![]() |
Foto/Elsam |
Kesetaraan gender merupakan isu penting dalam upaya pemenuhan hak asasi manusia (HAM), kesadaran akan pentingnya memberikan kesempatan yang sama bagi setiap individu tanpa memandang jenis kelamin. Kesetaraan ini tidak hanya menyangkut hak dalam bidang politik, tetapi juga mencakup aspek ekonomi, sosial, dan budaya.
Namun, kenyataannya masih banyak terjadi diskriminasi gender, membatasi ruang gerak dan kontribusi perempuan maupun laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu, gerakan kesetaraan gender hadir sebagai bentuk pemberdayaan yang bertujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, setara, dan merata bagi semua.
Jauh sebelum dideklarasikannya Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB tahun 1948, Islam sudah datang dengan misi dakwahnya sebagai agama yang menjunjung tinggi kesetaraan, bahwa semua makhluk ciptaan tuhan sama dihadapannya, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya. Banyak ayat Al-Qur’an dan hadis nabi yang mengajarakan keadilan atau kesetaraan gender, baik laki-laki maupun Perempuan memilki peran yang sama sebagai makhluk yang mengabdi kepada tuhan.
Nabi Muhammad sebagai utusan tuhan, dikenal sebagai revolusioner yang membawa peradaban untuk kehidupan manusia di muka bumi. Dakwahnya yang pertama kali dibawa untuk kaum Arab jahiliyah, dimana pada saat itu tidak ada hak hidup untuk Perempuan. Beliau mengubah budaya masyarakat yang memosisikan Perempuan pada derajat yang terendah, maka dengan suri tauladannya kepada istri mauapun anaknya, menghilangkan sedikit demi sedikit budaya patriarki yang akan membawa perubahan besar bagi kaum perempuan di masa-masa selanjutnya.
Indonesia sebagai negara yang merdeka selama 79 tahun, telah melewati sejarah yang memilukan, tentu kita tidak lupa akan tragedi yang terjadi pada tahun 1988, detik-detik pergantian masa orde baru menuju reformasi, dimana pada masa itu keadaan sangatlah mencekam, dilanda krisis moneter, demonstrasi besar-besaran, hingga penculikan kepada sejumlah mahasisiwa. Kerusuhan tersebut menyebabkan munculnya kejahatan-kejahatan yang melanggar HAM. Diantaranya penculikan aktivis, maraknya penjarahan barang dan uang, juga kekerasan seksual terhadap perempuan, terlebih perempuan yang berdarah Tionghoa, kejadian tersebut mencapai puncaknya pada bulan Mei 1998.
Pernyataan Mentri Kebudayaan Fadli Zon tentang tragedi pemerkosaan 1998, dianggap hanyalah sebuah rumor, dikarenakan tidak ada bukti yang cukup untuk bisa ditulis sebagai sejarah resmi Indonesia. Pernyataan tersebut mampu menyulut amarah publik, terlebih para aktifis gender dan aktifis lain yang tak pernah lelah untuk menuntut keadilan atas pelanggaran HAM yang terjadi pada 1998. Dinilai tidak bersimpatik dengan para penyitas, justru semakin memperkuat impunitas atas kejahatan serius yang tidak ditindak lanjuti, dan menjadikan traumatisasi ulang terhadap korban karena mengabaikan pengalaman sensitif yang pernah dialaminya.
Meminta bukti yang jelas akan tragedi pemerkosaan tersebut, tidaklah mudah, karena bukti pemerkosaan sangatlah berbeda dengan bukti kejahatan lainnya seperti perampokan atau pembunuhan. Jika dalam pencurian yang diambil adalah barang milik korban, maka dalam pemerkosaan yang direnggut adalah alat reproduksinya, kondisi psikis, dan martabat kemanusiaan korban.
Permintaan bukti atas tragedi tersebut, justru memaksa para korban untuk membuka luka lama yang menyembuhkannya saja tidaklah mudah, bahkan dari para korban banyak yang memilih untuk diam tidak menyuarakan keadilannya. Satu-satunya korban yang bersedia untuk menyuarakan kesaksiannya dalam sidang PBB adalah Ita Martadinata Haryono, namun tragisnya, ia justru terbunuh secara misterius.
Dalam hal ini, negara telah gagal menjalankan kewajibannya dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi manusia (HAM). Penyangkalan terhadap sejarah tragedi pemerkosaan tersebut telah mencederai nilai-nilai keadilan dan kebenaran sejarah. Alih-alih menjadi pelindung justru menjadi sebuah tindakan menindas demi kepentingan kekuasaan.
Pada akhirnya untuk mencapai visi HAM yang utuh, negara wajib menjalankan prinsip-prinsip penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia secara menyeluruh, termasuk dengan mengakui tragedi masa lalu sebagai bagian penting dari rekonsiliasi dan keadilan transisional. Dengan penulisan ulang sejarah Indonesia yang akan dirilis Agustus mendatang, maka mengutip dari Winston Churchill, Sejarah memang ditulis oleh pemenang, tapi kita akan memilih bacaan yang lain.[]
Penulis :
Rosikhoh Ma'rifati, Mahasisiwa aktif STAI Al-Anwar Sarang Rembang, email : rosikhohmarifati@gmail.com