dan kesempatan untuk mengalami pendidikan yang bermakna menjadi hak istimewa, bukan hak semua orang.
Padahal, pendidikan yang bermakna bukan hanya tentang mengisi kepala siswa dengan informasi, tetapi tentang bagaimana informasi itu dipahami, diterapkan, dan memberikan pengaruh nyata dalam kehidupan mereka. Pendidikan yang bermakna adalah pendidikan yang membentuk karakter, membangun pemikiran yang kritis, kreatif, serta mendorong siswa untuk aktif mencari solusi dari permasalahan di sekitarnya.
Dalam konteks ini, peran guru menjadi sangat penting. Guru bukan hanya pengajar, tetapi pembimbing dan fasilitator yang mampu menciptakan ruang belajar yang terbuka dan bermakna. Guru harus mampu membangun kedekatan emosional dengan siswa, mengenali potensi unik setiap individu, serta mendorong mereka untuk menjadi pembelajar sejati. Guru yang baik bukan hanya mengajar pelajaran, tetapi mengajarkan cara berpikir, cara bersikap, dan cara menjadi manusia yang peduli dan tangguh.
Selain itu, metode pembelajaran juga perlu diubah. Sudah saatnya sekolah berani keluar dari pola konvensional dan menerapkan pendekatan yang lebih kontekstual dan aktif, seperti project-based learning, inquiry learning, atau problem-based learning. Metode ini membuat siswa terlibat langsung dalam pembelajaran, belajar dari pengalaman, bekerja sama dengan teman, dan memecahkan masalah nyata. Dengan begitu, siswa tidak hanya memahami materi, tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir, komunikasi, dan kepemimpinan.
Pendidikan yang bermakna juga membutuhkan dukungan dari semua pihak, tidak hanya guru dan sekolah, tetapi juga orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Orang tua harus dilibatkan dalam proses pendidikan, bukan hanya sebagai pengawas nilai, tetapi sebagai mitra yang turut membentuk karakter dan semangat belajar anak. Pemerintah pun harus berani mengambil langkah konkret untuk memperbaiki sistem pendidikan, mulai dari pelatihan guru, kurikulum yang lebih fleksibel, hingga pemerataan akses dan fasilitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia.
Pendidikan yang bermakna bukan utopia, tetapi sesuatu yang sangat mungkin diwujudkan jika ada kemauan dan kerja bersama. Ini bukan hanya soal metode, tetapi soal visi: apa yang sebenarnya ingin kita capai dari proses pendidikan? Apakah hanya mencetak lulusan yang pandai mengerjakan soal, atau menciptakan manusia yang berpikir, peduli, dan mampu menghadapi tantangan hidup?
Sudah saatnya kita berhenti mengejar angka, dan mulai mengejar makna. Jika pendidikan mampu menjadikan siswa merasa dihargai, didengar, dan ditantang untuk berpikir dan bertindak, maka kita telah meletakkan dasar yang kuat bagi masa depan bangsa. Pendidikan yang bermakna bukan hanya mencerdaskan, tetapi juga memanusiakan. Dan hanya melalui pendidikan semacam inilah kita dapat membangun generasi masa depan yang cerdas, beretika, dan siap menghadapi dunia yang terus berubah.[]
Penulis :
Annisa Fikri Adiibah, mahasiswi Prodi Pendidikan Kimia Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta