Foto/ILUSTRASI
Pendidikan di Indonesia seharusnya menjadi pintu utama untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Namun realitanya, pintu itu masih tertutup bagi banyak anak bangsa, terutama yang tinggal di daerah tertinggal dan miskin. Di tengah gempuran era digital dan modernisasi global, pendidikan kita masih dihadapkan pada masalah klasik: ketimpangan akses, kualitas guru yang belum merata, kurikulum yang belum membumi, serta kurangnya integrasi antara pembelajaran dan kehidupan nyata. Ibarat kain kusut, pendidikan kita perlu dijahit kembali, disulam dengan benang-benang harapan yang kuat.
Masalah utama datang dari ketimpangan sistem. Berdasarkan data Kemendikbudristek tahun 2023, Angka Partisipasi Murni (APM) untuk SMA di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) masih stagnan di angka 67%, artinya sepertiga remaja usia sekolah tidak mengenyam pendidikan menengah atas. Sementara itu, laporan PISA 2022 menunjukkan bahwa kemampuan literasi siswa Indonesia, terutama dalam membaca dan matematika, masih berada di bawah rata-rata dunia. Ini menunjukkan bahwa tantangan kita tidak hanya pada akses, tetapi juga mutu dan relevansi pendidikan.
Masalah ini bersumber dari sistem pendidikan yang lebih berorientasi pada hasil akademik semata, bukan pada pembentukan karakter, kemandirian berpikir, atau keterampilan hidup. Ketika sekolah hanya menjadi tempat “menghafal untuk ujian”, maka pendidikan kehilangan rohnya. Dari sinilah titik awal kita membangun harapan: dari kesadaran bahwa pendidikan harus menghidupkan dan membebaskan, bukan menekan dan membelenggu.
Membangun harapan berarti menghadirkan perubahan nyata, bukan sekadar wacana. Pemerintah memang telah meluncurkan berbagai program reformasi pendidikan seperti Merdeka Belajar, Sekolah Penggerak, dan penguatan kurikulum berbasis proyek. Tetapi kita perlu mengawal agar gagasan-gagasan besar ini tidak mandek di level administratif. Sebagai mahasiswa pendidikan kimia, saya melihat pentingnya pendekatan yang mengedepankan konteks kehidupan nyata siswa, bukan sekadar pengetahuan teoretis di papan tulis.
Dalam pembelajaran kimia, misalnya, pendekatan berbasis proyek atau Project-Based Learning (PjBL) dapat menjadi metode yang efektif. Siswa bisa diajak membuat penelitian sederhana seperti membuat pupuk organik dari sampah dapur, atau menyaring air sumur menggunakan karbon aktif dari tempurung kelapa. Ini bukan hanya mengajarkan konsep reaksi kimia, tetapi juga melatih keterampilan berpikir kritis, kerja tim, dan kepedulian terhadap lingkungan.
Pendidikan yang bermakna tidak harus mahal atau kompleks. Seringkali, yang dibutuhkan adalah guru yang kreatif dan siswa yang diberi ruang untuk berekspresi. Namun realitasnya, banyak guru di daerah masih belum mendapatkan pelatihan yang memadai dalam mengaplikasikan model pembelajaran aktif. Bahkan, menurut survei dari Tanoto Foundation (2022), lebih dari 40% guru di sekolah negeri masih menerapkan metode ceramah tradisional sebagai pendekatan utama. Ini menjadi tantangan tersendiri.
Membangun harapan melalui pendidikan tidak bisa diserahkan kepada sekolah dan guru saja. Peran keluarga dan masyarakat sangat penting. Orang tua perlu dilibatkan dalam proses pembelajaran anak. Komite sekolah harus lebih dari sekadar simbol, tetapi benar-benar menjadi jembatan komunikasi antara pihak sekolah dan masyarakat. Dan mahasiswa—sebagai agen perubahan—juga punya peran strategis untuk menyuarakan, mendampingi, dan terjun langsung dalam program literasi di pelosok.
Di sisi lain, negara harus lebih berani mengambil langkah afirmatif. Dana pendidikan sebesar 20% dari APBN seharusnya diarahkan untuk menyentuh titik-titik krusial: perbaikan fasilitas, pelatihan guru, penyediaan akses internet gratis, dan subsidi bagi siswa miskin. Tidak cukup hanya membuat kurikulum baru, jika realitas di lapangan masih timpang. Keadilan pendidikan adalah kunci utama, sebab tanpa keadilan, harapan akan terus menjadi mimpi yang sulit dicapai.
Kita juga perlu menanamkan filosofi bahwa pendidikan bukan sekadar jalan menuju pekerjaan, tetapi jalan untuk menjadi manusia utuh. Pendidikan harus mengasah nurani, mencerdaskan akal, dan menumbuhkan empati. Di sinilah urgensi menghidupkan pendidikan yang transformatif, yang bukan hanya mengajar untuk hidup, tetapi mengajar untuk memberi makna dalam kehidupan.
Kita memang sedang menatap kain pendidikan yang kusut, tetapi itu bukan alasan untuk menyerah. Justru dari kekusutan itulah kita bisa menyulam asa, benang demi benang, hingga menjadi kain harapan yang utuh. Pendidikan adalah alat paling ampuh untuk mengubah dunia—begitu kata Nelson Mandela—dan di tangan kita harapan itu bisa menjadi nyata.
Sebagai mahasiswa pendidikan, kita tidak boleh hanya menjadi penonton. Kita harus menjadi penyulam harapan itu: melalui kreativitas di ruang kelas, kepedulian di tengah masyarakat, dan suara kritis dalam kebijakan. Semoga suatu hari nanti, anak-anak dari Sabang sampai Merauke tidak lagi melihat sekolah sebagai beban, tetapi sebagai rumah yang menuntun mereka kepada masa depan yang layak.[]
Penulis :
Muhammad Naufal Nazhif, Mahasiswa Pendidikan Kimia UIN Sunan Kalijaga