![]() |
| Foto/dok. pribadi |
Fenomena bullying di sekolah bukan hanya terjadi di satu daerah tertentu, tetapi hampir di seluruh Indonesia. Setiap tahun, berita mengenai kekerasan fisik, verbal, hingga perundungan berbasis psikologis di sekolah terus bermunculan. Padahal Indonesia memiliki sistem pendidikan yang secara teori sangat kuat dalam penanaman nilai moral.
Pancasila diajarkan sejak tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, dengan tujuan membentuk generasi yang beradab, menghargai sesama, dan menjunjung kemanusiaan. Namun kenyataannya, pelajar tetap melakukan tindakan saling merendahkan bahkan menyakiti satu sama lain. Ini menunjukkan ada ketidaksesuaian antara nilai yang diajarkan dan realitas sosial yang terjadi.
Jika ditarik lebih dalam, masalah ini bukan sebatas anak “tidak paham Pancasila”. Ada faktor yang jauh lebih besar yang ikut mempengaruhi perilaku pelajar saat ini. Lingkungan digital, pola interaksi sosial, gaya komunikasi antar siswa, hingga kondisi keluarga memiliki pengaruh jauh lebih kuat dibanding pelajaran moral yang diajarkan di kelas.
Dalam dunia digital, konten berisi ejekan, hinaan fisik, hingga glamorisasi kekerasan ditonton setiap hari tanpa kontrol. Di lingkungan sosial siswa, bully sering dianggap “candaan” dan bukan tindakan yang berbahaya. Sementara di rumah, banyak anak tidak mendapat perhatian cukup karena orang tua sibuk bekerja, sehingga gawai menggantikan peran pengasuhan.
Situasi seperti ini juga terlihat jelas di Kota Pangkalpinang berdasarkan wawancara dengan narasumber DP3AKB dan siswa SMA di kota Pangkalpinang. DP3AKB menjelaskan bahwa pencegahan bullying sudah lama dilakukan melalui sosialisasi ke sekolah-sekolah, talkshow, kampanye media sosial, radio, dan surat kabar.
Namun, mereka juga mengakui bahwa efektivitasnya belum bisa dipastikan. Dengan kata lain, edukasi moral sudah diberikan, tetapi perilaku di lapangan tidak banyak berubah. Bahkan ada kasus ekstrem di mana kekerasan justru terjadi di dalam keluarga, yang membuat anak semakin terbiasa dengan bentuk-bentuk agresi.
Narasumber dari UPTD DP3AKB menegaskan bahwa penyebab bullying bukan hanya satu, tetapi gabungan antara tekanan lingkungan, budaya senioritas, pengaruh media sosial, pola asuh, hingga kebutuhan anak untuk merasa diterima kelompok. Ini menunjukkan bahwa pembentukan karakter anak bukan hanya tugas sekolah, tetapi juga keluarga dan masyarakat.
Sementara itu, wawancara dengan siswa SMA yang ada di kota Pangkalpinang memperlihatkan fakta yang paling jujur bullying memang ada, mayoritas dalam bentuk verbal seperti ejekan fisik atau body shaming, dan sering dianggap “candaan” oleh pelaku. Guru baru turun tangan ketika kasus sudah dianggap serius, sementara kasus ringan cenderung dibiarkan atau diselesaikan antar teman. Hal ini memperlihatkan bahwa budaya sosial sekolah belum benar-benar anti bullying.
Jika ditarik ke ranah yang lebih spesifik, maka masalah utamanya dapat dilihat pada kesenjangan antara ilmu moral dan lingkungan moral. Siswa tahu apa itu toleransi, keadilan, dan kemanusiaan tetapi mereka hidup dalam interaksi sosial yang tidak mencerminkan nilai itu. Di titik ini, Pancasila bukan gagal sebagai nilai, tetapi gagal sebagai praktik. Anak-anak mengetahui kebenaran moral, tetapi tidak hidup di lingkungan yang membelajarkan empati setiap hari.
Karena itu, solusi untuk menghentikan bullying tidak bisa hanya bergantung pada penambahan jam pelajaran atau seminar anti kekerasan. Yang dibutuhkan adalah ekosistem moral yang terintegrasi keluarga yang hadir dan mengawasi, sekolah yang tegas dan konsisten memberi sanksi, teman sebaya yang saling menjaga, dan lingkungan digital yang tidak dibiarkan menjadi ruang kekerasan tanpa batas. Ketika semua unsur itu berjalan searah, barulah nilai Pancasila dapat hidup sebagai budaya sosial, bukan sekadar hafalan dalam buku teks.
Dengan begitu, bullying tidak lagi menjadi masalah rutin sekolah, tetapi menjadi peringatan bahwa sistem nilai di sekitar anak telah benar-benar bekerja. Sebaliknya, selama lingkungan belum berubah, kasus bullying akan terus terjadi bukan karena siswa tidak paham Pancasila, tetapi karena mereka tidak melihat Pancasila diterapkan dalam kehidupan yang mereka jalani setiap hari.[]
Penulis :
Annisa Aulia, Annaml Salma Jaffis dan Lisrina Yulianti (Mahasiswa Prodi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung)
Editor : Yeddi Alaydrus


