Azzahra Farras Suniyyah (Foto/IST) |
Peradilan agama merupakan salah satu pilar dalam sistem peradilan nasional yang secara khusus menangani perkara-perkara di bidang hukum keluarga Islam, seperti halnya perceraian, warisan, hibah, wakaf, zakat hingga hak asuh anak.adapun landasan hukumnya yakni Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian diperbarui melalui UU No.3 Tahun 2006 dan UU No.50 Tahun 2009. Meskipun regulasinya sudah cukup lengkap, salah satu tantangan utama dalam praktik peradilan agama yakni mengenai persoalan pembuktian.
Dalam pasal 54 UU Peradilan Agama disebutkan bahwa hukum acara yang berlaku dalam peradilan agama ialah hukum acara perdata, kecuali yang secara khusu diatur dalam undang-undang ini. Artinya sistem pembuktian yang digunakan juga tunduk pada ketentuan dalam hukum acara perdata, sebagaimana tercantum dalam HIR/RBg dan KUHPerdata dengan modifikasi sesuai kekhususan peradilan agama.
Sistem pembuktian dalam peradilan agama mengakui alat bukti berupa surat,, saksi, pengakuan, sumpah dan keterangan ahli. Dalam praktiknya, hal ini menimbulkan tantangan tersendiri terutama banyknya perkara perdata keagamaan yang sifatnya sangat privat dan personal. Contohnya dalam perkara perceraian akibat KDRT, sering kali bukti-bukti seperti saksi atau surat visum tidak tersedia. Hal ini menyebabkan banyak korban yang notabenenya perempuan mengalami kesulitan dalam membuktikan dali-dalil gugatan mereka.
Padahal dalam pasal 52A UU no.3 Tahun 2006, Mahkamah Syar’iyah (Aceh) maupun pengadilan agama memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara KDRT yang berkaitan dengan hukum keluarga. Namun karena beban pembuktian masih sangat berat di pihak penggugat, banyak perkara berakhir tanpa keadilan substantif meski realita di lapangan cukup jelas
Selain itu, dalam perkara warisan, UU Peradilan Agama memperjelas bahwa pengadilan agama berwenang memeriksa sengketa waris di antara pihak yang beragama Islam. Tetapi proses pembuktian sering terganjal ketiadaan dokumen resmi tentang hubungan keluarga, harta peninggalan, atau bahkan surat wasiat. Dalam masyarakat yang masih banyak bergantung pada hukum adat atau tradisi lisan, pengadilan dihadapkan pada dilema: antara menegakkan hukum formil atau menyesuaikan diri dengan kondisi sosiologis masyarakat.
Hal ini diperparah oleh ketimpangan literasi hukum yang tinggi. Banyak pihak yang datang ke peradilan agama tanpa pemahaman yang cukup tentang pentingnya alat bukti. Mereka berharap bahwa hakim bisa "memahami situasi" tanpa mampu menghadirkan bukti formil. Di sinilah muncul tantangan besar mengenai bagaimana hakim bisa menegakkan hukum dengan adil, jika alat bukti yang tersedia sangat terbatas, dan perangkat hukum acara tidak fleksibel?
Dalam kondisi seperti ini, Pasal 26 UU No. 7 Tahun 1989 yang menegaskan bahwa "peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan" menjadi sulit diwujudkan. Proses pembuktian yang rumit dan birokratis justru menjauhkan pengadilan dari prinsip keadilan yang diharapkan oleh masyarakat.
Ke depan, perlu adanya pembaruan dalam pendekatan pembuktian di peradilan agama. UU Peradilan Agama perlu membuka ruang lebih besar bagi pengakuan bukti elektronik, seperti pesan singkat, rekaman suara, dan tangkapan layar sebagai alat bukti yang sah. Meskipun belum disebut secara eksplisit dalam UU, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) bisa menjadi jalan untuk mengakomodasi perkembangan ini.
Selain itu, perlu ada penguatan kelembagaan, khususnya di bidang edukasi hukum bagi masyarakat pencari keadilan. Bantuan hukum gratis, penyuluhan tentang pentingnya alat bukti, serta pendampingan sejak tahap praperadilan bisa menjadi solusi konkret. Peradilan agama bukan hanya tempat mencari legalitas, tapi seharusnya menjadi tempat mencari keadilan—dan keadilan tidak mungkin dicapai tanpa proses pembuktian yang adaptif, empatik, dan kontekstual.
Undang-undang memang sudah memberi kerangka, tetapi tantangannya terletak pada keberanian untuk menyesuaikan praktik dengan realitas. Tanpa reformasi di bidang pembuktian, peradilan agama akan terus menghadapi dilema antara menjalankan hukum atau menegakkan keadilan. Padahal, yang diharapkan masyarakat adalah keduanya.[]
Penulis :
Azzahra Farras Suniyyah, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung