Notification

×

Iklan

Iklan

Menakar Ulang Arti Belajar

Jumat, 09 Mei 2025 | Mei 09, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-09T02:15:40Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Salma Nurarifa Syahrani (Foto/IST)


Jutaan siswa di Indonesia bangun setiap pagi dengan jadwal yang padat dan tekanan di kepala. Dari PR yang belum selesai, catatan yang harus diingat, hingga tugas kelompok yang belum tentu dikerjakan secara bersamaan. Sering kali, waktu tidur terpaksa dikorbankan, akhir pekan bukan lagi waktu istirahat, dan liburan terasa lebih seperti jeda panik sebelum kembali ke rutinitas yang melelahkan. Ini bukan masalah malas atau tidak ingin belajar. Ini soal sistem yang lupa bahwa yang sedang belajar adalah manusia, bukan mesin pencetak nilai.

 

Hari ini, banyak pelajar terutama dari generasi mengeluh kelelahan, kehilangan motivasi, bahkan mengalami burnout sejak usia sekolah. Ironisnya, meskipun kemajuan dalam bidang teknologi dan informasi telah terjadi, proses belajar masih menggunakan pendekatan konvensional, dengan ujian, tugas menumpuk, dan hafalan sebagai satu-satunya cara untuk mengukur kecerdasan.

 

Padahal, dunia sudah berubah. Tantangan yang dihadapi di luar institusi pendidikan jauh lebih kompleks daripada hanya mendapatkan nilai 100 di lembar ujian. Sistem pendidikan seolah terjebak dalam kepercayaan bahwa semakin keras belajar, semakin besar peluang sukses. Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu. Belajar yang terus-menerus dipaksakan tanpa memperhatikan keseimbangan mental dan emosional hanya akan menghasilkan generasi yang pintar di atas kertas, tapi lelah secara batin.

 

Karena itu, kita perlu menyadari bahwa belajar memang penting, bahkan wajib. Tapi prosesnya harus dilakukan dengan cara yang sehat cara yang menghargai waktu istirahat, memberi ruang untuk gagal, dan mendorong rasa ingin tahu, bukan rasa takut. Belajar harus kembali menjadi proses yang membangun, bukan yang menghancurkan. Sistem pendidikan di Indonesia masih menempatkan beban akademik sebagai tolak ukur utama keberhasilan siswa.

 

Siswa dapat menerima lebih dari sepuluh mata pelajaran dengan tugas dari masing-masing guru dalam satu minggu. Ini termasuk ulangan harian, ujian tengah semester, dan ujian akhir, yang masing-masing menuntut nilai yang tinggi. Seringkali, siswa dipaksa untuk belajar hingga larut malam hanya untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang banyak. Karena tuntutan akademik yang terlalu padat dan tidak masuk akal, bukan karena mereka tidak dapat mengatur waktu.

 

Selain itu, sistem yang terlalu menekankan nilai menghambat kreativitas Siswa tidak diminta untuk berpikir kritis atau menawarkan solusi yang berbeda; sebaliknya, mereka diminta untuk memberikan jawaban yang "benar" berdasarkan kunci. Padahal, dunia nyata menuntut kemampuan inovatif dan adaptif. Kegiatan seni, olahraga, atau kegiatan non-akademik lainnya sering dianggap sebagai pelengkap yang kurang penting, padahal justru di situlah banyak siswa bisa menyalurkan bakat dan menemukan semangat belajarnya kembali. Ketika tidak diberi ruang untuk eksplorasi dan berekspresi, pelajar akan kehilangan rasa ingin tahu dan hanya belajar demi memenuhi kewajiban, bukan untuk memahami.

 

Yang lebih mengkhawatirkan, tekanan akademik yang tinggi tidak mengimbangi perawatan kesehatan mental siswa. Pertanyaan seperti kelelahan, stres, atau cemas sering dianggap sepele atau bahkan tidak pantas. Banyak sekolah tidak memiliki program pendampingan psikologis yang cukup. Akibatnya, siswa yang merasa tertekan tidak tahu harus mengadu ke siapa, dan akhirnya memendam semuanya sendiri. Ini dapat menyebabkan kelelahan, kecemasan, dan bahkan depresi dalam jangka panjang. Semua ini terjadi dalam lingkungan yang seharusnya menjadi tempat mereka tumbuh dengan nyaman. Jika sistem ini tetap ada, pendidikan akan berubah menjadi tekanan harian yang menumpuk daripada proses pemberdayaan. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mempertimbangkan kembali cara sistem ini bekerja. Apakah itu benar-benar mendidik atau hanya menuntut?

 

Belajar yang waras berarti mudah dan menyenangkan. Siswa butuh cara belajar yang bervariasi bukan hanya hafalan dan ceramah, tapi juga diskusi, proyek kreatif, dan media digital. Dengan begitu, mereka lebih mudah memahami materi dan tidak cepat bosan. Pendidikan juga harus beralih dari mengejar nilai tinggi ke pemahaman yang mendalam.

 

Siswa perlu didorong untuk mengerti konsep, bukan hanya menghafal jawaban ujian. Kesalahan seharusnya menjadi bagian dari proses belajar, bukan sesuatu yang menakutkan untuk dilakukan. Selain itu, siswa membutuhkan dukungan psikologis dari pendidik dan lingkungan sekolah mereka. Guru seharusnya menjadi pendamping, bukan hanya penilai. Suasana kelas yang aman dan suportif sangat penting agar siswa merasa nyaman untuk berkembang.

 

Terakhir, belajar yang sehat memberi ruang untuk istirahat dan eksplorasi. Waktu luang tidak boleh dianggap membuang waktu justru itulah momen bagi siswa untuk recharge dan mengenali minatnya sendiri. Memang ada banyak masalah dalam dunia pendidikan, tetapi banyak sekolah dan lembaga pendidikan mulai menunjukkan perubahan positif dalam cara mereka bertindak. Salah satu yang paling menonjol adalah penggunaan pembelajaran berbasis proyek (PBL). Metode ini memungkinkan siswa untuk belajar melalui proyek nyata yang mengharuskan mereka berpikir kritis, bekerja sama, dan menemukan solusi. Belajar menjadi lebih relevan karena terkait dengan situasi di dunia nyata daripada hanya mempelajari materi dari buku teks.

 

Selain itu, semakin banyak sekolah yang menggunakan media sosial dan teknologi untuk mengajar. Proses belajar dapat menjadi lebih menarik dengan konten edukatif di YouTube, diskusi di forum online, dan kuis interaktif di aplikasi. Ini juga dapat sesuai dengan kebiasaan digital Gen Z. Tak kalah penting, beberapa sekolah telah menerapkan kebijakan yang mempertimbangkan kesehatan dan kesejahteraan siswa. Misalnya, membuat jadwal akhir pekan tanpa tugas, membuka ruang konseling, atau mengadakan kegiatan mindfulness di sekolah. Ini membuktikan bahwa pendidikan yang sehat tidak hanya mengejar prestasi akademik, tapi juga memperhatikan keseimbangan mental dan emosional siswa.

 

Belajar memang kewajiban, tapi bukan berarti harus dijalani dengan tekanan yang terus-menerus. Proses pendidikan harus kembali melihat sisi manusia dari setiap siswanya dengan memberikan ruang istirahat, pemahaman yang utuh, dan lingkungan yang peduli. Karena kesuksesan akademik, tanpa mengorbankan kesehatan mental, tidak akan berguna. Kini saatnya pendidikan di Indonesia bertransformasi secara konkret. Sekolah perlu lebih terbuka terhadap metode yang memberi ruang pada kreativitas dan keseimbangan, seperti project-based learning dan pembelajaran berbasis minat. Guru dan orang tua harus bekerja sama untuk membuat lingkungan belajar yang mendukung daripada menakutkan. Kebijakan dan dukungan emosional untuk menjaga kesehatan siswa sudah menjadi keharusan.

 

Sebab pada akhirnya, tujuan pendidikan bukan hanya mencetak siswa berprestasi, tapi manusia yang utuh: sehat, kritis, kreatif, dan bahagia. Kita tidak perlu generasi berikutnya yang tumbang di bangku sekolah karena stres dan kelelahan. Kita butuh generasi cerdas, bukan generasi lelah.[]

 

Penulis :

Salma Nurarifa Syahrani, Mahasiswa Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

×
Berita Terbaru Update