Notification

×

Iklan

Iklan

Ritual Budaya Satu Suro Dalam Perspektif Islam

Rabu, 08 Desember 2021 | Desember 08, 2021 WIB | 0 Views Last Updated 2021-12-08T04:01:22Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Fitri Habiba Mahasiswa Semester 1 Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Pendidilan Agama Islam Negeri Syarif  Hidayatullah  Jakarta

TamiangNews.com --- Tradisi dalam kamus antropologi sama dengan adat istiadat, yakni kebiasaan-kebiasaan yang bersifat magsi-religius dari kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi mengenai nilai-nilai budaya, norma - norma, hukum dan aturanaturan yang saling berkaitan, dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan yang sudah mantap serta mencakup segala konsepsi sistem budaya dari suatu kebudayaan untuk mengatur tindakan sosial (Arriyono,1985:4). Dalam kamus sosiologi, diartikan sebagai kepercayaan dengan cara turun-menurun yang dapat dipelihara (Soekanto, 1993:459).  Tradisi juga ialah kesamaan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu namun masih ada hingga kini dan belum dihancurkan atau dirusak. Tradisi dapat di artikan sebagai warisan yang benar atau warisan masa lalu. Namun demikian tradisi yang terjadi berulang-ulang bukanlah dilakukan secara kebetulan atau disengaja (Piotr Sztompka, 2007:69). 


Dari pemaham tersebut maka apapun yang dilakukan oleh manusia secara turun temurun dari setiap aspek kehidupannya yang merupakan upaya untuk meringankan hidup manusia dapat dikatakan sebagai tradisi yang berarti hal tersebut menjadi bagian dari kebudayaan. Secara khusus tradisi oleh C.A. van Peursen diterjemahkan sebagai proses pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Tradisi dapat dirubah diangkat, ditolak dan dipadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia.


Indonesia memilikiberagam suku dan daerah dengan berbagai jenis ritual budaya yang berbeda. Masyarakat Jawa sangat kental dengan masalah tradisi dan budaya. Tradisi dan budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya nasional di Indonesia. Di antara faktor penyebabnya adalah begitu banyaknya orang Jawa yang menjadi elit negara yang berperan dalam percaturan kenegaraan di Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan maupun sesudahnya. Nama-nama Jawa juga sangat akrab di telinga bangsa Indonesia, begitu pula jargon atau istilah-istilah Jawa. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan budaya Jawa cukup memberi warna dalam berbagai permasalahan bangsa dan negara di Indonesia (Marzuki, 2001:1). 


Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya, meskipun terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang memegangi ajaran Islam dengan kuat (kaffah) tentunya dapat memilih dan memilah mana budaya Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman agama Islam yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu dan mempraktekkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut. Fenomena seperti ini terus berjalan hingga sekarang, Seperti pada Tradisi Satu Suro/Suroan.


Suroan adalah tradisi yang turun temurun yang masih dilakukan oleh masyarakat jawa sampai sekarang. suroan dilakukan setiap tanggal satu suro atau tanggal satu muharam Tradisi malam satu Suro menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan. Sebagian ahli, lebih suka membuat distingsi antara agama dan budaya, terutama jika melihat pada konsep agama samawi atau abrahamik. Sebab agama terbentuk bukan semata dari objek manusia tetapi milibatkan subjek transenden yang berupa wahyu. Prinsip distingsi ini akan sangat membantu untuk mengurangi konfrontasi antara budaya dan agama, khususnya untuk melihat dalam konteks tradisi suroan yang dikenal di masyarakat muslim nusantara. 


Suro yang juga bulan penanda pergan tian tahun dalam penang galan Jawa yang oleh Sultan Agung dikonvergensikan dengan kalender hijriyah. Sebelum-nya, di tanah Jawa dikenal sistem penanggalan dengan sebutan kalender saka yang telah dimulai tanggal 15 maret 78 M. Kalender ini dicetus oleh Ajisaka, seorang tokoh leg endaris Jawa yang dipercaya sebagai pencipta huruf Jawa yang datang dari India ke tanah Jawa. Penanggalan ini berasal dari tradisi Hindu yang sudah digunakan di India. Seperti halnya tahun Masehi, tahun saka ini didasarkan pada perhitun- gan peredaran matahari (Kamajaya, 1995:221),

Muharram sendiri dalam kalender Islam selain memiliki akar historisnya, juga ada pesan teologis sebagaimana bulan suro dalam kalender saka, Di mana bulan ini disebutkan dalam al-Quran sebagai salah satu dari empat bulan haram (arba'ah hurum) selain bulan Dzulhijah, Dzulqa'dah dan Rajab. Pesan teologis dari rangkaian em- pat bulan yang disebutkan: di al-Quran, bahwa Muhar- ram adalah satu di antara bulan dalam kalender Islam yang memiliki urgensinya, sebagai waktu rangkaian pelaksanaan ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima. Dalam bulan ini Allah menetapkan satu kesadaran kosmologis dan humanis dengan konsep hurum.


Urgensi Muharram juga dikokohkan oleh beberapa peristiwa yang tercatat dalam sejarah Islam, dimana pada bulan ini ada beberapa peristiwa pen- ting terjadi. Dalam bulan ini, tepatnya 10 Muharram peri- stiwa tragis di Karbala, cucu Nabi Muhammad Husain b. Ali harus terkorbankan oleh ambisi politik pada saat itu. Selain itu, dicatat oleh Abdurrahman Navis (Di- rektur Aswaja Center Jawa Timur) dari telaahnya pada sumber salaf, tidak kurang 20 peristiwa penting dalam bulan ini, diantaranya adalah Nabi Adam bertaubat, Nabi Ibrahim diselamatkan dari api, pertama kali Allah men ciptakan alam, menurunkan hujan dan rahmat, men jadikan arsy, lauh mahfudz Nabi Isa diangkat ke langit, dsb. Pada bulan inilah Allah menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan dan keagu nganNya, sebagai al-khaliq, al-tawwab, al-ghafur, al-kabir dan seterusnya.


Oleh sebab itu, tak ayal kita masyarakat muslim yang tinggal di Jawa juga turut larut dalam pen gagungan bulan Muharram, yang kita istilahkan dengan suro-an. Sebagian orang memadukan dengan budaya setempat yang telah mentradisi. Jika tradisi umum dalam mengisi bulan Muharram yang dilakukan oleh mayoritas Muslim In donesia adalah puasa, baca Yasin, menyantuni anak yatim, dan doa akhir dan awal tahun. Selain tradisi umum yang diselengga rakan, di beberapa daerah di pulau Jawa, kita temu kan momentum suro-an/ muharram-an yang identik dengan bentuk akulturasi budaya-agama; jamasan, poso ngebleng, kungkum, se medi, kirab pusaka, grebeg, wayangan, bubur suro, dsb.


Tradisi yang masuk pada kategori tidak umum karena sudah mengalami akulturasi inilah yang me ngundang penentangan dari sebagian kelompok Islam. Alasannya, apa yang telah menjadi tradisi itu, dianggap tidak berakar pada Islam tapi justru war isan agama di Nusantara sebelum Islam, menurut pelacakan Agus Sunyoto dari ajaran kapitayan, hindu dan buddha, sehingga harus dijustifikasi sebagai khurafat dan bid'ah. Bahkan tradisi yang masuk kategori pertama, juga digugat kelompok tekstualis ini karena tidak berdasar pada sunah Nabi (tidak pernah diajarkan Nabi), meskipun konsep dasar tradisi kedua ini ada akar ajaran dalam Islam; poso (siyam), sedekah (shadaqah), ndungo (doa) dan slametan (salamah), dsb.


Sebagai catatan penutup perlu ditegaskan bahwa Islam tidak sama sekali menolak tradisi atau budaya yang berkembang ditengah-tengah masyarakat. Di Indonesia banyak berkembang tradisi dikalangan umat Islam yang terus berlaku hingga sekarang, seperti tradisi lamaran, tingkeban, sumbangan mantenan, peringatan hari - hari besar keagamaan, dan lain sebagainya. Selama ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam maka tradisi-tradisi seperti itu dapat dilakukan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika bertentangan dengan ajaran Islam, maka tradisi-tradisi itu harus ditinggalkan dan tidak boleh dikembangkan. Setiap adat kebiasaan yang berlaku pada suatu masyarakat serta tidak melanggar ketentuan syariat, harus tetap dipelihara dan diamalkan. Sebaliknya, adat kebiasaan yang menyimpang dari ketentuan syariat, walaupun banyak dikerjakan orang, tetap tidak boleh diamalkan, lantaran di dalam hadist di atas diberi predikat hasanan (baik), yang sudah barang tentu menurut ukuran syari`at dan logika. ***

×
Berita Terbaru Update