Notification

×

Iklan

Iklan

Antara Penertiban dan Kemanusiaan: Menimbang Kebijakan Pemerintah Daerah terhadap ODGJ dan Pengamen

Minggu, 01 Juni 2025 | Juni 01, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-31T23:42:01Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Fadillah (Foto/IST)

Dalam lanskap urban Indonesia yang terus berkembang, dimana kehadiran Orang dengan Gangguan jiwa (ODGJ) dan pengamen di ruang publik telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Keberadaan mereka sering kali di pandang sebagai persoalan ketertiban umum, sehingga tidak jarang menjadi sasaran kebijakan penertiban oleh pemerintah daerah. Namun, disisi lain, mereka adalah bagian dari masyarakat yang rentan dan memiliki hak yang sama untuk hidup secara bermartabat. Disinilah letak dilema antara penegakkan ketertiban dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

 

Permasalahan ini tidak sederhana. Ia menyangkut ranah hukum, kesehatan mental, kesejahteraan sosial, hingga etika publik. Kebijakan pemerintah daerah dalam menyikapi keberadaan ODGJ dan pengamen sering kali di dorong oleh tekanan untuk menciptakan citra kota yang bersih, aman, dan nyaman. Khususnya di wilayah-wilayah strategis seperti pusat perbelanjaan, kawasan wisata, dan area perkantoran. Namun dalam praktiknya, banyak dari kebijakan tersebut yang dinilai mengabaikan aspek perlindungan hak asasi manusia serta tidak menyentuh akar persoalan.

 

ODGJ, Ialah individu yang mengalami gangguan mental baik bersifat sementara maupun permanen, yang menyebabkan mereka mengalami disfungsi dalam berpikir, emosi, maupun dalam berperilaku. Di Indonesia, keberadaan ODGJ di ruang publik masih menjadi persoalan pelik. Banyak dari mereka tidak mendapatkan akses layanan kesehatan mental yang memadai, terlantar, dan bahkan distigma oleh masyarakat. Lalu pengamen, merupakan kelompok masyarakat yang menggantungkan hidup dari kegiatan mengamen di jalanan.

 

Sebagian dari mereka memang menjadikan aktivitas ini sebagai sumber penghasilan utama, namun tidak sedikit pula yang terpaksa mengamen karena keterbatasan akses terhadap pekerjaan formal. Aktivitas mengamen tidak selalu identik dengan kriminalitas, namun persepsi publik yang negatif sering kali mengaitkannya dengan gangguan ketertiban, bahkan premanisme.

 

Stigma terhadap ODGJ dan pengamen sangat kental di masyarakat. Mereka sering dianggap "tidak berguna", dan "berbahaya". Media turut andil dalam membentuk citra negatif ini, terutama dengan pemberitaan yang cenderung sensasional. Stigma inilah yang kemudian menjadi pembenaran tidak langsung atas kebijakan represif yang diambil oleh pemerintah daerah. Padahal, tindakan represif yang tidak disertai upaya pemulihan sosial justru memperparah situasi.

 

Dalam berbagai peraturan daerah, kehadiran ODGJ dan pengamen sering dikaitkan dengan pelanggaran terhadap ketertiban umum. Misalnya, dalam Peraturan daerah Ketertiban Umum di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, aktivitas mengamen dan berkeliaran di jalan tanpa tujuan yang jelas dapat dikenai sanksi. Pemerintah daerah merasa perlu menegakkan aturan demi menjaga kenyamanan warga dan ketertiban kota.

 

Penertiban dilakukan melalui razia gabungan oleh Satpol PP, Dinas Sosial, dan bahkan aparat kepolisian. ODGJ dan pengamen yang tertangkap biasanya dibawa ke panti sosial atau tempat penampungan sementara. Sayangnya, proses ini sering kali tidak disertai dengan pendataan yang akurat atau pendekatan psikososial yang memadai. Di lapangan, praktik penertiban acap kali menimbulkan polemik. Ada laporan tentang perlakuan tidak manusiawi terhadap ODGJ dan pengamen, mulai dari kekerasan fisik, verbal, hingga penelantaran. Lembaga swadaya masyarakat dan pegiat hak asasi manusia mengecam tindakan ini karena dinilai melanggar prinsip dasar penghormatan terhadap hak asasi manusia.

 

Pemerintah berdalih bahwa penertiban adalah langkah preventif untuk menghindari gangguan keamanan dan ketertiban, terutama di ruang publik yang padat aktivitas. Namun kritik datang dari berbagai kalangan, yang menilai bahwa pendekatan penertiban bersifat dangkal, jangka pendek, dan mengabaikan akar persoalan seperti kemiskinan, pengangguran, dan kurangnya layanan kesehatan mental.

 

Dari segi efektivitas, kebijakan penertiban terhadap ODGJ dan pengamen sering kali tidak menyelesaikan masalah secara permanen. Mereka yang ditertibkan umumnya kembali ke jalan setelah beberapa waktu, karena tidak ada jaminan pemulihan atau pemberdayaan yang berkelanjutan. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah penertiban semata-mata merupakan solusi, atau sekadar memindahkan masalah?

 

Pendekatan kemanusiaan berangkat dari prinsip bahwa setiap manusia memiliki hak dasar yang harus dihormati, termasuk ODGJ dan pengamen. Pasal 28H UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik. Ini mencakup pula akses terhadap pelayanan kesehatan dan pekerjaan yang layak. Kebijakan publik harus berpijak pada semangat keadilan sosial dan inklusivitas. Dalam konteks ini, ODGJ harus dipandang sebagai individu yang membutuhkan pemulihan dan dukungan, bukan sekadar objek pengamanan. Begitu pula pengamen, yang sejatinya adalah warga negara yang memiliki potensi untuk diberdayakan jika diberi ruang dan peluang yang memadai.

 

Beberapa daerah telah mencoba menerapkan model penanganan berbasis rehabilitasi dan pemberdayaan. Contohnya adalah pendekatan rumah singgah rehabilitatif, pelatihan keterampilan, serta inkubasi kerja sama UMKM bagi pengamen dan warga miskin kota. Program seperti ini lebih menyentuh akar masalah dan memiliki efek jangka panjang dalam menciptakan perubahan. Pendekatan terhadap ODGJ juga memerlukan integrasi antara Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan organisasi masyarakat sipil. Penanganan tidak boleh semata-mata administratif, tetapi harus melibatkan proses diagnosis medis, psikoterapi, dan integrasi sosial melalui pendekatan komunitas.

 

Komunitas memiliki peran besar dalam menciptakan ruang inklusif bagi ODGJ dan pengamen. Banyak organisasi non-pemerintah yang telah lama bergerak dalam bidang advokasi kesehatan mental dan pemberdayaan sosial. Kolaborasi antara pemerintah dan komunitas dapat memperkuat jangkauan dan efektivitas program. Misalnya, komunitas seni jalanan di beberapa kota telah melibatkan para pengamen dalam kegiatan produktif seperti festival musik jalanan, pelatihan seni, hingga kegiatan literasi. Sementara komunitas peduli ODGJ telah mengembangkan program pendampingan keluarga dan terapi komunitas yang terbukti efektif mengurangi relaps.

 

Jakarta adalah contoh kota dengan kebijakan penertiban yang paling intensif terhadap ODGJ dan pengamen. Razia rutin dilakukan, dan mereka yang tertangkap dibawa ke Panti Sosial milik Dinas Sosial. Namun banyak laporan menunjukkan bahwa tempat-tempat penampungan ini kelebihan kapasitas dan minim fasilitas. Kritik dari LSM dan masyarakat menyebut bahwa penertiban di Jakarta lebih condong pada pendekatan administratif ketimbang pemulihan. Stigma terhadap ODGJ masih sangat kuat, sementara pengamen kerap dianggap sebagai pengganggu kenyamanan kota.

 

Surakarta atau Solo mencoba pendekatan yang lebih humanis melalui program "Rumah Singgah Sahabat Jiwa" dan pelibatan komunitas seni lokal dalam program pelatihan untuk pengamen. Pemerintah Kota Surakarta bekerja sama dengan yayasan sosial dan komunitas pemuda untuk memberikan pelatihan musik dan keterampilan kewirausahaan kepada pengamen. Program untuk ODGJ juga melibatkan pendampingan psikologis dan penguatan keluarga. Meski masih memiliki tantangan dalam hal anggaran dan SDM, pendekatan ini dinilai lebih efektif dalam menciptakan transformasi sosial.

 

Kebijakan pemerintah daerah harus bertransformasi dari pendekatan represif menjadi rehabilitatif. Pendekatan rehabilitatif adalah langkah yang paling manusiawi dalam menangani ODGJ. Daripada hanya menangkap dan menempatkan mereka di institusi tertutup, rehabilitasi melibatkan serangkaian layanan yang mendukung pemulihan mental, sosial, dan ekonomi. Rehabilitasi dapat dilakukan melalui rumah sakit jiwa, pusat kesehatan jiwa komunitas, dan layanan berbasis keluarga. Pemerintah daerah bisa bermitra dengan rumah sakit pendidikan, LSM, dan organisasi keagamaan untuk membentuk layanan rehabilitasi yang inklusif dan berkelanjutan. Program seperti community-based rehabilitation (CBR) telah berhasil di beberapa negara berkembang untuk mengintegrasikan ODGJ kembali ke dalam masyarakat.

 

Pemerintah perlu memperkuat layanan kesehatan mental di tingkat komunitas, termasuk memperbanyak jumlah tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater di puskesmas. Selain itu, perlu dibangun rumah singgah dan pusat rehabilitasi sosial yang memadai dan layak secara fasilitas. Pemberdayaan merupakan kunci bagi penanganan pengamen secara manusiawi dan berkelanjutan. Pengamen adalah individu yang memiliki keterampilan seni namun tidak memiliki akses panggung atau pasar. Pemerintah daerah bisa mengembangkan program pelatihan musik, seni pertunjukan, manajemen pertunjukan, hingga program inkubasi bagi musisi jalanan. Di Indonesia, ini bisa dilakukan melalui pembentukan zona seni terbuka di taman-taman kota atau stasiun transportasi umum, di mana pengamen bisa tampil secara legal dan aman.

 

Implementasi pendekatan kemanusiaan terhadap ODGJ dan pengamen menghadapi berbagai tantangan struktural. Pertama adalah keterbatasan anggaran daerah untuk membiayai layanan rehabilitasi yang komprehensif. Lalu banyak pemerintah daerah belum menjadikan isu ini sebagai prioritas dalam perencanaan pembangunan, sehingga anggaran lebih besar terserap untuk infrastruktur fisik dibanding layanan sosial. Kedua, koordinasi antar-lembaga yang belum optimal. Sering terjadi tumpang tindih kewenangan antara Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Satpol PP, dan instansi lainnya. Lemahnya koordinasi ini menyebabkan kebijakan menjadi tidak efektif, dan tidak jarang menimbulkan konflik kepentingan.

 

Ketiga adalah keterbatasan SDM yang profesional di bidang kesehatan jiwa dan pemberdayaan sosial. Di banyak daerah, jumlah psikiater dan psikolog klinis masih sangat minim dibanding kebutuhan. Begitu pula dengan pekerja sosial yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam mendampingi proses reintegrasi sosial ODGJ dan kelompok marjinal lainnya.

 

Namun, di balik berbagai tantangan tersebut, terdapat sejumlah peluang yang bisa dimanfaatkan. Pertama, kesadaran publik tentang pentingnya kesehatan mental dan perlindungan kelompok rentan semakin meningkat, terutama pasca pandemi COVID-19. Momentum ini dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mengarahkan alokasi kebijakan yang lebih manusiawi. Kedua, perkembangan teknologi informasi dan media sosial dapat menjadi alat efektif untuk kampanye kesadaran publik dan advokasi. Platform ini bisa digunakan untuk menyebarkan narasi inklusif, mengedukasi masyarakat, serta menjalin jejaring antara pemerintah, NGO, dan masyarakat sipil. Ketiga, program Corporate Social Responsibility (CSR) dari sektor swasta bisa diintegrasikan dengan program rehabilitasi dan pemberdayaan. Misalnya, perusahaan dapat menjadi mitra dalam pelatihan kerja bagi pengamen, atau mendukung pembangunan fasilitas rehabilitasi ODGJ.

 

Pemerintah daerah sering dihadapkan pada dilema etis antara melindungi kepentingan umum dan menghormati hak individu. Di satu sisi, masyarakat menginginkan ruang publik yang tertib, bersih, dan aman. Di sisi lain, ODGJ dan pengamen juga memiliki hak untuk hidup layak dan bebas dari diskriminasi. Pendekatan kebijakan yang etis seharusnya tidak mengorbankan salah satu pihak. Alih-alih menyingkirkan kelompok marjinal demi kenyamanan semu, pemerintah perlu memfasilitasi transformasi sosial yang memungkinkan semua warga, termasuk yang paling rentan, untuk hidup bermartabat dalam ruang kota.

 

Dalam teori keadilan sosial, kebijakan yang adil adalah kebijakan yang tidak hanya melindungi mayoritas, tetapi juga memberikan afirmasi kepada kelompok yang selama ini termarjinalkan. Ini sejalan dengan semangat Pancasila, khususnya sila kedua dan kelima, yang menekankan kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan terhadap ODGJ dan pengamen seharusnya diarahkan untuk mengurangi ketimpangan struktural, bukan sekadar menyembunyikan masalah demi kepentingan estetika kota. Permasalahan ODGJ dan pengamen di ruang publik tidak bisa disederhanakan sebagai sekadar urusan penertiban.

 

Ia adalah cerminan dari ketimpangan sosial, keterbatasan sistem layanan publik, serta kurangnya paradigma kemanusiaan dalam kebijakan pemerintah daerah. Pendekatan yang hanya mengandalkan razia dan penangkapan bukanlah solusi jangka panjang, bahkan justru memperparah marginalisasi dan pelanggaran hak asasi manusia.

 

Tulisan ini berargumen bahwa penertiban hanya boleh menjadi langkah terakhir, bukan strategi utama. Sebaliknya, pemerintah daerah perlu mengembangkan kebijakan yang berbasis rehabilitasi, pemberdayaan, dan inklusi sosial. Sinergi antara pemerintah, komunitas, akademisi, sektor swasta, dan masyarakat sipil adalah kunci untuk membangun kota yang tidak hanya tertib secara fisik, tetapi juga adil dan manusiawi secara sosial. Akhirnya, kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah kota yang nyaman itu harus bersih dari mereka yang lemah, ataukah justru kota yang benar-benar layak huni adalah kota yang mampu merangkul semua penghuninya, termasuk mereka yang paling rentan? Di situlah letak ujian etika dan kemanusiaan dalam kebijakan publik.

 

Penertiban tidak boleh menjadi strategi utama, tetapi hanya sebagai langkah terakhir ketika ada pelanggaran hukum yang nyata. Sebaliknya, rehabilitasi, pemulihan, dan pemberdayaan harus menjadi inti kebijakan.[]

 

Penulis :

Fadillah, Mahasiswi Prodi Hukum Universitas Bangka Belitung

×
Berita Terbaru Update