Notification

×

Iklan

Iklan

Antara Jati Diri dan Jajahan Algoritma

Rabu, 29 Oktober 2025 | Oktober 29, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-29T13:44:33Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Foto/ILUSTRASI

Sebuah laporan terbaru menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menghabiskan waktu rata-rata 6- 7 per hari untuk mengakses internet. Itulah rata-rata waktu yang dihabiskan orang Indonesia untuk mengakses internet, menjadikan kita salah satu negara dengan pengguna daring paling aktif di dunia atau biasa disebut negara paling "melek digital" di dunia, menurut data dari We Are Social tahun 2024.

 

Ironisnya, di tengah hiruk pikuk konektivitas tanpa batas ini, muncul bayangan gelap yang mengancam: Krisis Identitas Nasional. Media sosial dan platform digital, yang seharusnya menjadi etalase keragaman budaya dan nilai luhur bangsa, kini justru menjadi medan perang senyap di mana kita sering menyaksikan bagaimana bahasa gaul instan menggantikan keindahan bahasa ibu, tren fashion dan musik asing mendominasi, dan nilai-nilai lokal seperti gotong royong perlahan tenggelam di tengah hiruk pikuk flexing (pamer) dan individualisme di media sosial yang dipandu oleh algoritma. ​

 

Gempuran budaya digital yang disebabkan oleh adopsi digital dan algoritma yang melemahkan penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai filter moral bangsa.

 

Algoritma dirancang untuk memaksimalkan atensi dan interaksi, seringkali dengan memprioritaskan konten yang memicu emosi (termasuk kemarahan dan polarisasi), yang menawarkan nilai-nilai individualisme, hedonisme, konsumerisme  dan bertentangan dengan prinsip Persatuan Indonesia, semangat gotong royong serta spiritualitas yang dijunjung dalam Pancasila.

 

Mari kita ambil contoh maraknya cancel culture dan penyebaran informasi palsu (hoaks) yang memicu perpecahan. Ini adalah manifestasi nyata dari runtuhnya etika Musyawarah dan Mufakat—di mana perbedaan diselesaikan melalui caci maki daring, bukan dialog.

 

Contoh konkret lainnya adalah fenomena "kebanggaan palsu" terhadap budaya K-Pop atau musik asing secara berlebihan, sementara kita jarang melihat anak muda yang bangga mempromosikan kebudayaan atau seni tradisional secara masif karena dianggap kuno. Hal ini menunjukkan erosi nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Sila ke-2) yang mengajarkan penghargaan terhadap martabat diri dan bangsa sendiri.

 

Dengan demikian, jika kita terus membiarkan algoritma asing menentukan apa yang kita lihat, yakini, dan banggakan, kita berisiko menjadi bangsa yang kaya secara digital, tetapi miskin secara spiritual, identitas dan kita sedang menukarkan jati diri bangsa dengan popularitas dan keterasingan kolektif.

 

Krisis ini menuntut tindakan kolektif dan kebijakan yang berani. Solusinya tidak terletak pada penolakan teknologi, melainkan pada pemberdayaan ekosistem digital berbasis nilai luhur.

 

Pertama, ajakan bagi pendidik dan orang tua: Jadikan literasi digital sebagai literasi budaya. Kita harus secara sadar mengajarkan anak muda untuk menjadi kurator konten yang cerdas, bukan hanya konsumen pasif. Mereka harus mampu mengidentifikasi dan mempromosikan nilai-nilai Indonesia (seperti keramahan, toleransi, dan gotong royong) melalui platform digital.

 

Kedua, kritik dan rekomendasi kebijakan: Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu mendorong Inovasi Konten Lokal Berbasis Kualitas. Subsidi, insentif pajak, dan penghargaan harus diberikan kepada para kreator yang mampu menyajikan konten yang secara otentik mengangkat sejarah, bahasa, dan kearifan lokal dengan estetika yang menarik bagi generasi digital. Kita harus aktif membangun "Algoritma Nusantara" kita sendiri.

 

Ketiga, gagasan perubahan sosial: Mari kita mulai gerakan "Digital Ngopi (Ngobrol Pintar)", sebuah inisiatif komunitas untuk memfasilitasi diskusi tatap muka (luring) tentang etika digital dan identitas. Transformasi harus dimulai dari layar smartphone kembali ke ruang keluarga dan ruang publik.

 

Krisis Identitas Nasional di era digital adalah tantangan terbesar bagi kelangsungan cita-cita bangsa. Kita tidak bisa terus-menerus menjadi penonton pasif di panggung global yang kita bangun sendiri. Teknologi hanyalah alat, dan kendali atas alat itu ada di tangan kita. Pancasila bukan hanya lima sila di buku teks, melainkan lima saringan moral untuk menghadapi banjir informasi digital. Mari kita jadikan jari-jari kita, yang lincah menelusuri layar, juga lincah dalam mengetikkan kebanggaan dan nilai-nilai Indonesia. Jika kita gagal, yang tersisa hanyalah bangsa yang terhubung secara global, namun terputus dari akar budayanya sendiri; bangsa yang sibuk meniru, dan lupa bagaimana cara menjadi diri sendiri.[]

 

Pengirim :

Putri Sukmawati, email : putrisukmawati717@gmail.com

×
Berita Terbaru Update