Notification

×

Iklan

Iklan

Menggali Makna Gunungan Megono dan Hasil Bumi: Sebuah Tradisi dalam Kacamata Sains dan Agama

Senin, 12 Mei 2025 | Mei 12, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-12T06:43:02Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Foto : Harviyan Perdana Putra/Antara Foto

Tradisi gunungan megono dan hasil bumi merupakan salah satu bentuk budaya masyarakat Kabupaten Pekalongan yang masih dilestarikan hingga saat ini. Tradisi ini diadakan setiap satu tahun sekali, tepatnya tujuh hari setelah hari raya idul fitri atau pada bulan Syawal. Waktu pelaksanaan yang bertepatan dengan bulan Syawal sebagai simbol dimulainya kehidupan baru pasca bulan Ramadhan yang memberi kesan spiritual karena bulan tersebut dikenal sebagai bulan peningkatan amal. Pada tahun 2025, tradisi ini dilaksanakan pada tanggal 7 April, dan biasanya dipusatkan di kawasan wisata Linggo Asri dengan dihadiri oleh warga Kabupaten Pekalongan dari 19 Kecamatan.


Linggo Asri dipilih sebagai lokasi tradisi ini, karena selain kawasan ini terletak di dataran tinggi dengan nuansa alamnya sejuk dan panorama alam yang indah, kawasan ini juga mendukung untuk kedekatan manusia dengan alam ciptaan tuhan. Linggo Asri ini merupakan desa yang dikenal sebagai simbol kerukunan antarumat beragama. Meski dihuni oleh beberapa pemeluk agama. serta memiliki masjid dan pura berdampingan, akan tetapi masyarakatnya hidup rukun dan saling menghormati. Salah satu perekat harmoni ini adalah tradisi gunungan megono dan hasil bumi. Tujuan utamanya adalah sebagai ungkapan rasa syukur atas melimpahnya hasil bumi yang telah diberikan, mencerminkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga alam, serta menjadi ajang silaturahmi.


Asal mula tradisi ini awalnya hanya berupa selamatan sederhana yang dilakukan warga di masjid. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini berkembang menjadi sebuah perayaan besar yang melibatkan banyak masyarakat. Tradisi ini mencerminkan kehidupan masyarakat agraris yang bergantung pada hasil bumi. Gunungan disusun dari padi, sayur, buah, hingga megono yang merupakan olahan khas dari nangka muda yang tidak hanya menjadi simbol kekayaan alam, tetapi juga simbol keberkahan.


Foto : facebook.com/Pekalongan info


Lebih dari sekedar tradisi budaya, gunungan megono menyimpan pesan mendalam yang menyatukan unsur keagamaan dan pengetahuan. Bentuk gunungan yang mengerucut melambangkan hubungan manusia dengan tuhan, sekaligus mencerminkan keteraturan dan keseimbangan dalam kehidupan.


Rangkaian prosesi upacara tradisi syawalan gunungan megono dan hasil bumi terdiri dari tiga bagian. Pertama, diadakan kirab gunungan megono dan hasil bumi, di mana salah satu gunungan dibawa dalam arak-arakan. Kedua, acara inti yaitu pemotongan gunungan sebagai simbol puncak perayaan. Ketiga, tradisi ditutup dengan masyarakat berebut gunungan megono dan berbagai hasil bumi.


Tradisi syawalan gunungan megono dan hasil bumi di Pekalongan tidak hanya sekadar perayaan budaya, tetapi juga mengandung nilai-nilai spiritual dan ilmiah yang menjadi bukti nyata bagaimana kearifan lokal mampu menjembatani dua hal yang sering dianggap berbeda, yaitu agama dan sains.


Dalam perspektif agama, tradisi ini menjadi wujud nyata dari nilai-nilai tauhid, yang mana penyusunan gunungan menjadi simbol syukur atas rezeki yang diberikan oleh tuhan. Melalui tradisi ini, masyarakat diingatkan bahwa segala hasil panen dan keberkahan hidup bersumber dari tuhan, sehingga harus disyukuri dan dibagikan kepada sesama.


Ajaran islam menjelaskan konsep hifz al-bi’ah atau menjaga lingkungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari maqashid syariah yang menuntut manusia untuk tidak hanya menikmati alam, tetapi juga melestarikannya. Tradisi ini juga mengandung nilai-nilai sedekah, doa bersama, dan harapan akan keberkahan yang semuanya mencerminkan wujud nyata dari keimanan masyarakat.


Dari sudut pandang sains, tradisi gunungan megono dan hasil bumi menyimpan berbagai makna yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Gunungan yang terbuat dari hasil bumi lokal seperti sayuran, buah-buahan, dan megono mencerminkan keberhasilan masyarakat dalam mengelola pertanian secara bijak dan berkelanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat mampu memanfaatkan lahan dan sumber daya alam tanpa merusaknya. 


Selain sebagai simbol kesejahteraan, bahan-bahan yang digunakan dalam gunungan juga memiliki nilai gizi yang tinggi sebagai penanda bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang pentingnya makanan sehat. Tidak hanya itu, dalam ilmu sosial tradisi ini mengandung nilai antropologis, karena lewat tradisi budaya seperti ini masyarakat dapat memperkuat rasa kebersamaan, dan menanamkan nilai kebudayaan kepada generasi penerus. Tradisi ini menjadi pengingat pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia, lingkungan, dan kehidupan sosial.


Yang menjadi keistimewaan dari tradisi ini adalah harmonisasi antara nilai-nilai keagamaan dan pemikiran ilmiah. Dalam satu sisi, penyusunan  gunungan merupakan wujud syukur kepada tuhan yang menekankan pentingnya berbagi dan menjaga nikmat yang diberikan. Di sisi lain, tradisi ini juga menunjukkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan dan mengelola hasil bumi. Hal ini menunjukkan adanya kepedulian terhadap lingkungan yang selaras dengan prinsip-prinsip ilmiah.


Foto : facebook.com/Pekalongan info


Dengan begitu, gunungan megono dan hasil bumi bukan hanya sekadar tradisi yang harus dilestarikan, tetapi juga menjadi ruang perjumpaan antara iman dan ilmu. Di tengah zaman modern yang sering menghadapkan agama dan sains sebagai dua hal yang bertentangan serta terdapat dikotomi, tradisi ini justru menjadi bukti bahwa keduanya bisa berjalan berdampingan dan saling melengkapi. Hal ini menjadi jembatan yang menghubungkan antara nilai spiritual dengan ilmiah menuju kehidupan masyarakat yang lebih seimbang dan bijak.[]


Penulis :

Anisa Dwi Amalia, mahasiswi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan 


×
Berita Terbaru Update