Notification

×

Iklan

Iklan

Dibalik Hoaks: Bagaimana Disinformasi Menyulut Xenophobia dan Kekerasan terhadap Kaum Marginal

Jumat, 20 Juni 2025 | Juni 20, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-20T12:38:51Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Foto/Ilustrasi

Dengan berjalannya waktu ke waktu, Xenophobia merupakan suatu bentuk ketakutan dan kebencian terhadap orang asing atau mereka dianggap berbeda, kini telah menjadi pemicu kekerasan bagi kelompok marginal di berbagai belahan dunia. Dibalik hal tersebut, penyebaran hoaks dan disinformasi memainkan peran penting dalam memperkuat sentiment ini, sering kali berujung pada tindakan kekerasan sehingga merugikan komunitas yang rentan.


Apa itu Xenophobia?


Menurut Merriam Webster, xenophobia dapat diartikan sebagai ketakutan atau kebencian terhadap orang asing atau apapun yang dianggap aneh dan belum dikenali.


Definisi tersebut juga didukung oleh UNHCR di mana, Xenophobia merujuk pada perilaku yang secara khusus didasarkan pada persepsi bahwa orang lain dianggap asing atau berasal dari luar komunitas atau negara.


Namun, manifestasi xenophobia dapat terjadi terhadap orang-orang dengan karakteristik fisik yang sama, bahkan dengan asal-usul yang sama, seperti ketika orang-orang datang, Kembali, atau bermigrasi ke negara atau wilayah dan dianggap sebagai orang luar.


Hoaks dan Disinformasi: Definisi dan Dampaknya


Hoaks merupakan informasi palsu yang disebarkan dengan tujuan untuk menyesatkan atau menipu. Di lain sisi, Disinformasi terjadi karena adanya penyebaran informasi yang salah secara sengaja untuk mempengaruhi opini publik atau menyembunyikan fakta sebenarnya. Kedua bentuk informasi tersebut tentunya dapat memperkuat stereotip negatif dan memicu ketegangan sosial.


Studi Kasus: Dampak Disinformasi terhadap Kekerasan


1. Irlandia Utara (2025)

Di Ballymena, tepatnya Irlandia Utara, kerusuhan anti-imigran yang terjadi dikarenakan dua remaja asal Rumania yang dituduh melakukan pengerangan seksual. Meskipun proses hukum masih terus berjalan, desas-desus dan disinformasi menyebar secara cepat sehingga memicu serangan terhadap komunitas migran termasuk pembakaran rumah dan penyebaran fisik.


2. Inggris (2024)

Di Southport, Inggris, penyebaran informasi palsu di media sosial yang mengaitkan serangan penikaman terhadap tiga korban dilakukan oleh seorang Muslim sehingga muncul gelombang protes sayap kanan dan tekanan media yang semakin meningkat. 


Fakta yang didapat setelah menangkap tersangka Bernama Axel Rudakubana bukan seorang Muslim. Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer mengutuk kekerasan tersebut sebagai “tindakan premanisme sayap kanan” dan “retorika rasis”, namun tidak menyatakan protes dan penyerangan tersebut dilakukan sebagai islamophobia dalam pidatonya di TV.


3. Kerusuhan Wamena (2023)

Munculnya desas-desus akan penculikan anak yang menyebar via WhatsApp dan media sosial memicu kerusuhan dan pembakaran toko milik pedagang Batak di Wamena, Papua. Akibat kerusuhan tersebut menewaskan sekitar 12 korban jiwa dan melukai puluhan korban lainnya. 


Isu penculikan anak yang keliru (hoaks) ini menimbulkan ketakutan dan ketegangan antara warga lokal Papua dan pendatang atau non-Papua tertama kelompok suku Batak yang dianggap “eksternal” oleh massa.

  

Bagaimana Disinformasi Memicu Kekerasan terhadap Kaum Marginal


Disinformasi menciptakan narasi palsu yang menggambarkan kelompok tertentu sebagai ancaman hingga memperkuat stereotip negatif dan memicu ketakutan terhadap suatu kelompok. Ketika informasi ini menyebar tanpa control, terutama melalui media sosial, masyarakat dapat dengan mudah terprovokasi untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap “lain”.


Solusi untuk Memerangi Xenophobia


1. Pendidikan dan Literasi Media: Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya memverifikasi informasi dan memahami dampak negative dari hoaks dan disinformasi.


2. Kebijakan Anti-Diskriminasi: Pemerintah sebagai pemangku kebijakan, tentunya harus menerapkan dan menegakkan hukum yang melindungi kelompok minoritas/marginal dari diskriminasi dan kekerasan.


3. Dialog Antar Komunitas: Dalam memdorong interaksi dan pemahaman antara kelompok berbeda untuk mengurangi prasangka buruk dan membangun solidaritas yang baik.


4. Pengawasan Media Sosial:  Platform digital tentunya harus bertanggung jawab dalam memantau dan menghapus konten yang menyebarkan kebencian dan disinformassi.


5. Kampanye Kesadaran Publik: Dengan menggunakan media sosial untuk menyebarkan pesan toleransi, inklusi, dan penghargaan terhadap keberagaman.


Melalui pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif, kita dapat mengurangi dampak negatif dari xenophobia dan membangun masyarakat yang lebih inklusif dan damai.[]


Penulis :

Arum Meira Talitasyadiah, Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta


×
Berita Terbaru Update