![]() |
Foto/Ilustrasi |
Di antara perbincangan panjang tentang iman dan ilmu, selalu ada satu pertanyaan yang muncul kembali dari zaman ke zaman: bisakah sains dan agama berjalan beriringan? Keduanya seolah berasal dari dunia yang berbeda. Agama berbicara tentang keimanan dan wahyu, sementara sains menjelajah lewat data dan observasi. Dalam pandangan sebagian orang, yang satu datang dari langit, yang satu dari laboratorium. Namun, apakah keduanya benar-benar harus bertentangan?
Padahal dalam Islam, semangat untuk mencari ilmu merupakan bagian penting dari ajaran agama. Al-Qur’an sendiri mengangkat ilmu sebagai sesuatu yang luhur. Dalam Surah Al-Mujadalah ayat 11, Allah berfirman, “Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” Ayat ini memberi isyarat bahwa iman dan ilmu adalah dua hal yang bisa saling mengangkat, bukan menjatuhkan.
Sejarah peradaban Islam menjadi bukti nyata harmoni itu. Pada masa keemasan Islam, para ilmuwan seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Biruni, dan Jabir Ibn Hayyan tidak hanya dikenal sebagai pelopor sains, tetapi juga sebagai ahli fikih, filsuf, bahkan sufi. Mereka tidak memisahkan antara ibadah dan penelitian. Menurut mereka meneliti ciptaan Tuhan sama pentingnya dengan membaca kitab suci. Ibnu Sina, misalnya, dalam karya monumentalnya Kitab al-Syifa’, menggabungkan pemikiran logika Aristoteles dengan pandangan metafisika Islam yang mengisyaratkan bahwa berpikir rasional adalah bagian dari spiritualitas.
Namun, di era modern ini, kita kerap terjebak dalam dikotomi. Sains diposisikan seolah netral nilai, sementara agama dicurigai sebagai dogma yang menghambat kemajuan. Akibatnya, generasi muda sering ragu dan bingung, apakah mungkin menjadi Muslim taat sekaligus ilmuwan terbuka? Apakah harus memilih antara mengaji atau meneliti?
Pertanyaan ini penting, terutama bagi mahasiswa Muslim yang berada di persimpangan dunia akademik dan spiritual. Padahal, jika kita mau jujur, ilmu pengetahuan dan agama justru bisa saling menguatkan. Agama memberi arah etis bagi penggunaan ilmu. Di sisi lain, sains memperkaya penghayatan kita terhadap keagungan ciptaan Tuhan. Dalam Surah Ali-Imran ayat 190-191, disebutkan bahwa orang-orang yang berakal adalah mereka yang “mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” Refleksi ilmiah, dalam ayat ini, justru menjadi bentuk ibadah.
Tidak hanya itu, penelitian terbaru dari Kusuma (2024) menunjukkan bahwa pendekatan integratif antara sains dan agama mampu memperkuat motivasi belajar mahasiswa Muslim. Ketika nilai-nilai agama diinternalisasi dalam proses pembelajaran sains, mahasiswa lebih memahami makna dari apa yang mereka pelajari, dan lebih bertanggung jawab terhadap dampaknya.
Bayangkan seorang peneliti lingkungan yang tidak hanya menghitung emisi karbon, tetapi juga memahami bahwa menjaga bumi adalah bagian dari amanah khalifah fil-ardh. Atau mahasiswa teknologi yang membangun aplikasi dengan niat membantu masyarakat, bukan hanya sekadar profit. Maka di titik inilah agama dan ilmu bertemu, bahwa keduanya mengarah pada kemaslahatan umat.
Kesadaran akan hubungan ini perlu terus dipupuk. Dunia hari ini menghadapi tantangan besar dan krisis iklim, ketidaksetaraan sosial, hingga kecerdasan buatan yang berkembang tanpa arah etis. Dalam situasi seperti ini, kita tidak hanya butuh orang pintar, tetapi juga orang yang tahu bagaimana menggunakan kepintarannya untuk kebaikan. Orang-orang yang tidak hanya fasih bicara data, tapi juga peka pada nilai dan nurani.
Sains dan agama bukanlah dua kutub yang tidak bisa bertemu. Yang satu memberi kita pengetahuan tentang cara kerja dunia, yang satu memberi kita alasan mengapa dunia ini penting. Ilmu tanpa agama bisa kehilangan arah. Agama tanpa ilmu bisa kehilangan daya gerak. Maka dari itu, mari kita jadi jembatan yang menyatukan keduanya. Karena masa depan peradaban, khususnya Islam, akan ditentukan oleh mereka yang tidak hanya berpikir logis, tapi juga hidup dengan hati yang tercerahkan.
Penulis :
Suci Mustika Sari, Mahasiswi Tadris Matematika, UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan