Notification

×

Iklan

Iklan

Jaminan Perorangan dan Kebendaan: Solusi atau Problem Baru dalam Pembiayaan?

Selasa, 07 Oktober 2025 | Oktober 07, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-07T05:37:18Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Alia Ani Safitri (Foto/dok. pribadi)

Di dalam suatu sistem hukum dan praktik pembiayaan di Indonesia, keberadaan jaminan baik itu jaminan perorangan (personal guarantee) maupun jaminan kebendaan (collateral security) memegang peranan sentral. Kedua jaminan ini berfungsi sebagai sarana untuk menjamin pemenuhan suatu kewajiban debitur kepada kreditur, terutama dalam transaksi perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya. Namun, apakah mekanisme ini sudah benar-benar menjadi salah satu solusi atas permasalahan risiko kredit atau justru menghadirkan masalah baru dalam pembiayaannya?

 

Salah satu prinsip utama dalam hubungan kredit adalah adanya sebuah kepastian bagi kreditur bahwa pinjaman akan dikembalikan kepadanya. Dalam konteks ini, jaminan berperan sebagai alat untuk meminimalisikan adanya resiko yang membuat kedua belah pihak menjadi RUGI. Secara umum, jaminan dibagi menjadi dua:

 

Pertama itu ada yang namanya jaminan perorangan (persoonlijke zekerheid), yaitu jaminan yang lahir dari perikatan pribadi seseorang untuk bertanggung jawab atas utang pihak lain, seperti adanya penanggungan apabila pihak yang mempunyai tanggungan tidak dapat membayar atau dalam kata lain menunggak pembiayaan maka pihak lain yang akan membayar ataupun menanggung hutang tersebut.

 

Jaminan kebendaan (zakelijke zekerheid), yaitu jaminan yang melekat pada benda tertentu, baik bergerak maupun tidak bergerak, seperti hak tanggungan atas tanah, gadai, hipotek, atau fidusia.Kedua bentuk jaminan ini diakui dalam KUH Perdata maupun undang-undang khusus, seperti UU Hak Tanggungan (Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996) dan UU Fidusia (Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999).

 

Dalam hal ini Jaminan perorangan bersifat menambah kepercayaan kreditur karena ada pihak ketiga yang turut menanggung utang debitur. Dalam praktiknya, mekanisme ini sering diterapkan pada pinjaman UMKM, pinjaman keluarga, atau perjanjian penjaminan oleh direksi perusahaan terhadap pinjaman perusahaan.

 

Keunggulan dari Jaminan perorangan yaitu,memberi rasa aman bagi kreditur tanpa harus menilai aset kebendaan debitur,lebih fleksibel dan cepat dibanding jaminan kebendaan yang butuh prosedur formil,membantu debitur yang tidak memiliki aset untuk tetap memperoleh pembiayaan.

 

Sedangkan kelemahannya adalah berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi penanggung, terutama bila debitur wanprestasi,sering kali tidak diikuti oleh penilaian kemampuan penanggung untuk membayar utang. Ada juga risiko sengketa hukum akibat ketidaktahuan penanggung terhadap konsekuensi hukum perjanjian. Dalam banyak kasus, jaminan perorangan justru menjadi sumber problem sosial dan hukum, terutama saat pihak penanggung merasa dipaksa atau tidak sepenuhnya mengerti konsekuensi yang timbul.

 

Sedangkan Jaminan kebendaan lebih banyak digunakan oleh perbankan karena memberikan hak istimewa bagi kreditur pemegang jaminan untuk didahulukan dari kreditur lain dan tetap melekat pada objeknya walaupun berpindah tangan.

 

Keunggulan dari Jaminan kebendaan ini ialah memberikan kepastian hukum yang lebih kuat kepada kreditur,nilai benda yang dijaminkan dapat dinilai secara ekonomis,prosedur eksekusi telah diatur secara jelas dalam undang-undang. Sedangkan kelemahannya ialah membutuhkan biaya tambahan untuk pendaftaran dan pengikatan, yang memberatkan debitur kecil,tidak semua debitur memiliki aset yang layak dijaminkan, sehingga akses pembiayaan menjadi terbatas,potensi penyalahgunaan oleh kreditur dalam pelaksanaan eksekusi, terutama jika tidak ada perlindungan memadai bagi debitur.

 

Namun meskipun secara teoritis jaminan memberikan kepastian, dalam praktiknya sering timbul problem baru yaitu akses yang tidak merata dimana debitur kecil yang tidak punya aset akan sulit mengakses pembiayaan berbasis jaminan kebendaan. Mereka terpaksa mengandalkan jaminan perorangan yang lebih rawan konflik. Kedua ketimpangan kekuasaan kontrak dimana kreditur (bank) berada pada posisi lebih kuat dibanding debitur atau penanggung.

 

Perjanjian jaminan kerap bersifat baku dan memaksa. Ketiga masalah eksekusi di dalam proses eksekusi jaminan kebendaan sering menimbulkan sengketa, khususnya jika debitur merasa nilai lelang terlalu rendah atau prosedur tidak adil,dan ada pula moral hazard dimana pada jaminan perorangan, debitur dapat merasa “lebih bebas” karena ada pihak lain yang menanggung risikonya.

 

Melihat permasalahan ini, diperlukan inovasi regulasi dan kebijakan agar sistem jaminan tidak hanya melindungi kreditur tetapi juga adil bagi debitur dan penanggung. Beberapa solusi alternatif yang dapat dipertimbangkan:

 

Pertama yaitu skema penjaminan pemerintah untuk pembiayaan UMKM, pemerintah dapat memperkuat lembaga penjaminan (misalnya Jamkrindo) sehingga tidak membebani pihak ketiga.

 

Kedua yaitu penguatan perlindungan hukum penanggung di mana perlu aturan lebih ketat tentang transparansi dan kesukarelaan penanggung dalam perjanjian.

 

Ketiga yaitu diversifikasi bentuk jaminan pengakuan terhadap aset non-kebendaan (misalnya hak kekayaan intelektual) sebagai objek jaminan untuk memperluas akses pembiayaan.

 

Dan yang terakhir ada peningkatan literasi hukum dan keuangan dimana baik debitur maupun penanggung perlu pemahaman yang memadai sebelum menandatangani perjanjian jaminan.

 

Secara normatif, jaminan perorangan dan kebendaan dimaksudkan sebagai solusi untuk memberikan kepastian dan keamanan dalam transaksi pembiayaan. Namun, dalam realitas sosial, instrumen ini justru dapat menjadi problem baru jika tidak diatur dan diawasi secara bijak. Jaminan perorangan rawan penyalahgunaan dan konflik, sedangkan jaminan kebendaan membatasi akses pembiayaan hanya pada mereka yang memiliki aset.

 

Dengan demikian, mekanisme jaminan saat ini memang solusi bagi kreditur, tetapi belum sepenuhnya menjadi solusi bagi debitur. Dalam konteks keadilan sosial dan pemerataan akses pembiayaan, instrumen ini lebih tepat disebut sebagai solusi parsial yang membutuhkan reformasi kebijakan agar benar-benar berfungsi bagi semua pihak.

 

Jaminan perorangan dan kebendaan adalah tulang punggung sistem pembiayaan di Indonesia. Keduanya menghadirkan keunggulan sekaligus risiko. Agar tidak menjadi problem baru, diperlukan penyeimbangan kepentingan antara kreditur, debitur, dan penanggung. Regulasi yang lebih progresif, penguatan perlindungan hukum, serta inovasi bentuk jaminan yang lebih inklusif akan menentukan apakah instrumen ini tetap menjadi solusi atau justru problem yang mempersempit akses pembiayaan.[]

 

Penulis :

Alia Ani Safitri, Mahasiswa Hukum Universitas Bangka Belitung

 

 

×
Berita Terbaru Update