![]() |
Foto/Ilustrasi |
Di tengah dunia kerja modern yang serba cepat dan kompetitif, banyak organisasi berlomba menciptakan program motivasi bonus besar, pelatihan inspiratif, hingga outing ke luar negeri. Tapi ironisnya, semangat karyawan tak juga membaik. Mereka tetap datang pagi dengan wajah lelah dan pulang tanpa gairah. Mengapa? Jawabannya sering kali sederhana: motivasi tidak akan berdampak apa-apa tanpa komunikasi yang sehat.
Inilah realita dunia kerja saat ini yang kerap diabaikan organisasi berusaha menggerakkan karyawannya, tetapi lupa menjalin komunikasi dua arah yang sejati. Motivasi sendiri adalah kekuatan yang mendorong seseorang untuk bertindak. Sedangkan komunikasi adalah jembatan yang menyampaikan nilai, tujuan, dan apresiasi yang menjadi bahan bakar motivasi. Ketika jembatan ini rusak, motivasi hanya menjadi tempelan indah di permukaan, kosong di dalam.
Di banyak kantor hari ini, kita menemukan fenomena “motivasi top-down”. Manajemen memberikan arahan, target, bahkan pujian, tapi tidak membuka ruang dialog. Karyawan tidak tahu mengapa pekerjaan mereka penting, tidak punya wadah menyampaikan ide, dan merasa seperti alat produksi, bukan mitra. Ini bukan sekadar persoalan teknis ini persoalan budaya komunikasi yang timpang.
Padahal, komunikasi yang baik adalah akar dari motivasi yang berkelanjutan. Karyawan yang merasa didengar dan dipahami, akan termotivasi secara alami. Mereka tak butuh janji bombastis atau hadiah besar cukup dengan pengakuan tulus, arahan yang jelas, dan ruang bertumbuh. Tanpa itu, motivasi menjadi kosmetik manajemen belaka.
Tantangan lainnya adalah hambatan komunikasi yang semakin kompleks. Di era digital, komunikasi sering terjebak dalam grup chat dan email yang miskin konteks. Bahasa kaku, nada dingin, atau pesan yang multitafsir sering kali membuat karyawan merasa tak dianggap. Ini memperparah keadaan ketika sistem manajemen tidak memfasilitasi komunikasi terbuka.
Jenis komunikasi yang kaku dan satu arah hanya melahirkan organisasi yang tidak adaptif. Sebaliknya, organisasi yang mendorong komunikasi horizontal dan informal tanpa menghilangkan formalitas yang diperlukan lebih mudah membangun lingkungan kerja yang sehat dan memotivasi. Inilah pentingnya memahami bahwa komunikasi bukan hanya “menyampaikan”, tapi juga “menghidupkan”.
Kesimpulannya, motivasi dan komunikasi bukan dua hal terpisah. Mereka seperti dua sisi koin yang saling melengkapi. Tanpa komunikasi yang jujur dan terbuka, motivasi hanyalah strategi kosmetik. Dan tanpa motivasi, komunikasi menjadi suara kosong yang tak didengar. Organisasi masa kini harus berani merombak pendekatan manajemennya: bukan hanya memotivasi, tapi juga mendengarkan.
Karena pada akhirnya, karyawan tidak hanya ingin tahu “apa yang harus mereka lakukan”, tetapi juga “mengapa mereka melakukannya” dan itu hanya bisa dijawab lewat komunikasi yang bermakna.[]
Penulis :
Ghina Fauziah Nasution, mahasiswi Fakultas Agama Islam Program Studi Ekonomi Syariah Universitas Pamulang