![]() |
Foto/Ilustrasi |
Kontrak kerja digital atau freelance menurut fiqih muamalah merupakan bentuk kerja yang semakin populer dalam era digital ini. Fiqih muamalah, sebagai hukum transaksi dalam Islam, memberikan panduan tentang bagaimana hubungan kerja harus dilakukan dengan adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dalam konteks kontrak kerja digital, beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan adalah akad (perjanjian), pembayaran, hak dan kewajiban masing-masing pihak, serta transparansi dalam transaksi.
Fenomena ini semakin populer di kalangan milenial dan generasi Z, terutama pasca pandemi COVID-19. Namun, dari perspektif Islam, khususnya dalam kajian fiqh muamalah, perlu ditelaah bagaimana bentuk kontrak kerja semacam ini dilihat dari aspek hukum, keadilan, dan perlindungan hak-hak pekerja.
Dalam Islam, kontrak kerja dikenal dengan istilah ‘ijarah’, yaitu akad upah-mengupah atas jasa atau pekerjaan yang dilakukan. Dalam konteks kerja freelance, akad ijarah tetap relevan karena hubungan yang terjalin antara pengusaha dan freelancer (pekerja) adalah hubungan upah-jasa.
Dalam praktiknya, kerja freelance sering kali dilakukan tanpa kontrak tertulis yang jelas. Seorang freelancer menerima proyek melalui platform digital atau komunikasi tidak resmi seperti email dan media sosial. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian (gharar) yang dalam Islam dilarang, terutama jika informasi pekerjaan, tenggat waktu, atau besaran upah tidak dijelaskan secara transparan. Fiqh muamalah menekankan pentingnya kejelasan dan kesepakatan kedua belah pihak sebelum akad dilakukan agar tidak terjadi konflik di kemudian hari.
Selain gharar, isu keadilan (al-adl) juga menjadi bagian penting. Dalam banyak kasus, freelancer tidak mendapatkan hak yang pantas, seperti pembayaran yang tertunda, tidak dibayar sama sekali, atau freelancer kerap direvisi terus tanpa adanya kompensasi. Padahal, Islam sangat menjunjung tinggi prinsip keadilan dalam muamalah. Nabi Muhammad SAW bersabda,:
أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Artinya: “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya” (HR. Ibn Majah). Hadis ini menegaskan pentingnya memperlakukan pekerja dengan adil, termasuk membayar tepat waktu sesuai kesepakatan.
Di sisi lain, dari sudut pandang pengusaha (klien), keadilan juga berlaku. Seorang freelancer harus melaksanakan pekerjaan sesuai kualitas dan waktu yang ditentukan. Tidak jarang ditemukan kasus di mana pekerja lepas menghilang setelah menerima pembayaran awal atau tidak menyelesaikan proyek sesuai spesifikasi. Fiqh muamalah mengajarkan bahwa setiap akad mengandung tanggung jawab moral dan hukum. Pelanggaran terhadap akad merupakan bentuk ketidakjujuran yang dapat merusak amanah dan mencoreng prinsip halal dalam muamalah.
Solusi yang dapat diterapkan agar kontrak kerja digital tetap sesuai prinsip syariah adalah dengan membuat akad kerja yang jelas dan transparan. Akad tersebut bisa dalam bentuk perjanjian digital, email resmi, atau melalui platform freelance yang menyediakan sistem penyimpanan dana sementara untuk memastikan pembayaran dilakukan setelah pekerjaan selesai. Selain itu, akad juga harus memuat unsur penting seperti: deskripsi pekerjaan, lama pengerjaan, besaran upah, mekanisme revisi, dan sistem penyelesaian sengketa. Dengan demikian, kedua belah pihak merasa aman dan terhindar dari potensi konflik.
Fiqh muamalah juga membuka ruang ijtihad (penyesuaian hukum terhadap kondisi baru) untuk menyesuaikan perkembangan zaman, termasuk transformasi kerja dalam ekonomi digital. Ulama kontemporer seperti Dr. Wahbah Zuhaili dan Dr. Yusuf al-Qaradawi telah memberikan banyak pandangan bahwa prinsip syariah harus tetap tegak, meskipun bentuk transaksinya berubah sesuai perkembangan teknologi. Prinsip utama yang tidak boleh dilanggar adalah keadilan, kejelasan, dan kerelaan kedua belah pihak (taradhi).
Secara keseluruhan, kontrak kerja digital atau freelance adalah bentuk muamalah yang diperbolehkan dalam Islam selama memenuhi syarat akad ijarah yang sah. Dalam konteks fiqh muamalah, penekanan pada kejelasan kontrak, keadilan, serta etika moral dari kedua belah pihak menjadi pondasi utama agar pekerjaan freelance dapat menjadi ladang rezeki yang halal dan berkah. Dengan mengikuti prinsip-prinsip syariah, Para pelaku ekonomi digital, baik pekerja maupun pemberi kerja, hendaknya memahami prinsip-prinsip dasar ini agar aktivitas muamalah mereka tidak hanya menguntungkan secara materi, tetapi juga mendatangkan ridha Allah SWT.[]
Penulis :
Imam Ahmad Fauzan, Mahasiswa S1 Ekonomi Syariah Universitas Pamulang