Notification

×

Iklan

Iklan

Utang Piutang dalam Perspektif Islam

Minggu, 06 Juli 2025 | Juli 06, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-06T05:58:32Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Muhammad Vizar Fahrezi (Foto/dok. pribadi)

Utang piutang merupakan salah satu bentuk transaksi muamalah yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Islam, transaksi ini tidak hanya dilihat dari sisi ekonomi semata, tetapi juga dari sisi moral dan sosial. Syariat Islam mengatur utang piutang secara rinci untuk menjaga keadilan dan keharmonisan antar sesama.

 

Baik pemberi maupun penerima utang memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW.

 

Dalam fikih, utang disebut dengan istilah qardh, yaitu memberikan harta atau uang kepada seseorang dengan syarat bahwa ia wajib mengembalikannya di kemudian hari. Sedangkan piutang adalah hak yang dimiliki oleh pemberi utang terhadap penerima utang. Al-Qur’an memberikan perhatian khusus terhadap transaksi ini, sebagaimana tertuang dalam Surah Al-Baqarah ayat 282.

 

Ayat ini merupakan ayat terpanjang dalam Al-Qur’an dan menjelaskan tentang pentingnya mencatat setiap transaksi utang piutang secara tertulis serta menghadirkan saksi untuk menghindari perselisihan di kemudian hari.

 

Secara prinsip, Islam membolehkan praktik utang piutang asalkan dilakukan secara suka rela dan tidak mengandung unsur kezaliman, seperti riba atau pemaksaan. Dalam Al-Qur’an, ada anjuran untuk mencatat transaksi utang secara tertulis, agar hak dan kewajiban masing-masing pihak menjadi jelas dan tidak menimbulkan konflik di kemudian hari.

 

Pencatatan ini merupakan bentuk kehati-hatian sekaligus perlindungan hukum. Dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, beliau juga pernah melakukan transaksi utang piutang, dan selalu menunjukkan keteladanan dalam menunaikan kewajibannya secara tepat waktu. Ini menunjukkan bahwa utang bukanlah sesuatu yang dilarang, asalkan dikelola dengan cara yang benar dan bertanggung jawab.

 

Islam menekankan bahwa setiap transaksi utang piutang harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan transparansi. Prinsip pertama yang harus dijaga adalah kejujuran dan keterbukaan antara kedua belah pihak. Al-Qur’an menganjurkan agar setiap utang piutang ditulis dan disaksikan, bukan karena tidak percaya, melainkan sebagai bentuk kehati-hatian dan perlindungan hukum bagi semua pihak.

 

Selain itu, transaksi utang piutang harus bebas dari unsur riba. Islam secara tegas mengharamkan riba dalam berbagai bentuknya. Dalam Surah Ali-Imran ayat 130, Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” Oleh karena itu, dalam Islam, utang piutang tidak boleh menjadi sarana untuk meraup keuntungan yang tidak adil melalui bunga atau tambahan.

 

Etika dalam berutang juga sangat ditekankan. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa siapa pun yang berutang harus memiliki niat yang jujur untuk membayarnya. Seseorang yang meminjam sebaiknya memiliki niat yang tulus untuk mengembalikan apa yang dipinjam. Niat baik ini menjadi pondasi utama dalam menjaga keberkahan harta dan hubungan sosial.

 

Islam memandang bahwa orang yang berutang dengan niat menunaikan kewajibannya akan mendapatkan pertolongan dari Allah, sedangkan mereka yang berniat untuk menghindar dari tanggung jawabnya justru akan merugikan diri sendiri, baik di dunia maupun di akhirat, Nilai kejujuran dan amanah menjadi sangat penting dalam hal ini.

 

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, beliau bersabda, “Barangsiapa yang berutang dan berniat untuk membayarnya, maka Allah akan menolongnya untuk melunasi. Namun barangsiapa berutang dengan niat tidak membayar, maka Allah akan membinasakannya.” Ini menunjukkan bahwa niat dan integritas moral menjadi fondasi utama dalam praktik utang piutang menurut Islam.

 

Di sisi lain, pemberi utang juga dianjurkan untuk berbuat baik dan tidak menekan atau mempermalukan pihak yang berutang. Jika si peminjam mengalami kesulitan dalam pembayaran, Islam menganjurkan adanya kelonggaran.

 

Dalam Surah Al-Baqarah ayat 280, disebutkan, “Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan (sebagian atau seluruh utang itu), itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” Ayat ini menunjukkan pentingnya belas kasih dan toleransi dalam menyikapi masalah utang piutang.

 

Satu hal penting lainnya adalah larangan menunda pembayaran utang bagi orang yang sebenarnya mampu membayar. Dalam pandangan Islam, tindakan menunda pembayaran tanpa alasan yang sah dianggap sebagai bentuk ketidakadilan. Hal ini bisa merugikan pihak yang memberikan pinjaman, baik secara finansial maupun emosional. Oleh karena itu, Islam menekankan agar setiap orang menjaga komitmennya, apalagi jika sudah ada kesepakatan waktu pengembalian.

 

Dengan demikian, utang piutang dalam perspektif Islam bukan sekadar urusan materi, tetapi juga bagian dari tanggung jawab moral yang melibatkan kejujuran, amanah, dan empati. Islam mengajarkan bahwa menjaga hak orang lain dalam transaksi keuangan merupakan bagian dari ibadah dan bukti ketakwaan kepada Allah SWT. Oleh karena itu, setiap muslim hendaknya memahami dan mengamalkan ajaran ini agar tercipta masyarakat yang adil, jujur, dan penuh tanggung jawab.[]

 

Penulis :

Muhamad Vizar Fahrezi, Mahasiswa Ekonomi Syariah Universitas Pamulang 

×
Berita Terbaru Update