Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota, masih ada ruang kecil di mana suara alam terus berkumandang melalui kicauan burung-burung peliharaan yang dilombakan. Di balik gemuruh sorak juri dan semangat para penghobi burung, tersimpan potensi besar bagi upaya pelestarian keanekaragaman hayati. Tradisi lomba burung berkicau, yang telah lama hidup dalam budaya masyarakat Indonesia, kini mulai dipandang sebagai lebih dari sekadar hiburan. Ia menjadi cerminan hubungan manusia dengan alam, serta peluang untuk menanamkan nilai konservasi secara menyenangkan dan menyentuh akar rumput. Di Komplek Perumahan PDK Kota Cirebon, suara burung bukan hanya seni, tetapi juga bentuk kepedulian terhadap masa depan spesies-spesies unggulan Indonesia.
Penelitian ini dilakukan di Komplek PDK Cirebon pada tanggal 11 Juni 2025 dengan menggunakan pendekatan survei. Tim peneliti melakukan observasi langsung ke lapangan, mewawancarai pemilik burung kicau, serta menelusuri literatur terkait untuk menguatkan hasil temuan. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis secara deskriptif untuk memperoleh gambaran tentang jenis-jenis burung yang sering dilombakan serta persepsi para pemilik terhadap upaya pelestarian. Fokus utama terletak pada keterkaitan antara lomba burung sebagai budaya populer dengan strategi konservasi berbasis komunitas yang dapat diterapkan secara berkelanjutan.
Hasil pengamatan menunjukkan sembilan jenis burung paling populer di wilayah PDK sebagai peserta lomba, masing-masing dengan karakteristik unik yang menjadikannya idola para pecinta kicau. Jalak Suren (Gracupica jalla) dikenal karena kecerdasannya dalam meniru suara manusia dan suara lain di sekitarnya. Murai Batu (Copsychus malabaricus) menjadi primadona berkat nyanyian merdunya yang kaya variasi, ditambah gaya bertarung yang memikat. Pelatuk Bawang (Dinopium javanense) mungkin belum sepopuler yang lain, tetapi ia mencuri perhatian lewat suara ketukannya yang ritmis saat mematuk kayu.
Selanjutnya, Lovebird (Agapornis personatus) tak hanya menarik karena warna-warninya yang mencolok, tetapi juga karena suara "ngekek"-nya yang khas dan panjang. Branjangan (Mirafra javanica) dikenal karena gaya terbang vertikalnya saat berkicau, seakan menari di udara sambil bernyanyi. Kacer (Copsychus saularis) tampil gagah dengan gaya ngobranya yang atraktif, cocok untuk arena lomba yang kompetitif. Sementara itu, Sri Gunting (Dicrurus macrocercus) memikat dengan suara tajam dan bentuk ekornya yang khas menyerupai gunting, sekaligus keberaniannya melawan burung lain saat merasa terancam. Tak kalah indah, Anis Kembang (Geokichla interpres) dikenal dengan lagu-lagu jernih dan kompleks yang mampu menirukan suara burung lain. Terakhir, Cucak Hijau (Chloropsis sonnerati) menonjol lewat vokalnya yang keras dan lantang, serta warna tubuh hijau cerah yang menyatu dengan alam.
Lomba burung yang awalnya hanya dianggap sebagai ajang adu suara kini berkembang menjadi sarana edukatif dan etis. Para pemilik burung mulai sadar akan pentingnya membeli burung hasil penangkaran, menghindari tangkapan liar, serta memberikan perawatan terbaik. Komunitas kicau pun berkembang menjadi ruang belajar yang mendorong pertukaran informasi, kesadaran konservasi, dan penguatan identitas sosial berbasis budaya. Perlombaan kicau menjadi titik temu antara kecintaan terhadap fauna, tradisi lokal, dan peluang ekonomi kreatif. Sangkar burung tidak lagi menjadi simbol penjara, melainkan cerminan upaya menjaga warisan suara alam.
Meski begitu, tantangan tetap ada. Tidak semua peserta lomba memiliki kesadaran ekologis yang sama. Masih banyak yang lebih mengutamakan prestise dan keuntungan ekonomi, bahkan tanpa mempertanyakan asal usul burung yang dimiliki. Praktik jual beli burung dari alam liar masih terjadi, membayangi masa depan burung endemik yang semakin terancam. Oleh karena itu, edukasi, aturan lomba yang ketat, dan pelibatan masyarakat secara aktif menjadi kunci utama agar tradisi ini tidak berubah menjadi ancaman.
Simpulan dari penelitian ini menegaskan bahwa setiap jenis burung kicau memiliki karakteristik morfologis dan perilaku yang unik, mencerminkan adaptasi terhadap habitat, makanan, dan lingkungan hidupnya. Mayoritas memiliki kaki bertipe anisodactyl paruh penyesuai pakan, serta peran ekologis sebagai pengendali serangga atau penyebar biji. Suara kicau yang khas, warna tubuh yang mencolok, dan kemampuan berinteraksi membuat mereka menjadi ikon penting dalam perlombaan maupun pelestarian. Tradisi lomba burung berkicau, jika dikelola dengan pendekatan beretika dan edukatif, mampu menjadi strategi konservasi berbasis komunitas yang efektif. Sebab, di balik setiap kicauan, tersimpan harapan agar alam tetap hidup dan lestari bersama suara-suara indahnya.[]
Penulis :
Muhamad Abduwloh, Hikmawati, Mujadid Aqiemudin Daulat (mahasiswa Prodi Tadris Biologi UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon)