Notification

×

Iklan

Iklan

Peran Fatwa dalam Dinamika Hukum Islam Kontemporer

Minggu, 05 Oktober 2025 | Oktober 05, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-05T01:23:02Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Imam Ahmad Fauzan (Foto/IST)

Dalam masyarakat Muslim kontemporer, fatwa memainkan peran krusial sebagai sarana penyesuaian norma-norma Islam terhadap realitas sosial yang terus berubah. Fatwa menjadi media bagi ulama untuk memberikan panduan hukum ketika muncul fenomena baru yang belum secara spesifik diatur dalam AlQur’an dan Hadits, atau belum terdapat keputusan ulama terdahulu yang konsisten.


Salah satu kasusnya yaitu terkait fenomena sound horeg yang populer di Jawa Timur belakangan ini telah menjadi perbincangan serius di masyarakat. Sound system berukuran besar, suara yang sangat keras, serta penggunaan musik dengan unsur hiburan yang dianggap melampaui batas kesopanan menjadi sumber keluhan warga. 


Fenomena tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan terkait bagaimana fatwa berinteraksi dengan dinamika hukum Islam, memicu kontroversi, serta membuka ruang diskusi mengenai solusi yang cocok dalam perspektif agama, sosial, dan hukum positif.


Getaran dari suara dan kebisingan tidak hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga menimbulkan potensi kerusakan fisik pada bangunan, gangguan tidur, bahkan risiko terhadap kesehatan pendengaran. Keluhankeluhan ini akhirnya sampai ke bagian ulama dan lembaga keagamaan, yang kemudian mendorong penerbitan fatwa oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur.


Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 tentang Penggunaan Sound Horeg yang ditetapkan pada 12 Juli 2025 mengkaji secara komprehensif beberapa aspek hukum, sosial, dan kesehatan. Di dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa penggunaan sound horeg yang melebihi intensitas suara wajar yang menyebabkan gangguan terhadap kesehatan atau merusak fasilitas umum atau milik orang lain dinyatakan haram. 


Pemutaran musik dengan iringan joget campur lakilaki dan perempuan yang membuka aurat, kegiatan kemungkaran, baik di lokasi tetap maupun berkeliling, juga diharamkan. Namun, apabila sound digunakan dalam batas wajar untuk kegiatan seperti resepsi pernikahan, pengajian, atau shalawatan, serta bebas dari unsur kemungkaran, maka diperbolehkan.


Dasar fatwa ini melibatkan masukan dari berbagai pihak seperti dokter spesialis Telinga Hidung Tenggorokan (THT), ahli desibel, pemerintah provinsi, serta masyarakat umum yang menyampaikan laporan dan keresahan mereka. Proses ini dilakukan melalui forum Bahtsul Masail dan diskusi lintas pemangku kepentingan yang turut menghadirkan pemilik sound horeg. Hasilnya, diakui bahwa sound horeg lebih banyak menimbulkan mudharat bila tidak dikendalikan.


Meski begitu, fatwa sendiri tidak otomatis menjadikan perubahan nyata di dalam masyarakat. Karena sifatnya yang ijtihadiyah dan tidak bersifat mengikat secara hukum positif, pelaksanaannya sangat tergantung pada regulasi pemerintah daerah dan tindakan dari aparat keamanan. Pemerintah dan kepolisian perlu mengambil langkah nyata agar fatwa itu tidak hanya sebagai dokumen moral, tetapi juga berfungsi sebagai landasan bagi aturan teknis dan penegakan hukum. Permintaan untuk regulasi daerah (Perda), batasan teknis tentang volume suara, zona operasi sound system, serta pengawasan terhadap acaraacara keliling telah menjadi bagian dari rekomendasi.


Sebagai solusi, perlu diterapkan beberapa langkah strategis. Pertama, penyusunan regulasi formal yang memuat standar kebisingan, izin penyelenggaraan acara dengan sound besar, serta sanksi administratif bila terjadi pelanggaran. Kedua, pendidikan masyarakat agar sadar bahwa aktivitas hiburan tidak boleh mengabaikan hak atas ketenangan lingkungan dan kesehatan orang lain. Pelaku usaha sound horeg harus memahami batasbatas etika dan syariah. 


Ketiga, pengawasan dan penegakan hukum efektif dari aparat terkait sehingga kejadian kebisingan ekstrem dan kerusakan lingkungan bisa diintervensi. Keempat, promosi alternatif hiburan yang tetap menarik tetapi lebih ramah lingkungan dan syar’i. Misalnya dengan penggunaan teknologi pengendali suara, lokasi acara yang jauh dari permukiman, dan waktu pelaksanaan yang tidak mengganggu istirahat warga.


Secara keseluruhan, fenomena sound horeg menunjukkan tantangan hukum Islam kontemporer dalam menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan ketertiban sosial. Fatwa MUI Jawa Timur tentang sound horeg menunjukkan respons hukum Islam terhadap tantangan zaman dengan menetapkan batas moral dan syariah yang jelas. Namun, agar fatwa tersebut efektif, diperlukan regulasi yang kuat , komitmen para penegak hukum, dan partisipasi aktif masyarakat. Kerjasama antara ulama, pemerintah, dan komunitaslah yang akan memastikan hukum Islam tetap relevan dan adil di tengah dinamika sosial dan budaya saat ini.[]


Penulis :

Imam Ahmad Fauzan, Mahasiswa S1 Ekonomi Syariah Universitas Pamulang 

×
Berita Terbaru Update