Notification

×

Iklan

Iklan

Menerapkan Pola Pendidikan Pesantren Di Sekolah Konvensional

Selasa, 07 Desember 2021 | Desember 07, 2021 WIB | 0 Views Last Updated 2021-12-07T10:44:05Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Ikrom Syauqi Nuradilah Semester 1 Fakultas  Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

TamiangNews.com -- Akhir-akhir ini, pendidikan karakter menjadi isu besar dalam membangun pendidikan nasional. Dikatakan bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya dapat dilihat dari nilai hasil belajar, namun lebih dari itu yakni pada perilaku dan moralitasnya. Kedua hal tersebut tentu tidak dapat terlepas dari dominasi lingkungan yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap pendidikan karakter. Pendidikan karakter itu sendiri menurut Samani (2011) adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikiran, raga, serta rasa dan karsa.


Dampak nyata yang terjadi dalam pendidikan karakter saat ini adalah perbedaan output etika peserta didik yang mengenyam pendidikan di sekolah konvensional dan di pondok pesantren. Pendidikan karakter di lingkungan pesantren pun terbilang lebih berhasil jika dibandingkan dengan peserta didik di sekolah konvensional. 


Sekolah konvensional yang kita kenal selama ini justru tengah memperlihatkan fakta bahwa telah terjadi degradasi moral yang cukup meresahkan pada peserta didiknya. Kurangnya perhatian khusus pada pendidikan karakter dan moral yang seharusnya dapat sejalan dengan tujuan pendidikan, menjadi satu di antara alasan minimnya etika dan akhlak pelajar di masa kini. 


Degradasi moral paling sederhana yang dapat dengan mudah kita temukan adalah kesantunan berbahasa antara murid dan guru yang terkesan seperti bukan dialog antara pendidik dan peserta didik. Kecenderungan penggunaan bahasa-bahasa gaul dan kekinian inilah yang menjadi salah satu faktornya. Fenomena penggunaan bahasa gaul/prokem yang marak terjadi di kalangan pelajar ini dapat dilihat dari berbagai hasil penelitian yang di antaranya dilakukan oleh Rosida yang menyatakan bahwasanya “nilai rata-rata persentase respon siswa tentang pengaruh media jejaring sosial terhadap penggunaan gaya bahasa gaul adalah 82.85%. Dengan demikian respon siswa tentang pengaruh media jejaring sosial terhadap penggunaan gaya bahasa gaul dapat dikatakan cukup besar karena telah memenuhi kriteria respon siswa yakin ≥ 80%. Artinya, media jejaring sosial cukup berpengaruh terhadap penggunaan bahasa gaul di kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Makassar” (Rosida, 2018).


Kasus lain yang dapat kita jumpai adalah tingginya kasus tawuran antarpelajar yang cukup sering terjadi di kota-kota besar. Menurut KPAI, angka kasus tawuran yang terjadi di tahun 2018 lebih tinggi dibanding 2 tahun yang lalu. Kasus tawuran yang terjadi di daerah Jakarta Barat pada Maret 2020 lalu menjadi bukti meski di tengah kondisi pandemi covid-19 yang masih sangat mengkhawatirkan, tawuran tetap saja tidak dapat dicegah. 


Banyak hal yang melatarbelakangi terjadinya tawuran, di antaranya adalah lingkungan tempat tinggal yang mengarahkan pelajar untuk bertindak lebih agresif. Hal ini menyebabkan pelajar melupakan nilai-nilai moral yang sebenarnya sudah sering disosialisasikan pada saat kegiatan belajar mengajar di kelas. Para pelajar juga cenderung mengabaikan akibat-akibat yang akan terjadi karena merasa tak diawasi lagi oleh para guru di luar jam sekolah.


Berbeda halnya dengan para santri yang selalu disibukkan dengan kegiatan pendidikan di pesantren yang selama hampir 24 jam bertatap muka dengan para pengajar ataupun pengasuhnya. Mereka disiplin mengikuti seluruh rangkaian kegiatan tersebut. Dari berbagai kegiatan itulah para pendidik di pondok pesantren mengintegrasikan nilai-nilai akhlak sekaligus memberikan contohnya di hadapan para santri. Para santri pun dapat langsung menerapkannya di dalam lingkungan pesantren tersebut di bawah pengawasan para pengasuhnya, sehingga ketika para santri tersebut melakukan kesalahan, mereka akan mendapatkan teguran langsung dan menjalankan hukumannya saat itu juga. 


Perbedaan perilaku dan etika antara santri di pondok pesantren dan murid di sekolah konvensional ini tentulah dipengaruhi oleh banyak faktor. Model pendidikan yang diterapkan pun jelas berbeda. Di pesantren, pendidikan karakter pada santri ditekankan pada metode belajar mengajar yang hampir 24 jam. Pembinaan berperilaku luhur (ta’dib), aktivitas spiritual, dan teladan yang baik (uswah hasanah), langsung dicontohkan oleh para kyai atau para ustadznya. Pengontrolan dan pengawasan yang cukup ketat juga diterapkan melalui peraturan dan tata tertib yang harus dipatuhi oleh setiap santri.


Sementara itu, sekolah konvensional yang memiliki batasan waktu belajar yakni maksimal hanya hingga sore hari, seringkali merasa kesulitan dalam pengintegrasian pendidikan karakter terhadap peserta didiknya. Keterbatasan waktu seringkali menjadi alasan kurangnya perhatian guru tentang etika murid. Para pendidik tentunya sadar bahwa sebuah keteladanan tidak hanya bisa dilakukan melalui perintah atau suruhan, lebih dari itu tentu membutuhkan pendekatan-pendekatan lain yang tidak bisa dilakukan dalam kurun waktu yang sebentar. 


Setiap guru sudah sepantasnya selalu memberikan suri teladan yang baik dalam bertutur kata, bersikap, maupun bertindak. Keteladanan yang baik bersumber dari jiwa atau ruh guru itu sendiri. Etika baik yang datang dari hal-hal sederhana justru lebih membekas di ingatan para murid dan lebih mudah untuk dapat langsung diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Murid yang disuguhkan pemandangan bertegur-sapa dengan mengucap salam dengan badan yang agak sedikit menunduk saja sudah membuat murid terkesan. Ditambah jika dalam pergaulan antara murid dan guru itu tampak harmonis tanpa keluar dari koridornya sebagai seorang guru dan murid. Misalnya, mereka dapat tetap saling melempar candaan tetapi dengan batas yang wajar. 


Kebiasaan-kebiasaan baik dan sederhana itulah yang kadang terlalu disepelekan hingga membuat pembiasaan terhadap hal-hal yang agak lebih rumit sulit untuk diaplikasikan. Jika sekolah konvensional memang belum dapat menerapkan metode belajar mengajar selama 24 jam dalam pengawasan yang cukup ketat, keteladanan dan pembiasaan dapat menjadi alternatif yang paling jitu untuk dapat menekankan pendidikan karakter dan moral terhadap peserta didik. Hal ini bisa dimulai dengan kebiasaan - kebiasaan sederhana seperti respon guru terhadap murid yang tetap up to date mengikuti zaman, tetapi juga memerhatikan adab dan etikanya, melestarikan budaya senyum - sapa - salam, dan selalu menjadi teladan, atau berperilaku baik tidak hanya saat di depan murid, tetapi di mana pun dan kapan pun guru itu berada. 


Dari uraian singkat ini, kiranya beberapa pola pendidikan pesantren bisa diterapkan di sekolah-sekolah konvensional. Hal ini bertujuan untuk menyempurnakan pola pembinaan karakter bagi para siswa. Penerapan pendidikan karakter harus terus ditanamkan dalam proses pembelajaran. Saat dalam proses belajar mengajar, para pendidik tidak hanya fokus pada kecerdasan intelektual peserta didik, tetapi juga memberikan perhatian khusus agar peserta didik mampu mencapai kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual. Peran pemerintah, baik daerah maupun pusat juga turut menyukseskan pendidikan karakter yang diinginkan oleh setiap sekolah. Misalnya dengan mengadakan pelatihan-pelatihan bagi guru terkait pembiasaan akhlak dan moral, menyediakan fasilitas-fasilitas untuk membantu perkembangan minat dan bakat pelajar agar dapat mengembangkan potensi-potensi baik yang ada dalam diri pelajar.***



×
Berita Terbaru Update