Fadillah (Foto/IST)
Dalam
lanskap urban Indonesia yang terus berkembang, dimana kehadiran Orang dengan
Gangguan jiwa (ODGJ) dan pengamen di ruang publik telah menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari. Keberadaan mereka sering kali di pandang sebagai
persoalan ketertiban umum, sehingga tidak jarang menjadi sasaran kebijakan
penertiban oleh pemerintah daerah. Namun, disisi lain, mereka adalah bagian
dari masyarakat yang rentan dan memiliki hak yang sama untuk hidup secara
bermartabat. Disinilah letak dilema antara penegakkan ketertiban dan
penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Permasalahan
ini tidak sederhana. Ia menyangkut ranah hukum, kesehatan mental, kesejahteraan
sosial, hingga etika publik. Kebijakan pemerintah daerah dalam menyikapi
keberadaan ODGJ dan pengamen sering kali di dorong oleh tekanan untuk
menciptakan citra kota yang bersih, aman, dan nyaman. Khususnya di
wilayah-wilayah strategis seperti pusat perbelanjaan, kawasan wisata, dan area
perkantoran. Namun dalam praktiknya, banyak dari kebijakan tersebut yang
dinilai mengabaikan aspek perlindungan hak asasi manusia serta tidak menyentuh
akar persoalan.
ODGJ,
Ialah individu yang mengalami gangguan mental baik bersifat sementara maupun
permanen, yang menyebabkan mereka mengalami disfungsi dalam berpikir, emosi,
maupun dalam berperilaku. Di Indonesia, keberadaan ODGJ di ruang publik masih
menjadi persoalan pelik. Banyak dari mereka tidak mendapatkan akses layanan
kesehatan mental yang memadai, terlantar, dan bahkan distigma oleh masyarakat.
Lalu pengamen, merupakan kelompok masyarakat yang menggantungkan hidup dari
kegiatan mengamen di jalanan.
Sebagian
dari mereka memang menjadikan aktivitas ini sebagai sumber penghasilan utama,
namun tidak sedikit pula yang terpaksa mengamen karena keterbatasan akses
terhadap pekerjaan formal. Aktivitas mengamen tidak selalu identik dengan
kriminalitas, namun persepsi publik yang negatif sering kali mengaitkannya
dengan gangguan ketertiban, bahkan premanisme.
Stigma
terhadap ODGJ dan pengamen sangat kental di masyarakat. Mereka sering dianggap
"tidak berguna", dan "berbahaya". Media turut andil dalam
membentuk citra negatif ini, terutama dengan pemberitaan yang cenderung
sensasional. Stigma inilah yang kemudian menjadi pembenaran tidak langsung atas
kebijakan represif yang diambil oleh pemerintah daerah. Padahal, tindakan
represif yang tidak disertai upaya pemulihan sosial justru memperparah situasi.
Dalam
berbagai peraturan daerah, kehadiran ODGJ dan pengamen sering dikaitkan dengan
pelanggaran terhadap ketertiban umum. Misalnya, dalam Peraturan daerah
Ketertiban Umum di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya,
aktivitas mengamen dan berkeliaran di jalan tanpa tujuan yang jelas dapat
dikenai sanksi. Pemerintah daerah merasa perlu menegakkan aturan demi menjaga kenyamanan
warga dan ketertiban kota.
Penertiban
dilakukan melalui razia gabungan oleh Satpol PP, Dinas Sosial, dan bahkan
aparat kepolisian. ODGJ dan pengamen yang tertangkap biasanya dibawa ke panti
sosial atau tempat penampungan sementara. Sayangnya, proses ini sering kali
tidak disertai dengan pendataan yang akurat atau pendekatan psikososial yang
memadai. Di lapangan, praktik penertiban acap kali menimbulkan polemik. Ada
laporan tentang perlakuan tidak manusiawi terhadap ODGJ dan pengamen, mulai
dari kekerasan fisik, verbal, hingga penelantaran. Lembaga swadaya masyarakat
dan pegiat hak asasi manusia mengecam tindakan ini karena dinilai melanggar
prinsip dasar penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Pemerintah
berdalih bahwa penertiban adalah langkah preventif untuk menghindari gangguan
keamanan dan ketertiban, terutama di ruang publik yang padat aktivitas. Namun
kritik datang dari berbagai kalangan, yang menilai bahwa pendekatan penertiban
bersifat dangkal, jangka pendek, dan mengabaikan akar persoalan seperti
kemiskinan, pengangguran, dan kurangnya layanan kesehatan mental.
Dari
segi efektivitas, kebijakan penertiban terhadap ODGJ dan pengamen sering kali
tidak menyelesaikan masalah secara permanen. Mereka yang ditertibkan umumnya
kembali ke jalan setelah beberapa waktu, karena tidak ada jaminan pemulihan
atau pemberdayaan yang berkelanjutan. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar:
Apakah penertiban semata-mata merupakan solusi, atau sekadar memindahkan
masalah?
Pendekatan
kemanusiaan berangkat dari prinsip bahwa setiap manusia memiliki hak dasar yang
harus dihormati, termasuk ODGJ dan pengamen. Pasal 28H UUD 1945 menyebutkan
bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik. Ini mencakup pula akses terhadap
pelayanan kesehatan dan pekerjaan yang layak. Kebijakan publik harus berpijak
pada semangat keadilan sosial dan inklusivitas. Dalam konteks ini, ODGJ harus
dipandang sebagai individu yang membutuhkan pemulihan dan dukungan, bukan sekadar
objek pengamanan. Begitu pula pengamen, yang sejatinya adalah warga negara yang
memiliki potensi untuk diberdayakan jika diberi ruang dan peluang yang memadai.
Beberapa
daerah telah mencoba menerapkan model penanganan berbasis rehabilitasi dan
pemberdayaan. Contohnya adalah pendekatan rumah singgah rehabilitatif,
pelatihan keterampilan, serta inkubasi kerja sama UMKM bagi pengamen dan warga
miskin kota. Program seperti ini lebih menyentuh akar masalah dan memiliki efek
jangka panjang dalam menciptakan perubahan. Pendekatan terhadap ODGJ juga
memerlukan integrasi antara Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan organisasi
masyarakat sipil. Penanganan tidak boleh semata-mata administratif, tetapi
harus melibatkan proses diagnosis medis, psikoterapi, dan integrasi sosial
melalui pendekatan komunitas.
Komunitas
memiliki peran besar dalam menciptakan ruang inklusif bagi ODGJ dan pengamen.
Banyak organisasi non-pemerintah yang telah lama bergerak dalam bidang advokasi
kesehatan mental dan pemberdayaan sosial. Kolaborasi antara pemerintah dan
komunitas dapat memperkuat jangkauan dan efektivitas program. Misalnya,
komunitas seni jalanan di beberapa kota telah melibatkan para pengamen dalam
kegiatan produktif seperti festival musik jalanan, pelatihan seni, hingga
kegiatan literasi. Sementara komunitas peduli ODGJ telah mengembangkan program
pendampingan keluarga dan terapi komunitas yang terbukti efektif mengurangi
relaps.
Jakarta
adalah contoh kota dengan kebijakan penertiban yang paling intensif terhadap
ODGJ dan pengamen. Razia rutin dilakukan, dan mereka yang tertangkap dibawa ke
Panti Sosial milik Dinas Sosial. Namun banyak laporan menunjukkan bahwa
tempat-tempat penampungan ini kelebihan kapasitas dan minim fasilitas. Kritik
dari LSM dan masyarakat menyebut bahwa penertiban di Jakarta lebih condong pada
pendekatan administratif ketimbang pemulihan. Stigma terhadap ODGJ masih sangat
kuat, sementara pengamen kerap dianggap sebagai pengganggu kenyamanan kota.
Surakarta
atau Solo mencoba pendekatan yang lebih humanis melalui program "Rumah
Singgah Sahabat Jiwa" dan pelibatan komunitas seni lokal dalam program
pelatihan untuk pengamen. Pemerintah Kota Surakarta bekerja sama dengan yayasan
sosial dan komunitas pemuda untuk memberikan pelatihan musik dan keterampilan
kewirausahaan kepada pengamen. Program untuk ODGJ juga melibatkan pendampingan
psikologis dan penguatan keluarga. Meski masih memiliki tantangan dalam hal
anggaran dan SDM, pendekatan ini dinilai lebih efektif dalam menciptakan
transformasi sosial.
Kebijakan
pemerintah daerah harus bertransformasi dari pendekatan represif menjadi
rehabilitatif. Pendekatan rehabilitatif adalah langkah yang paling manusiawi
dalam menangani ODGJ. Daripada hanya menangkap dan menempatkan mereka di
institusi tertutup, rehabilitasi melibatkan serangkaian layanan yang mendukung
pemulihan mental, sosial, dan ekonomi. Rehabilitasi dapat dilakukan melalui
rumah sakit jiwa, pusat kesehatan jiwa komunitas, dan layanan berbasis
keluarga. Pemerintah daerah bisa bermitra dengan rumah sakit pendidikan, LSM,
dan organisasi keagamaan untuk membentuk layanan rehabilitasi yang inklusif dan
berkelanjutan. Program seperti community-based rehabilitation (CBR) telah
berhasil di beberapa negara berkembang untuk mengintegrasikan ODGJ kembali ke
dalam masyarakat.
Pemerintah
perlu memperkuat layanan kesehatan mental di tingkat komunitas, termasuk
memperbanyak jumlah tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater di
puskesmas. Selain itu, perlu dibangun rumah singgah dan pusat rehabilitasi
sosial yang memadai dan layak secara fasilitas. Pemberdayaan merupakan kunci
bagi penanganan pengamen secara manusiawi dan berkelanjutan. Pengamen adalah
individu yang memiliki keterampilan seni namun tidak memiliki akses panggung
atau pasar. Pemerintah daerah bisa mengembangkan program pelatihan musik, seni
pertunjukan, manajemen pertunjukan, hingga program inkubasi bagi musisi
jalanan. Di Indonesia, ini bisa dilakukan melalui pembentukan zona seni terbuka
di taman-taman kota atau stasiun transportasi umum, di mana pengamen bisa
tampil secara legal dan aman.
Implementasi
pendekatan kemanusiaan terhadap ODGJ dan pengamen menghadapi berbagai tantangan
struktural. Pertama adalah keterbatasan anggaran daerah untuk membiayai layanan
rehabilitasi yang komprehensif. Lalu banyak pemerintah daerah belum menjadikan
isu ini sebagai prioritas dalam perencanaan pembangunan, sehingga anggaran
lebih besar terserap untuk infrastruktur fisik dibanding layanan sosial. Kedua,
koordinasi antar-lembaga yang belum optimal. Sering terjadi tumpang tindih
kewenangan antara Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Satpol PP, dan instansi
lainnya. Lemahnya koordinasi ini menyebabkan kebijakan menjadi tidak efektif,
dan tidak jarang menimbulkan konflik kepentingan.
Ketiga
adalah keterbatasan SDM yang profesional di bidang kesehatan jiwa dan
pemberdayaan sosial. Di banyak daerah, jumlah psikiater dan psikolog klinis
masih sangat minim dibanding kebutuhan. Begitu pula dengan pekerja sosial yang
seharusnya menjadi ujung tombak dalam mendampingi proses reintegrasi sosial
ODGJ dan kelompok marjinal lainnya.
Namun,
di balik berbagai tantangan tersebut, terdapat sejumlah peluang yang bisa
dimanfaatkan. Pertama, kesadaran publik tentang pentingnya kesehatan mental dan
perlindungan kelompok rentan semakin meningkat, terutama pasca pandemi
COVID-19. Momentum ini dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mengarahkan alokasi
kebijakan yang lebih manusiawi. Kedua, perkembangan teknologi informasi dan
media sosial dapat menjadi alat efektif untuk kampanye kesadaran publik dan
advokasi. Platform ini bisa digunakan untuk menyebarkan narasi inklusif,
mengedukasi masyarakat, serta menjalin jejaring antara pemerintah, NGO, dan
masyarakat sipil. Ketiga, program Corporate Social Responsibility (CSR) dari
sektor swasta bisa diintegrasikan dengan program rehabilitasi dan pemberdayaan.
Misalnya, perusahaan dapat menjadi mitra dalam pelatihan kerja bagi pengamen,
atau mendukung pembangunan fasilitas rehabilitasi ODGJ.
Pemerintah
daerah sering dihadapkan pada dilema etis antara melindungi kepentingan umum
dan menghormati hak individu. Di satu sisi, masyarakat menginginkan ruang
publik yang tertib, bersih, dan aman. Di sisi lain, ODGJ dan pengamen juga
memiliki hak untuk hidup layak dan bebas dari diskriminasi. Pendekatan
kebijakan yang etis seharusnya tidak mengorbankan salah satu pihak. Alih-alih
menyingkirkan kelompok marjinal demi kenyamanan semu, pemerintah perlu
memfasilitasi transformasi sosial yang memungkinkan semua warga, termasuk yang
paling rentan, untuk hidup bermartabat dalam ruang kota.
Dalam
teori keadilan sosial, kebijakan yang adil adalah kebijakan yang tidak hanya
melindungi mayoritas, tetapi juga memberikan afirmasi kepada kelompok yang
selama ini termarjinalkan. Ini sejalan dengan semangat Pancasila, khususnya
sila kedua dan kelima, yang menekankan kemanusiaan yang adil dan beradab serta
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan terhadap ODGJ dan
pengamen seharusnya diarahkan untuk mengurangi ketimpangan struktural, bukan
sekadar menyembunyikan masalah demi kepentingan estetika kota. Permasalahan
ODGJ dan pengamen di ruang publik tidak bisa disederhanakan sebagai sekadar
urusan penertiban.
Ia
adalah cerminan dari ketimpangan sosial, keterbatasan sistem layanan publik,
serta kurangnya paradigma kemanusiaan dalam kebijakan pemerintah daerah.
Pendekatan yang hanya mengandalkan razia dan penangkapan bukanlah solusi jangka
panjang, bahkan justru memperparah marginalisasi dan pelanggaran hak asasi
manusia.
Tulisan
ini berargumen bahwa penertiban hanya boleh menjadi langkah terakhir, bukan
strategi utama. Sebaliknya, pemerintah daerah perlu mengembangkan kebijakan
yang berbasis rehabilitasi, pemberdayaan, dan inklusi sosial. Sinergi antara
pemerintah, komunitas, akademisi, sektor swasta, dan masyarakat sipil adalah
kunci untuk membangun kota yang tidak hanya tertib secara fisik, tetapi juga
adil dan manusiawi secara sosial. Akhirnya, kita perlu bertanya pada diri
sendiri: apakah kota yang nyaman itu harus bersih dari mereka yang lemah,
ataukah justru kota yang benar-benar layak huni adalah kota yang mampu
merangkul semua penghuninya, termasuk mereka yang paling rentan? Di situlah
letak ujian etika dan kemanusiaan dalam kebijakan publik.
Penertiban
tidak boleh menjadi strategi utama, tetapi hanya sebagai langkah terakhir
ketika ada pelanggaran hukum yang nyata. Sebaliknya, rehabilitasi, pemulihan,
dan pemberdayaan harus menjadi inti kebijakan.[]
Penulis :
Fadillah, Mahasiswi Prodi Hukum Universitas Bangka Belitung