Presiden RI, Ir. Soekarno
Pada suatu masa, Indonesia pernah mengalami periode kelam ketika batas-batas konstitusi mulai kabur. Di bawah bayang-bayang retorika revolusi, praktik-praktik kekuasaan mulai menyimpang dari jalur demokrasi. Mohammad Hatta, dengan ketajaman pemikirannya, mendokumentasikan penyimpangan ini dalam buku yang berjudul "Demokrasi Kita".
Segalanya bermula ketika Presiden Soekarno, yang seharusnya menjadi simbol pemersatu bangsa menurut UUD 1950, mulai melangkahi kewenangannya. Ia mengambil alih tugas formatur kabinet sebuah kewenangan yang secara konstitusional berada di tangan perdana menteri. Parlemen yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi hanya bisa terdiam, bahkan sebagian mulai membangun narasi pembenaran dengan dalih "keadaan darurat".
Tidak berhenti di situ, tahun 1959 menjadi titik balik dramatis. Konstituante badan perwakilan hasil pemilu yang sedang merancang konstitusi baru dibubarkan secara sepihak. Dengan sebuah dekrit, Soekarno memberlakukan kembali UUD 1945 yang memberikan kekuasaan sangat besar pada presiden. Padahal, perubahan konstitusi semestinya melalui proses demokratis, bukan keputusan sepihak.
Puncaknya terjadi ketika DPR hasil pemilu 1955 yang mewakili kedaulatan rakyat ikut dibubarkan. Sebagai gantinya, dibentuklah DPR "versi baru" dengan separuh anggota berasal dari partai politik (terutama yang mendukung presiden) separuh lagi diisi oleh perwakilan golongan yang semuanya ditunjuk langsung oleh presiden.
Akibatnya mekanisme check and balances runtuh, suara oposisi tersingkirkan, kekuasaan terpusat pada satu tangan, dan demokrasi perlahan berubah menjadi sistem kepemimpinan tunggal. Disini Hatta tidak sekadar mencatat fakta, tetapi memberikan analisis tajam bahwa ini bukan sekadar perubahan kebijakan, melainkan "kudeta konstitusional”. Hatta juga menekankan bahwa kisah ini bukan sekadar catatan sejarah ia adalah cermin yang memantulkan bahaya laten ketika kekuasaan eksekutif tak terkendali, lembaga perwakilan kehilangan nyali, dan konstitusi diperlakukan sebagai penghambat, bukan panduan.
Kasus Fatia - Haris yang sempat menggemparkan jagat media pada tahun 2023 disebuah negeri yang konon menjungjung tinggi demokrasi, kisah pilu yang terus berulang, kisah tentang suara-suara kritis yang dipenjara, tentang kebenaran yang dibungkam, tentang hukum yang berbalik menjadi alat kekuasaan. Ini bukan cerita dari masa lalu, melainkan realitas yang terjadi di depan mata kita hari ini.
Episode I: Palu Hakim yang Dianggap Kebenaran
Fatia Maulidiyanti, yang kerap disapa dengan Fatia seorang perempuan muda dengan semangat baja, harus berhadapan dengan jeruji besi. Dosanya? Membongkar praktik korupsi yang melibatkan pejabat tinggi. Hariz Azhar, Seorang pegiat HAM, harus berjuang melawan tuduhan pencemaran nama baik karena menyuarakan ketidakadilan di tanah Papua. Mereka bukan penjahat, mereka juga bukan perusuh. Mereka hanya orang-orang yang berani mengatakan apa yang seharusnya didengar. Tapi di negeri ini, keberanian semacam itu sering berujung pada persidangan.
Episode II: Pasal-pasal yang Menjerat
UU ITE yang seharusnya melindungi, justru menjadi senjata ampuh untuk membungkam. Pasal karet tentang pencemaran nama baik dan ujaran kebencian menjadi momok menakutkan. Satu laporan polisi, satu status di media sosial, satu pernyataan diruang publik bisa menjadi awal petaka. Baiq Nuril tahu betul bagaimana rasanya. Perempuan malang ini justru dipenjara karena berani membongkar pelecehan yang dialaminya. Korban berubah menjadi terdakwa, sementara pelaku sesungguhnya bebas berkeliaran.
Episode III: Demokrasi yang Tersandera
Inilah wajah baru pembungkaman di era modern. Tidak lagi dengan pentungan seperti di masa lalu, tapi dengan pasal-pasal hukum yang seolah mulia. Tidak lagi dengan pembubaran partai secara paksa, tapi dengan tekanan sistematis yang membuat orang takut bersuara. Dulu, Soekarno membungkam oposisi dengan membubarkan partai dan lembaga demokrasi. Kini, pembungkaman dilakukan dengan cara yang lebih halus tapi tak kalah efektif, melalui mekanisme hukum yang seharusnya adil.
Setiap kali seorang aktivis dipenjarakan karena kritiknya, sebenarnya kita semua sedang diberi peringatan. Hari ini giliran mereka, besok bisa jadi giliran kita. Ketika ruang kritik menyempit, demokrasi pun sekarat perlahan-lahan. Tapi cerita ini belum berakhir, masih ada harapan selama masih ada yang berani bersuara, masih ada cahaya selama masih ada yang mau mendengar. Pertanyaannya: sampai kapan kita akan diam?. ini bukan hanya tentang Fatia, Haris, atau Baiq Nuril. Ini adalah tentang kita semua. Tentang hak dasar sebagai warga negara. Tentang masa depan demokrasi yang kita cita-citakan bersama. Karena sesungguhnya, ketika hukum berubah menjadi alat pembungkam, kita semua dalah korban berikutnya yang sedang menunggu giliran.[]
Penulis :
Aldifia Putri, mahasiswi Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Anwar Sarang